Sastra

Chairil Anwar yang tak Pernah Mati

Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d.) sampai juga deru angin
tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

Chairil Anwar sejak 28 April 1949 memang terbaring sendiri di Karet. Tapi sejatinya, sang pujangga sekaligus guru moral itu, tak pernah benar-benar mati.

Meski sekolah formalnya “hanya” kelas II MULO. Namun, kejeniusannya dalam olahkata, melebihi profesor bahasa. Banyak sarjana berguru darinya. Aneh, tapi nyata. Itulah Chairil Anwar.

Ikon puisi Indonesia belum tergantikan

Jangankan siswa/mahasiswa atau dosen yang wajib  menelusuri karya dan dunianya. Saya yang hanya pecinta sastra dan suka menjelajah dunia menulis kreatif, ingin untuk “berjumpa” dengannya.

Begitulah, pada suatu hari. Pada sebuah perpustakaan sekolah swasta di bilangan Bundaran Slipi, Jakarta. Saat menunggu para siswa SMA sedang mengerjakan tugas menulis kreatif di perpustakaan, saya sempat menyapu pandang ke segenap ruangan.

Sampul kumpulan puisi (KP) Chairil Anwar. Klasik Ist.

Mata lalu terpanah pada  buku-buku lama yang berjajar rapi di rak. Kesan sekilas, ini sebuah perpustakaan yang tertata dengan rapi. Pinjam meminjam buku tercatat dengan apik. Kode-kode buku yang tertempel dengan jelas menunjuk ke jenis buku tertentu. Petugas perpustakaan dengan sigap menjalankan tugasnya. Ia ramah kepada setiap tamu, tapi saklek pada siswa. Apalagi, pada siswa yang sembarangan. Yang cuwek pada buku dan tidak menganggapnya sebagai guru juga.

Tertarik pada deret buku-buku lama yang ada kaitannya dengan bahasa dan sastra, saya menuju space sastra dan budaya. Di sana terjejer rapi karya para sastrawan terkemuka. Ada Merahnya Merah Iwan Simatupang. Ada Robohnya Surau Kami A.A. Navis. Ada pula  Deru Campur Debu dan Kerikil Tajam yang Terampas dan yang Putus karya Chairil Anwar.

Yang menarik di perpustakaan itu, kumpulan sajak Chairil yang tersimpan adalah cetakan asli yang terbit tahun 1949. Lama saya mencari buku aslinya, baru kali ini ketemu. Rasa penasaran untuk memegang dan membaca sendiri buku asli Chairil Anwar sudah bergelora sejak dua puluh tahun lalu. Tahun 1985, ketika mahasiswa tingkat tiga, saya menulis artikel di Suara Indonesia, harian lokal yang terbit di Malang, bertajuk “Mengenang 63 Tahun Chairil Anwar”.

Waktu itu, saya menyoroti diri dan karyanya dari kaca mata filsafat eksistensialis. Hal itu didorong rasa penasaran, kata banyak pengamat, Chairil terpengaruh para pemikir dan sastrawan Barat. Sorotan yang tidak dalam, memang. Dan belum mencapai titik. Masih koma.

Betapa lega dan senang rasanya ketika memegang sendiri buku asli. Serasa saya bertemu langsung dengan Chairil. Lewat larik sajaknya yang indah sekaligus mengandung daya magis, selalu dan selalu kita kembali ingat peringatannya.

Chairil sejak 28 April 1949 memang terbaring sendiri di Karet. Tidak peduli firasat, ataukah suatu kebetulan, sajak di atas ia tulis di tahun kematiannya. Ketika masuk “daerah yang akan datang” itu, putrinya semata wayang, Evawani Alissa Ch. Anwar, baru berumur 10 bulan.

Pasti Evawani tak secuil pun punya memori pada ayahnya. Jangankan ingat kata-katanya. Sekadar menyimpan gambar tentang sosok sang ayah, ia tak bisa. Namun, dari cerita bundanya, Evawani mengatakan, suatu saat Chairil pernah nyeletuk begini, “Kalau dikaruniai umur panjang, aku mau jadi menteri pendidikan dan kebudayaan. Tapi andai diberi umur pendek, aku ingin anak-anak sekolah berziarah ke kuburku menabur bunga.”

Anak-anak sekolah kini tak hanya berziarah ke kuburnya untuk menabur bunga. Tapi mereka juga setiap saat menabur kata-kata lewat sajak-sajaknya yang indah penuh daya. Tanyakan pada anak-anak sekolah, nama Chairil pasti mereka tahu. Ini karena guru Bahasa Indonesia selalu mengajarkan, bahwa pelopor angkatan ’45 adalah Chairil Anwar.

