Pernahkah Anda membaca kisahan fakta, Biografi pula, tapi serasa bagai sebuah novel?
Manakala pernah. Maka itulah Faksi. Yakni rangkaian fakta, yang dikemas dengan kaidah-kaidah fiksi. Sastrawi jadinya. Baik alur, pengkalimatan, diksi, maupun cara berkisah. Namun, bukan fiksi. Ia adalah factum non fictum!
Menulis seperti itu, hanya segelintir orang yang sampai. Agar Pembaca “read and emulate”, mengalami lagsung. Inilah contohnya.
***
Ketika langit kota Jakarta menggantungkan awan pekat di angkasa, orang kira sebentar lagi akan turun hujan. Namun, siang jelang sore pada bulan Maret 2019, di atas bilangan Sudirman, Jakarta Pusat, langit bersih.
Awan tipis berjalan perlahan melintas langit biru. Sinar matahari tertahan oleh gedung-gedung tinggi pencakar langit yang berdiri angkuh berjejal di atas tanah megapolitan yang semakin rendah dari permukaan laut.
Jam makan siang baru saja usai. Manusia lalu lalang di jalan depan kantor-kantor. Semua buru-buru seperti mengejar sesuatu. Tak seorang pun berpikir tentang jawaban pertanyaan yang oleh banyak orang dipandang merupakan ranah para filsuf, atau kerjaan orang iseng. “Apa tujuan hidup manusia?”
Hanya seorang di ketinggian apartemen-kantor lantai 22 yang berpikir jauh menjangkau ke depan. Di kantor pribadinya yang asri dan cukup luas untuk ukuran Jakarta. Susanto tampak ceria. Tetap bergairah menapaki hari-harinya, meski sedang menginjak usia kepala 7.
Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikirannya. Sebenarnya, yang dicemaskannya bukanlah masalah dunia ini. Akan tetapi, bagaimana meninggal dengan baik dalam arti harfiah maupun simbolik. Cara dan tempatnya terhormat. Selain, sudah tentu, meninggalkan warisan yang nilainya tiada tara yakni: nama baik. Sebuah legacy melebihi segala-galanya.
Maka pertanyaan, “Apa yang pasti di dunia ini?” menjadi bukan saja bersifat sangat pribadi, melainkan juga filosofis. Orang pajak mengatakan, tidak ada yang pasti di dunia ini kecuali: pajak.
Akan tetapi, jauh sebelum itu, sebenarnya para filsuf telah menjawabnya secara meyakinkan sesudah melakukan olah pikir secara mendalam mencari esensi jawaban atas suatu pertanyaan. Maka rumusannya terdapat pada naskah kuna pada zaman Aristoteles (384-322 SM) yang terangkai abadi dalam sebuah bangun silogisme yang berikut ini:
Semua makhluk hidup pasti mati (premis mayor)
Socrates adalah makhluk hidup (premis minor)
Socrates pasti (akan) mati (konklusi)
Jadi, hal yang pasti adalah: mati. Tentang bagaimana caranya dan bila, hanya menjadi rahasia Illahi. Tapi biasanya, usia tua dikait-kaitkan dengan dekatnya masa di mana kepastian itu tiba.
Tiap orang akan mengalami, dan pasti, menjadi tua. Ini hukum alam. Tentang hal ini, ada sebuah nats yang mencatat, “Ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kau kehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kau kehendaki.”
Engkau akan mengulurkan tangan, orang lain akan mengikat dan membawa engkau ke tempat yang tidak kau kehendaki, adalah ciri utama orang yang menjadi tua. Suka tidak suka, itulah faktanya. Suatu masa yang pasti tiba dan tiap orang pasti mengalaminya.
Namun, di antara rasa gamang dan hati yang cemas menghadapi masa tua, ada seorang yang tegar seraya mengatakan, “Jangan takut!” sebab dia telah mengalami sendiri bahwa dalam hidup ini ada sisi putih dan hitamnya. “Itulah tanda penuaan seorang bijak ketika memikirkan perkara-perkara yang terarah ke atas, yang bukan lagi semata-mata duniawi ini.”
