Mungkin ada juga pertanyaan kamu, sebaiknya kita ini jadi si Nominalis atau jadi si Realis sih biar gak baperan?
Dengan menjadi salah satunya, kamu sebenarnya dijamin gak akan pernah baperan lagi. Menjadi realis tidak berarti siapa pun yang bilang “A” mestilah itu “A”, karena bagi realis “A” itu selalu melenceng dari “A” yang dimaksudkannya. Ingat lagi teori bahasa sebagai salinan kedua.
Kenyataan nonbahasa seperti alam fisika dan metafisika merupakan salinan pertama dari Bentuk Murni dan Ide. Ketika bahasa mengambil alih Bentuk Murni atau Ide dengan kata-kata, misalnya “gunung”, “rindu”, maka kedua kata tersebut tidak presisi dengan yang dimaksudkannya.
Semua simbol pada dasarnya kesepakatan, bukan karena ikonis (mirip dengan acuannya). “Gunung” tidak pernah menyerupai gunung mana pun, demikian juga “rindu” tak pernah mewakili semua rindu yang manusia alami.
Dan kalau kamu menjadi nominalis kamu akan selalu sadar bahwa hak atas makna kata-kata sepenuhnya hak kamu sebagai penafsir, sehingga mau baperan mau kuat mental itu semata pilihan kamu.
Kalau ada sahabat lama kamu bilang “Anjing lu ya, bisa lulus kuliah!”, kamu pasti bahagia-bahagia saja karena itu ekspresi kebanggaan sahabatmu. Kamu sadar kata “anjing” hanya digunakan oleh teman-teman dekat kamu. Dan kalau pun suatu hari kamu dicaci maki orang gak dikenal dengan sebutan “anjing”, kamu boleh saja berkata “Kadal kok disebut ‘anjing’!”
Makna kata selalu kembali kepadamu.
Karenanya hidup itu mesti pandai-pandai bermain drama. Di panggung A kamu A di panggung B kamu B. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. “Bumi” adalah situasi dan kondisinya, “langit” adalah sistem nilai yang kita pakai dalam berbahasa. Semakin lurus kamu dalam berbahasa, realis tulen atau nominalis tulen, kurang pandai bermain peran, kamu akan disebut si Lugu dan lelah menanggung beban-beban perasaan dan kebingungan di hadapan sesama manusia dan jadi tertawaan orang.
Insecure-nya Bahasa di Depan Realitas
Salah satu kelebihan juga kekurangan nominalis adalah memandang makna kata-kata itu selamanya relatif, tergantung cara kita masing-masing memaknainya. Relativitas bahasa selalu mengandung konsekuensi memahami bahasa (1) seperti yang orang mau atau (2) yang kita mau.
Plato (427 – 347 SM) sendirlah yang memikirkan hal itu dengan baik. Dalam Cratylus[1] ia berusaha melawan relativisme kaum Sofis dengan berargumen bahwa meskipun kata-kata yang kita gunakan mungkin murni arbitrer dan konvensional, konsep-konsepnya tidaklah demikian. Menurut Plato konsep-konsep tersebut hanya terbagi dalam dua kemungkinan: benar atau palsu. Oleh karena itu, dia memandang penting pelaku bahasa untuk bisa sampai pada nama-nama ideal yang sesuai dengan sifat sebenarnya dari realitas. Hal ini bertepatan dengan dunia lain yang berisi Ide-Ide immaterial dan abadi, atau Bentuk-Bentuk Murni, yang melampaui dunia fisik[2]. Hanya bahasa yang terstruktur yang mampu mengakses abstraksi universal dan bahasa yang macam itu pula yang dapat mengkomunikasikan pengetahuan.
Mungkinkah “bahasa yang terstruktur” tersebut seperti bahasa ilmiah macam bahasa baku yang digunakan untuk penulisan skripsi atau bahasa yang benar-benar khusus seperti bahasa matematika? Ya, seperti itu, tapi struktur yang Palto maksud tidak terbatas pada bahasa ilmiah. Bahasa apa saja yang jelas dan terpilah akan jauh lebih presisi, tidak ada ambigu, dan kamu akan alami sendiri berbahasa dengan aturan yang ketat tidaklah mudah. Ada saja keambiguan, kesalahan nalar, dll.