Ia sosok pujangga yang gelisah mencari jati diri dan selalu memberontak. Dan yang paling pokok, ia mengajarkan untuk memberontak melawan maut: Aku mau hidup seribu tahun lagi! (Sajak “Aku” yang ditulis bulan Maret 1943).

Chairil Anwar sudah tiada 74 tahun lalu. Tapi nama dan rohnya masih hidup hingga kini. Secara badani ia memang mati. Namun, jiwanya tetap abadi. Bukan hanya setahun sekali ketika nyekar, setiap hari anak-anak sekolah menabur bunga untuknya. Lewat pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, lewat lomba baca puisi, lewat pementasan, ketika ulang tahun sekolah, Chairil selalu hidup di sanubari.

Mungkin inilah arti “ziarah” anak sekolah yang pernah diucapkannya. Tidak hanya ziarah secara fisik ke kuburnya, juga ziarah batin dan ziarah pikiran. Ziarah rohani menjelajahi karya dan menyelami kedalaman pikirannya.

Pemberontakan Chairil

Sebagaimana dicatat oleh Sapardi Djoko Damono, pemberontakan Chairil pada jargon-jargon penulisan puisi konvensional ala Amir Hamzah mengantarnya kepada pencapaian. Chairil tak merasa puas pada pakem puisi Timur yang gelap dan dangkal makna. Maka ia lalu mengalihkan pandangan ke Barat. Di sini ia berjumpa dengan Lorca, Du Perron, Marsman, Rilke, dan Eliot. Dalam sajak para penyair Barat itulah Chairil menemukan jati dirinya.

Maka Chairil mulai menyadur karya mereka. Selain menyadur, ia pun memberi roh, seraya meniupkan jiwa Indonesia pada sajak-sajak Barat. Ia memberontak melawan kata. Ia melakukan perlawanan terhadap kemapanan puisi sebagaimana disimbolkan oleh Amir Hamzah. Idenya gila. Tapi dalam kegilaan itu, Chairil bersua usia panjang: seribu tahun!

Nama dan karyanya abadi karena ide gilanya. Tepat di sini apa yang dikatakan John F. Kennedy, mantan presiden Amerika yang tersohor dan memiliki kecerdasan verbal dan linguistik itu. “A nation may raise and fall, but an idea lives on!” Sebuah bangsa dapat saja bangkit dan jatuh, namun ide tetap abadi!”

Tentu tidak semua ide gila abadi. Namun, ide gila Chairil laku. Mengapa? Karena ide gila itu diakui semua orang. Bukankah jika seorang waras masuk bilangan orang gila, maka yang jadi gila adalah satu orang itu?

Itulah sebabnya, kemudian hari Chairil ditahbiskan jadi waras. Karyanya disukai banyak orang. Hingga kini pun, belum seorang penyair pun di Indonesia yang sanggup menandinginya.

Yang mungkin hampir mendekatinya barangkali Sapardi Djoko Damono. Lalu Goenawan Mohamad. Dan generasi sekarang mungkin Joko Pinurbo. Tiga penyair ini, menurut kritikus sastra Korrie Layun Rampan, sealiran dengan Chairil. Tapi untuk bisa menggeser Chairil, rasanya mustahil. Untuk memisahkannya dari anak-anak sekolah, hampir tidak mungkin. Sebab Chairil itu ikon. Ia simbol puisi modern. Yang memberikan napas pada kata. Karena itu, ia abadi. Ia hidup seribu tahun lagi!

Chairil hampir selalu jadi pilihan

Nama dan karya Chairil akan selalu mengisi hati anak-anak sekolah. Kurikulum 2004, yang juga dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) khusus mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia,  mulai dari SD hingga SMA menggariskan kompetensi yang mesti dimiliki siswa. Antara lain, dalam kurikulum dipersyaratkan kompetensi dasar siswa membacakan puisi.

Dalam hasil belajar disebutkan bahwa membacakan puisi dengan lafal, intonasi, dan ekspresi yang tepat.

Dan puisi Chairil hampir selalu jadi pilihan. Selain mudah dan indah, rata-rata puisi Chairil adalah “puisi panggung”. Artinya, cocok untuk dideklamasikan dan dibacakan. Hanya sebagian kecil puisi Chairil “puisi meja”. Artinya, puisi yang berisi permenungan, karena itu, hanya cocok untuk direnungkan dan dinikmati sendiri.

Dalam setiap deklamasi dan pembacaan puisi di kelas, Chairil selalu hidup. Rohnya tak pernah hilang dari anak-anak sekolah. Dari abad ke abad, dari timur ke barat, Chairil selalu mengisi puisi Indonesia.

Karena itu, tak hanya di Jakarta Timur, di sumatera Barat pun namanya abadi. Saya pernah menyaksikan dan mendengar sendiri sajaknya “Krawang-Bekasi” dengan fasih dilafalkan seorang siswa SMA di Bekasi. Betapa bangganya siswa, anak Bekasi, ketika membacakan sajak Chairil.

