Saya teringat akan kata-kata mustajab Alvin Toffler. Tentang buta-huruf, atau illiterasi.
Katanya,“Di masa yang akan datang, orang yang buta aksara bukan semata-mata mereka yang tidak bisa membaca-menulis. Akan tetapi, orang yang buta aksara adalah yang buta-literasi, yang tidak membaca dan tidak menulis”.
Definisi illiterasi: lack of knowledge in a particular subject; ignorance. Minimnya pengetahuan akan suatu hal khusus; ketidaktahuan.
Kita mafhum bersama bahwa Alvin Toffler adalah seorang hebat. Pria kelahiran 3 Oktober 1928, di New York ini dikenal sebagai pebisnis sukses Amerika, penulis, dan seorang ahli nujum yang bisa melihat masa depan.
Apa yang dikemukakan Toffler perlu kita camkan, sekaligus renungkan. Apakah kita, di zaman milenial ini, mau tergerus oleh perubahan yang tidak bisa untuk dibendung siapa pun?
Buta huruf di masa datang, menurut Toffler adalah: lack of knowledge in a particular subject; ignorance.
Atau justru sebaliknya: menjadi bagian dalam arus pusaran perubahan itu. Setidaknya, tidak tenggelam dan hanya naik turun bertahan mengikuti arus gelombang?
Buta huruf di masa yang akan datang bukan (lagi) sekadar tidak dapat membaca dan menulis. Namun, buta huruf di era digital adalah seorang yang tidak berpengetahuan khusus, yang tidak (dapat) mengenali dunia sekitarnya.
Pemikiran Toffler dalam. Buta huruf ternyata esensinya sama dari masa ke masa sama, meski ujudnya berbeda.