Karena itu, menurut Plato, bahasa yang kita gunakan dalam urusan apa pun sebenarnya suatu inferioritas-bahasa, bolehlah dibilang bahasa yang insecure di hadapan “bahasa sesungguh”nya, yang “ideal” itu. Karena setiap kata pada dasarnya merupakan salinan dari Bentuk Murni-nya atau salinan dari Ide-nya. Kita hanya disarankan untuk jelas dan terpilah. Jika Plato memandang usaha kita dalam membuat kejelasterpilahan bahasa akan sia-sia, dia sendiri gak akan berfilsafat. Karena jika terlalu lurus memahami realisme Plato, jangankan bahasa, kita sendiri pun tinggal di alam salinan karena alam sejati itu hanya ada di Sana, di ruang transenden. Bahasa di ruang transenden itu bersifat abstrak, independen dari manifestasi-manifestasi bahasawinya.
Misalnya saya katakan “kursi”, kata tersebut mewakili jutaan kursi di dunia ini, baik yang fisik, maupun yang tampak di gambar sketsa, di lukisan, di miniatur kursi, di sebuah film, di panggung pertunjukkan, dan seterusnya. Dan meskipun semua kursi di dunia ini kita bakar bersamaan, konsep kursi itu sendiri tetap ada di alam Ide-nya. Jadi, setiap realitas hal hanya ada di alam tersebut. Sisanya hanya salinan-salinan, termasuk kata-kata untuk segala hal yang diturunkan dari alam tersebut. Kata pada tataran ini bersifat konseptual –untuk segala yang ada, termasuk yang sifatnya sudah dibakar masa lalu (sejarah).
Kamu mungkin menyadarinya jika membaca puisi. Alam dalam puisi direpresentasikan dengan cara berbeda, maka bahasa puisi menjadi salinan dari salinan. Jika bahasa yang kita pakai untuk menjelaskan sang Ide itu merupakan salinan kedua, maka bahasa sastra menjadi salinan ketiganya. Puisi menyerupai karya-karya lukis yang kita kenali tentang “A” tapi tidak benar-benar seperti “A” dalam kenyataan. Inilah cikal bakal cara pikir realisme, bukan makin mirip kenyataan maka makin realisme, karena yang makin mirip kenyataan itu hanya mirip salinan kedua belaka.
Bagaimanapun kita menyebut “realitas” terhadap realitas apa pun, sebenarnya kita sedang melakukan upaya-upaya pembahasaan terhadapnya. Dengan demikian representasi bahasawi terhadap realitas tak pernah sampai dan tak dapat kita hubungkan kepada realitas tersebut.
Dengan sangat baiknya penyair Sutardji Calzoum Bachri dulu menulis puisi “Walau”[3] yang salah satu baitnya berkata
Walau huruf habislah sudah
Alifbataku belum sebatas Allah
Bait tersebut dapat menjadi gambaran tentang susahnya kita menjelaskan realitas sebanyak apa pun bahasa kita gunakan. Apabila penyair sekelas Sutardji saja kesulitan, apalagi kita yang bukan penyair. “Allah” dalam puisi tersebut dapat kita maknai umpama “Ide”-nya Plato yang tak pernah tergapai aneka salinan bahasa, tapi dengan bahasa pula kita selalu berusaha menggapainya.
Bagi saya sendiri, dibandingkan bahasa, karya-karya lukis itu selalu jauh lebih jelas dalam menyalin salinan kedua. Misalnya, sejelek apa pun lukisan gunung masih mirip gunung ketimbag kata “gunung” yang kita gunakan dalam berbahasa. Lukisan yang macam lukisan gunung itu memasuki isu simulacrum yang dibela filosof sekelas Deleuze di abad ke-20 sebagai bukan semata salinan/representasi jika ia memiliki nilai tertentu.