Kenang-kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu

Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi”.

 Ketika larik sajak Chairil kembali diperdengarkan, hadirin tercenung. Hening. Semuanya diam. Di tahun 1948, Chairil sudah “melihat” peristiwa naas antara Krawang dan Bekasi. Peristiwa Rengasdengklok, lalu kerusuhan Mei 1988. Berapa banyak tulang-tulang diliputi debu antara Krawang dan Bekasi? Banyak sekali! Seakan menggenapkan nujum Chairil, sudah berapa ribu orang terbaring, diliputi debu asap bensin dan solar antara Krawang-Bekasi?

Nubuat Chairil, seperti juga tentang kematiannya, hampir selalu benar! Dan taburan bunga, tak hanya didapatnya di pusara, di Karet. Decak kagum dan hati berbunga-bunga siswa SMA selalu saja membahana. Chairil selalu hadir mengisi relung-relung hati para remaja, anak-anak sekolah yang dirindukannya.

Di Padang, Sumatera Barat, ada sebuah jalan bernama “Jalan Chairil Anwar”. Tahun 1995, saya pernah menginap di sebuah hotel di sepanjang jalan itu. Kebetulan, Jalan Chairil Anwar di Padang dekat dengan sebuah yayasan persekolahan swasta. Sebuah yayasan persekolahan yang besar, dengan murid mungkin lebih dari seribu.

Seribu adalah sebuah simbol. Angka yang merujuk ke hitungan banyak, bahkan kadang tak berhingga. Bayangkan, setiap hari, ketika anak-anak sekolah melewati jalan itu, Chairil Anwar selalu setia menunggu. Ia akrab dengan anak-anak sekolah. Ia hidup seribu tahun lagi!

Dalam usia yang tergolong sangat muda, Chairil menghadap Pencipta. Umurnya 26 tahun 9 bulan. Lahir di Medan pada 26 Juli 1922, wafat di Jakarta pada 28 Maret 1949. Sebenarnya, warisan karyanya tidak banyak. Semasa hidup, Chairil Anwar hanya menghasilkan 70 puisi asli, 4 puisi  saduran, dan 10 puisi terjemahan. Prosannya yang asli ada 6, sedangkan prosa saduran 4 buah.

Namun, dari karya (buku) yang serba sedikit itu muncul penghargaan besar. Ia menjadi mahaguru bagi banyak orang. Buku Chairil yang jumlahnya sedikit itu melahirkan sejuta inspirasi. Bukunya yang sedikit melahirkan beribu buku lain. Entah buku yang membahas langsung karyanya, entah yang membahas latar dan proses kreatifnya. Buku Chairil yang “Cuma” puluhan halaman, dibahas sebuah buku ratusan halaman. Sungguh sebuah buku adalah guru sangat dalam sumur ilmunya, sehingga tak pernah kering untuk ditimba!

Karyanya tidak hanya dimeteraikan dalam sejarah sastra Indonesia. Tak hanya itu. Namanya diabadikan sebagai nama jalan, dekat sebuah sekolah terkenal di Padang. Dalam usia yang sangat muda, ia telah tua dalam pengalaman hidup. Pergumulannya dengan hidup, dituangkannya dalam sajak. Ia mengeksresikan pikiran, perasaan, dan keindahan lewat kata bahasa Indonesia yang penuh daya. Sungguh sangat luar biasa!

Jasa lain, Chairil Anwar sudah mengantar banyak orang jadi sarjana. Di tahun 1976 misalnya, Arief Budiman jadi sarjana berkat Chairil. Skripsi Arief yang berjudul “Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan” mengantarnya menjadi sarjana yang sujana.

Hingga kini pun, karya-karya Chairil Anwar masih terus diselidiki terutama di lingkungan perguruan tinggi. Entah ditinjau dari sudut psikologi, sosiologi, entah ditinjau dari ilmu sastra. Yang pasti, Chairil bagai sebuah sumur tak tak pernah kering. Tak habis kalau ditimba, ketika orang memuji dan mengapresiasinya. Sebaliknya, ia juga tak bertambah kalau diisi, tatkala dicaci dan dikritik.

Banyak buku mengumpulkan kembali puisi dan prosa Chairil

Banyak buku yang mengumpulkan kembali puisi dan prosa Chairil. Antara lain Chairil Anwar: Aku Ini Binatang Jalang (Gramedia, 1986), Derai-derai Cemara (Horison, 1999) dan Chairil Anwar: Pelopor Angkatan ’45 (Grasindo).