Demikian kata pria kelahiran Sabtu Pahing, 9 September 1950 di rumah sakit Panti Rapih, Jogjakarta. Orangtua memberinya nama Tionghoa: Liem Kong Hok.
Di kemudian hari, orang mengenal anak lelaki pertama bertubuh montok itu sebagai Pak AB, lengkapnya Afonsus Budi Susanto. Jelang usia emasnya, ia banyak mengajak orang berpikir terarah ke “atas”.
Ke hal-hal yang esensi dalam hidup ini. Paling penting, ia menggelitik kita semua untuk melakukan refleksi. Mensyukuri tiap helaan napas, detak jantung, serta berterima kasih atas sebesar apa pun nikmat rezeki yang bisa diperoleh setiap harinya.
Memandang hidup secara berbeda dari kacamata Taijitu kiranya perlu mengawali bab buku ini. Lalu berdiskusi mengenai cara menghadapi masa tua yang pasti masing-masing dari kita akan mengalaminya. Sebab pada hemat kami, dalam kondisi apa pun, kita patut bersyukur menjalani hari tua. Dalam kondisi apa pun, entah dalam untung ataupun malang. Mengapa demikian? Dalam Taijitu jelas dikatakan, dalam setiap kegelapan, ada berkas-berkas terangnya. Dan sebaliknya.
Di dalam menghadapi penuaan pun demikian. Ada sisi hitam putihnya. Tak syak, menjadi tua suatu keniscayaan. Masalahnya, ada orang yang menghadapi masa tua dengan rasa gentar dan was-was. Namun, hanya segelintir menghadapinya dengan rasa syukur. Salah satu di antara yang segelintir itu adalah Susanto.
“Semua ada waktunya, seperti kata Amsal. Ketika menjadi tua, kita mulai menata hati dan pikiran untuk tidak lagi terlampau terikat dengan hal-hal yang bersifat duniawi. Hati dan pikiran mulai dihunjukkan ke ‘atas’. Tidak lagi membanding-bandingkan diri dengan orang lain, terutama dengan kalangan yang serba-atas tadi,” terang Susanto.
Menurutnya, membanding-bandingkan diri dengan pencapaian orang lain hanya akan menyeret seseorang ke tubir ketidakpuasan. Raga telah renta, namun dibekap sejuta keinginan yang ingin dicapai. Jika tidak tercapai, hati dan jiwa akan tersiksa. Oleh sebab itu, Susanto sendiri memilih jalan sunyi di hari tua. Ia meninggalkan hal-hal yang duniawi, mulai sibuk berkutat dengan sesuatu yang bernilai dan serba-bermakna bagi sesama yang terarah kepada kebaikan umum.
Di usia akan genap 69 tahun, memasuki gerbang bilangan kepala 7, Susanto tetap diberi nikmat sehat. Tak lupa, ia mengucap syukur atas semua yang telah dialami. Dirinya masih dapat melihat hal-hal baik dalam sebuah rangkaian perjalanan hidupnya. Bersyukur pula, sebab mata dan hatinya masih bisa melihat kebaikan dalam satu kesatuan lingkaran Taijitu.
TAIJITU DALAM KEHIDUPAN NYATA
Susanto mengaku, dari dulu ia mengenal simbol ini. Namun, makanya dalam kehidupan, ia belum terlampau memahami benar. Secara kasat mata, simbol ini tampak di dalam belahan yang hitam terlihat ada putihnya, sebaliknya dalam putih ada hitamnya. Dalam setiap kebaikan, masih ada hal-hal yang buruk. Kita mengalami kebaikan, kita berpikir, ada juga orang yang mengalami hal-hal yang “hitam”. Misalnya, kita bisa sekolah tinggi, tetapi ada sebagian orang yang tidak bisa sekolah.
Sesungguhnya, Taijitu adalah simbol yang mewakili tradisi agama dan filsafat Taoisme (juga disebut Taoisme). Istilah ini berarti “diagram tertinggi” yang mengacu pada konsep Cina yang terkenal tentang yin dan yang, tentang pertentangan yang ada dalam suatu harmoni yang lengkap.
