Entah sudah berapa kali saya membaca ulang buku terbitan Penerbit Mizan ini sejak saya beli. Judulnya lumayan seru, Elegi Gutenberg: Memposisikan Buku di Era Cyberspace. Meski buku ini terbit 22 tahun lalu, apa yang tertulis di dalamnya masih relevan untuk dibaca hari ini.
Kala itu, Putut Widjanarto, penulisnya, mengatakan bahwa buku ini tidaklah diniatkan sejak awal. Ia berisi kumpulan tulisan pendek dalam rubrik Selisik yang dimuat di Republika Minggu dengan tema beragam–meski tetap dalam koridor dunia literer. Ia mengistilahkan buku ini sebagai non-book book (buku yang bukan buku) yang tidak menyuguhkan gagasan yang solid dan tersusun dengan argumen yang terstruktur rapi. Tetapi, tetap enak dibaca dari mana saja. Putut berselancar dalam beragam tema dan pergulatan perbukuannya, dari dua era: penerbitan konvensional dan penerbitan elektronik yang kala itu masih ibarat fajar yang mengintip dari timur.
Salah satu tema yang menarik adalah perihal kehadiran buku elektronik (e-book) yang menjadi perbincangan hangat dan menggairahkan di masanya. Ia dibicarakan karena merupakan wujud lain dari buku, “buku” yang bisa diraih pembaca dari belahan mana pun di dunia ini pada waktu yang sama lewat media Internet. “Buku” yang tidak lagi dideskripsikan sebatas lembar kertas berjilid, berisi tulisan dan gambar. Kegamangan manusia menyambut era cyberspace akhirnya menjadi cerita lucu bila kita baca hari ini.
Stewart Alsop, seorang kolumnis tetap majalah Fortune, misalnya, mengusik para penerbit buku konvensional lewat artikelnya “Alsop to publishers: Wake Up!” pada edisi 29 September 1997. Alsop menganggap para penerbit buku seperti siput yang lamban, tak segera sat set memanfaatkan Internet untuk urusan bisnisnya. Padahal, menurutnya, dengan Internet penerbit bisa membentuk cara baru dalam komunikasi pengarang-penerbit-pembaca, mengatasi kendala ruang dan waktu.
Teriakan Alsop kala itu nyatanya kini menjadi sebuah kenyataan. Bahkan sudah menjelma menjadi sebuah keniscayaan. Lantas, akankah buku konvensional (cetak) akan mati?
Francis Bacon (1561-1626), penulis Novum Organum (1620) pernah melontarkan kalimat bijak, “Some books are to be tasted; other swallowed; and some to be chewed and digested.” Intinya hendak mengatakan bahwa tiap orang punya pandangan yang tidak sama dalam memandang suatu pengalaman. Itu sebabnya, buku–sebagai manifestasi pengalaman individu–ada yang cukup dibaca sekali, ada pula yang harus dibaca berulang-ulang untuk dapat memahami isinya.
Filsuf Inggris ini juga mengatakan “to read without reflecting is like to eat without digesting.” Mencerna isi buku, muncul ketika seseorang membaca buku. Orang “membaca” huruf dan kata dalam proses bawah sadarnya sehingga pikiran sadarnya bebas untuk menyerap makna dan isi. Namun, Bacon juga mengingatkan bahwa tidak sembarang buku pantas diserap makna dan isinya.
Nah, dalam kaitannya dengan mencerna isi buku, setiap orang punya cara masing-masing. Ada orang yang untuk bisa mencerna isi sebuah buku harus membacanya berulang-ulang, memberi tanda dengan corat-coret, atau bahkan melipat kecil ujung halaman yang dianggap menarik. Ada pula yang harus membacanya sebelum tidur, di saat waktunya sudah sangat longgar bahkan hingga akhirnya ia benar-benar terlelap. Bahkan, yang lebih ekstrem, ada yang mempunyai ritual membaca buku sambil menghirup aroma kertasnya.
Sebaliknya, kehadiran e-book belum sepenuhnya menyenangkan semua orang. Ada yang mengatakan tidak biasa membaca di layar kaca, terganggu oleh cahaya monitor, hingga canggung karena tak bisa membaca sambil melipat sampul buku elektronik itu.
Dari sini saja setidaknya kita bisa “memotret” betapa evolusi buku yang telah diawali sejak 20 tahun silam, belum juga sampai pada titik timbangnya. Itu pun sudah dipacu dengan “bonus” dua tahun pandemi yang mempercepat kemampuan adaptasi manusia terhadap teknologi.
Jadi, di semestanya yang baru, Gutenberg tentu masih bisa tersenyum… ia belum sepenuhnya tergantikan.
Yes love it