Maka, mari lupakan urusan baper dan gak baper, sebaiknya kita memproduktifkan bahasa sehingga ia tidak sekadar salinan, melainkan sesuatu yang amat bernilai. Itu sebabnya Heidegger menaruh hormat pada para penyair macam Georg Trakl[4].
Rujukan
[1] Berdasarkan sumber (Ewegen), 2014, Plato’s Cratylus: The Comedy of Language. Indiana University Press.
[2] Tema ini sangat baik dielaborasi oleh Parsa, 2023, dalam A Reading of Gilles Deleuze’s Logic of Sense. Palgrave Macmillan.
[3] Puisi tersebut ditulis tahun 1979. Terdapat dalam kumpulan O Amuk Kapak Tiga Kumpulan Sajak Surtardji Calzoum Bachri, 1992, Jakarta: Yayasan Indonesia dan Majalah Horison.
[4] Penghormatan ini dapat dibaca secara implisit dalam buku Heidegger, 2013, Poetry, Language, Thought, New York: Harper Perennial.
Nama : Rizkia Mulyani
NIM : 2222230038
Kelas : 2A
Jurusan : Pendidikan Bahasa Indonesia
Mata kuliah : Filsafat Linguistik
Saya izin bertanya, pada dasarnya yang dapat saya pahami ialah nominalisme itu sesuatu yang dapat memaknai suatu bahasa itu sendiri berdasarkan pemikiran kita sendiri, lantas dengan adanya realitas apakah bahasa akan menjadi lebih rumit untuk dipahami oleh kita? seperti yang dikatakan plato “seperti yang orang mau atau yang kita mau”, bagi saya perkataan plato menunjukkan bahwa realitas itu merupakan kebebasan bahasa sedangkan nominalisme itu hanya berdasarkan satu pandangan saja, antara realisme dengan nominalisme apakah keduanya setara atau memiliki kedudukan masing2 dalam ilmu bahasa?
Widiyah_2222230090_2C
Izin bertanya, Bapak. Sebagai mahasiswa yang mempelajari bahasa, apakah boleh jika tidak memihak antara nominalis dan realis? Mengingat bahasa hanya sebuah salinan kedua bukan bentuk murni, dan Bapak pun menuliskan pendapat bahwa “dibandingkan bahasa, karya-karya lukis itu selalu jauh lebih jelas dalam menyalin salinan kedua.” Hal tersebut membuat saya berpikir bahwa karya seni lebih mudah untuk dipahami maksud dan maknanya, sedangkan bahasa terdengar sederhana ternyata jauh lebih rumit. Apakah ini yang menjadi alasan para ahli bahasa tidak berhenti membahas tentang bahasa sampai saat ini?
Terima kasih, Bapak.
Nama: Keti Wahdania
Nim: 2222230086
Kelas: 2C
Saya menangkap bahwa bahasa lebih sulit dimengerti daripada sebuah lukisan, dalam puisi bahasa dimaknai berbeda beda oleh setiap pembaca namun beda makna juga bagi penulis, namun bapak hal apakah yang menjadi alasan mengapa bahasa itu rumit ? Bahkan terdapat penulis yg karyanya hanya bisa dimengerti oleh dirinya sendiri,
Nama : Liya Adqiyah
Nim : 2222230026
Kelas : 2C
Izin bertanya pak, pada teks diatas dijelaskan jika bahasa yang kita pakai untuk menjelaskan sang ide itu salinan kedua, maka bahasa sastra menjadi salinan ketiganya. Apa perbedaan dari kedua konteks ini dan bahasa sastra yang seperti apa yang dimaksudkan serta bagaimana puisi walau karya Sutardji Calzoum Bachri mempresentasikan konsep kesulitan dalam menjelaskan realitas bahasa sebagaimana dijelaskan dalam teks tersebut?
Nama : Sintha Novela
Nim: 2222230034
Kelas : 2D
izin bertanya mengenai bagaimana cara kita sebagai asli orang indonesia memproduktifkan bahasa sehingga ia tidak sekadar salinan, melainkan sesuatu yang amat bernilai ? sedangkan yang kita lihat saat ini bahasa sudah tidak digunakan dengan baik dan benar baik tulisan maupun pengucapan ?