Simbol Taijitu terdiri dari dua (satu hitam dan satu putih) berputar-putar melingkar membentuk “tetesan air mata” yang saling melengkapi menjadi sebuah lingkaran yang sempurna. Setiap gambar berisi bagian dari yang lain sehingga ada titik hitam di setengah putih lingkaran dan titik putih di bagian hitam. Bagian yang tampaknya saling bertentangan ini, tetapi saling melengkapi, membentuk sebuah keseluruhan dan dengan demikian, tidak lengkap tanpa satu sama lainnya.
Sisi gelap atau teduh mewakili Yin, sedangkan sisi putih atau cerah mewakili Yang. Yin dikaitkan dengan feminitas, bumi, air, bulan dan malam hari dan dianggap pasif, dingin, lunak, menghasilkan dan basah. Sementara itu, Yang dikaitkan dengan kejantanan, dosa, api, langit, dan siang hari dan dianggap agresif, panas, keras, dan kering. Putih melambangkan khayalan, sedangkan hitam melambangkan pencerahan.
Yin yang, hitam putih dalam satu kesatuan.
Apa inti dari pesan yang hendak disampaikan oleh simbol Taijitu? Pesannya adalah bahwa segala sesuatu berada dalam dualitas, yang merupakan aspek dasar dari alam. Konsep kebaikan tidak bisa ada di sana tanpa konsep buruk yang terkait. Pria dan wanita, benar dan salah, terang dan gelap, positif dan negatif, panas dan dingin, siang dan malam, dan semua elemen kontras lainnya saling bergantung dan tidak dapat eksis dalam satu keterpisahan hubungan.
Di satu sisi, gerakan memutar yang ditunjukkan oleh simbol Taijitu juga menggambarkan lingkaran kehidupan ilahi. Dunia berubah secara konstan dan bergerak maju dalam siklus yang berbeda, di mana hari berubah menjadi malam dan malam mengarah ke hari lain lagi.
Sementara itu, setiap kelahiran berakhir dengan kematian, dan kematian menyebabkan kelahiran kembali. Begitu seterusnya, berlanjut tanpa putus sebagai sebuah siklus. Itulah pengertian dasar Taijitu, di mana segala sesuatu berada dalam dua dimensi. Dalam kehidupan nyata, Susanto merasakannya suggguh. Ia mencontohkan ketika akan kuliah ke luar negeri, menerima beasiswa.
“Ada dua pilihan waktu itu,” kisahnya. “Minta beasiswa, dengan alasan uang tidak cukup (berbohong) atau mengatakan yang sejujurnya.” Terjadi gejolak dalam dirinya. Sebab ia berada dalam situasi dualitas.
Susanto ingat akan pengalaman dulu ketika mencari beasiswa selepas menamatkan SMA. Memang hati akan merasa nyaman jika mengatakan, punya cukup uang. Inilah keadaan apa adanya, yang manakala disimbolkan adalah bagian putih dari Taijitu. Tapi kalau mendapat beasiswa pastinya tanggungan orang tua menjadi lebih ringan, sebab masih punya banyak adik. Bagian ini adalah dimensi hitamnya, berbohong. Lalu pilihan apa yang akhirnya dijatuhkan Susanto?
Gejolak pasti ada di dalam masa timbang-menimbang jalan mana yang harus dilalui. Hati nurani pada akhirnya bicara. Siapa yang mengikutinya, dia akan terbebas dari rasa berdosa di kemudian hari. Tidak dinyana, Susanto malah dapat beasiswa Friedrich–Ebert-Stiftung (FES).
Menjadi benarlah bahwa suara hati dan kehendak baik (bonae voluntatis) adalah suara Tuhan yang diam, yang bersemayam sebenarnya dalam diri tiap orang. Tinggal bagaimana seseorang mengenal dan mencoba mendengarnya, sebab bisikannya terlampau halus.
(dan seterusnya, bisa baca ebook-nya di sini: https://issuu.com/registrye/docs/lumen_cordium_biografi_ab_susanto)