Yang menakjubkan, 80% isi buku itu persis sama: menyajikan sajak-sajak Chairil, tanpa diubah sekata pun. Hanya saja, Derai-derai Cemara mengimbuhi di akhir buku sejumlah pidato dan esai Chairil. Namun, buku-buku itu laku sebagai komoditas. Sebagian tentu dibeli umum, yakni mereka yang “gila” sastra. Tapi jauh lebih banyak yang dibeli perpustakaan sekolah. Dipakai sebagai contoh dalam rangka apresiasi dan pengajaran sastra. Dipakai sebagai medium pendidikan!

Sebuah pilihan yang sangat tepat. Bukankah Chairil Anwar, sebagai pujangga, adalah guru yang baik? Dan karena itu, karyanya sangat cocok untuk pendidikan?

Pada zaman Yunani kuno, anak-anak raja (waktu itu yang bersekolah hanya anak raja dan kaum bangsawan) selalu diajarkan sastra (mitos, tragedi, dan komedi). Tujuannya: agar anak (siswa) halus jiwanya. Jiwa yang halus itu dibentuk melalui karya sastra.

Dengan memahami dan menikmati karya sastra, anak mengalami katarsis, pembersihan. Sebab di dalam raga dan jiwa yang bersih, rasio dapat berjalan. Bukankah rasio akan tumpul dalam sanubari yang kotor dan terombang-ambing?

Itulah sebabnya, Vossius dalam buku Poeticarum Institutionem Libri Tres (1647) menulis, “Poetae sunt morum doctores” (pujangga adalah guru moral). Lalu Bolieau menambahkan, “Qu’en savants lecons votre muse fertile. Partout joigne au plaisant le solide et l’utile” (Hendaknya dalam ajaran-ajaran budiman kepenyairanmu yang kaya, engkau selau menggabungkan apa yang benar dan apa yang berguna dengan ihwal yang menyenangkan).

Sajak-sajak Chairil Anwar diakui kaya. Ia guru yang baik dan benar. Sebab dalam sajak-sajaknya, Chairil senantiasa menggabungkan apa yang berguna dengan sesuatu yang menyenangkan. Kita suka sajaknya karena membawa kita ke suatu pemahaman akan makna kehidupan ini. Hati kita juga disukakan oleh pilihan katanya yang indah dan bernas.

Maka tak berlebihan membaiat Chairil sebagai “guru moral”. Bukan cuma guru tempat kita belajar bagaimana menulis puisi yang hebat. Terlebih-lebih guru dalam memahami dan memaknai hidup ini.

… hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tak diucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

(Chairil Anwar dalam “Derai-Derai Cemara”, 1949.)

Kita tentu sering mendengar pepatah,  “Kegagalan adalah sukses yang tertunda”. Artinya, seseorang yang gagal dan gagal terus, namun optimis suatu saat pasti berhasil.  Lalu “Hidup hanya menunda kekalahan” bisa diartikan: selagi masih hidup, maka kita menang. Kita kalah, setelah napas kita dicabut oleh Si Pemberi Napas.

Sang guru bernama Chairil Anwar telah 75 tyahun tahun silam mengembuskan napas terakhir. Seperti yang dinubuatkannya, jasadnya memang akhirnya dibaringkan di pemakaman umum Karet. Selamanya. Sebuah tempat yang mudah dicapai dari berbagai penjuru, terutama Jakarta. Ia ingin agar anak-anak sekolah dapat menabur bunga di pusaranya sambil berdoa.

Meski telah tiada, roh dan namanya tetap hidup sampai kini. Sampai nanti. Dan mungkin, hingga seribu tahun lagi. *)

Masri Sareb Putra

Recent Posts

Modus Operandi Humaniora

Secara konstitusional, kecenderungan humaniora untuk membuka percakapan dunia apa saja seakan-akan dunia tersebut dalam krisis,…

3 days ago

Prof. Jatna Supriatna dan Masri Sareb Putra Bertukar Buku

Suasana di lantai 17 Gedung Perpustakaan Nasional, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta terasa hidup dengan energi…

4 days ago

Biografi Apai Janggut, Pendekar Lingkungan dari Sungai Utik

"Dunia internasional saja mengakuinya. Masa' kita, orang dalam, yang tak lain tak bukan adalah keturunannya…

5 days ago

A scholar’s Child Holding a Doctorate: Infidel!

The most real and overt strategy of Satan is to incite people. Remember, the first…

6 days ago

Monograf Manusia dan Alam Krayan, Kalimantan Utara

Judul buku: Jejak Peradaban Manusia Sungai Krayan Jumlah halaman : 320 Penulis : Dr. Yansen…

6 days ago

Menulis Itu Tidak ada Teorinya

Menulis tidak terikat oleh aturan atau teori yang kaku.. Namun, menulis lebih merupakan proses yang…

7 days ago