Risma Fitriyani-2222230050-2A
Mohon izin bertanya.
Kalau seandainya baperan atau tidak baperan ditiadakan, berarti sama halnya kita menghilangkan hakikat bahasa itu sendiri yang arbitrer atau kesepakatan?dan untuk menjadi orang bernilai juga bukannya memiliki perasa? lantas apa bedanya dengan realisme ataupun nominalis?
Dwi Lutfiah Aini_2222230092_2C
Izin bertanya, Bapak.
Dari penjelasan Bapak di atas, apakah kita diharuskan untuk memilih menjadi nominalis atau menjadi realis dengan tetap? Atau dalam beberapa situasi saja? Lalu, adakah konsekuensi praktis dari menjadi seorang nominalis atau realis dalam beberapa situasi? Dan dalam situasi praktis itu kapan menjadi nominalis dan realis lebih menguntungkan?
Terima kasih, Pak.
Eka Edinda Yuliana Andriyani_2222230033_2D
Maaf izin bertanya Pak, Bagaimana pemahaman terhadap representasi alam dalam puisi, dan bagaimana hal tersebut memengaruhi persepsi terhadap bahasa puisi sebagai salinan dari salinan? Apakah konsep ini menciptakan suatu bentuk pemikiran realisme yang menantang ide bahwa semakin mirip dengan kenyataan, semakin realistis suatu karya?
Aura Shafa Apriliana_2222230134_2C
zin bertanya Pak, bagaimana cara mudah memahami maksud realitas dari bait perbait dalam puisi misalnya seperti puisi yang ditulis oleh seorang tokoh yang bernama Sutardji?
Terima kasih.
Nufaisa Nisrina_2222230069_2B
Izin bertanya Pak, berdasarkan pembahasankan dijalaskan bahwa Relativitas bahasa selalu mengandung konsekuensi memahami bahasa seperti yang orang mau atau yang kita mau. Nah yang ingin saya tanyakan yaitu Bagaimana konsep relativitas bahasa dapat mempengaruhi pemahaman kita terhadap bahasa yang digunakan oleh orang lain?
Terima kasih
Nama: Aqilatul Lathifah
NIM: 2222230076
Kelas: B
Jika seorang penyair Sutardji Calzoum Bachri di dalam bait puisi yang berjudul “Walau” kesulitan menjelaskan realitas sebanyak apapun bahasa yang digunakan. Bagaimana agar kita bisa menerapkan realitas bahasa di dalam kehidupan agar bisa dipahami?
Terima kasih, Pak.
Nama : Aqilatul Lathifah
NIM: 2222230076
Kelas: 2B
Jika seorang penyair Sutardji Calzoum Bachri di dalam bait puisi yang berjudul “Walau” kesulitan menjelaskan realitas sebanyak apapun bahasa yang digunakan. Bagaimana agar kita bisa menerapkan realitas bahasa di dalam kehidupan agar bisa dipahami?
Terima kasih, Pak.
Sintia Agustin_2222230020_2C
Apabila penyair sekelas Sutardji saja kesulitan, apalagi kita yang bukan penyair. Lalu bagaimana cara nya agar kita orang awam dapat memahami realitas bahasa dengan mudah dan dapat menerapkan nya dalam pembelajaran-pembelajaran selanjutnya? Apakah ada cara tersendiri untuk kita dapat memahami realitas bahasa tanpa harus mengaitkannya dengan pandangan pandangan manusia?
Nama: Anisa Isnaeni Faturohmah
NIM: 2222230124
Kelas: 2B
Prodi: Pendidikan Bahasa Indonesia
Mata Kuliah: Filsafat Linguistik
Izin bertanya Pak, Apakah bahasa sastra memiliki peran yang berbeda dalam merepresentasikan realitas dibandingkan dengan bahasa sehari-hari? Bagaimana puisi atau karya sastra lainnya dapat memperdalam pemahaman kita tentang realitas?
Arinda Gracella_2222230101_2D
Bagaimana pandangan filosof modern seperti Heidegger memperkuat gagasan pentingnya menghargai nilai bahasa dan karya seni dalam memahami realitas?