Tulisan ini sebetulnya Kata Pengantar kami pada Kamus Populer Bahasa Indonesia – Bahasa Dayak Ngaju yang terbit pada tahun 2024. Edisi khusus untuk menjelaskan kata lepau secara gamblang.
Dalam cover kamus itu, kami menggunakan foto Betang Antang Kalang di Tumbang Gagu, yang dibuat oleh zending Basel Mission pada tahun 1924 dan sudah kami direstorasi. Mengapa demikian? Jawabannya karena di depan betang itu ada dua bangunan lepau. Perihal foto lepau ini sudah didiskusikan terbuka di Facebook pada tahun 2019, dan oleh Basel Ahat Bangkan (Mantan Damang Sabangau dan Keturunan Surung Mantir) yang memang pernah memiliki lepau, bangunan itu memang lepau.
Pada edisi sebelumnya, hampir semua cover kamus menggunakan gambar padi dan beras. Padi dan beras bukan saja sumber pangan bagi orang Dayak, tetapi simbol kemakmuran.
Lepau, adalah entri yang bisa pembaca temukan dalam kamus ini. Istilah ini mungkin tidak Anda temukan dalam kamus lain yang sejenis. Pada edisi sebelumnya, Kamus Populer Bahasa Indonesia – Dayak Ngaju yang terbit tahun 2017, tidak ditemukan entri kata lepau.
Di kamus ini barangkali istilah lumbung yang selanjutnya disebut lepau hanya dinarasikan singkat (lihat halaman 195). Namun narasi kami tentu saja berbeda dengan kamus-kamus lain. Lepau (lumbung) bukan sekedar untuk menyimpan padi, tetapi tempat untuk memuliakan padi. Mengapa demikian? Bagian ini menjelaskan alasan itu.
lumbung : n/kb (bangunan untuk menyimpan dan memuliakan padi) — lepau.
lumbung berbentuk kotak: n/kb (tempat menyimpan padi berbentuk kotak dari papan, bisa ditempatkan pada bangunan tersendiri atau menyantu dengan rumah, atau bahkan di dalam rumah) — karangking.
lumbung berbentuk silinder : n/kb (tempat menyimpan padi berbentuk silinder dari kulit kayu) — lusok, lusuk.
Untuk pembaca ketahui, pengentrian kata lepau dalam kamus edisi terbaru ini, kami melalui proses yang panjang. Kata ini tidak lagi popular di masa kini, namun sangat penting untuk diingat dan dipahami. Karena lepau adalah simbol ketahanan pangan serta ketahanan budaya orang Dayak Ngaju pada masa silam.
Ketika pembaca berjalan ke kawasan orang Tamuan, sangat mudah menemukan Jurung . Demikian juga ketika berjalan ke kawasan orang berbahasa dan berbudaya Iban, cukup mudah menemukan Durong. Jurung, Durong ataupun Lepau mengandung kegunaan dengan filosophi yang hampir sama, karena berkaitan dengan padi dan roh padi. Lumbung yang disebut Lepau, Durong atau Jurung adalah istananya padi, tempat padi dimuliakan.
Untuk kasus lepau, dikarenakan bangunan itu tidak ada saat ini serta tidak ada tulisan dari sumber-sumber asing atau lokal yang membahas itu, agak sulit dinarasikan. Perihal bagaimana padi diperlakukan sangat baik di dalam lepau, Basel Ahat Bangkan memiliki banyak kisah. Diantaranya, tangkai padi hasil panenan pertama ketika Ngunjut harus digantung di bagian bumbung lepau. Basel Ahat Bangkan memahami itu, dikarenakan Datunya, Surung Mantir adalah saudagar yang menjadi mitra Ngabe Soekah di Pahandut, memiliki banyak pekerja, memiliki ladang dan hasil ladangnya disimpan di dalam lepau di kawasan Sabangau.
Oleh karena itu, narasi cara menyimpan dan mengambil padi di dalam lepau sulit dinarasikan. Untuk perbandingan, tulisan ini menarasikan penyimpanan dan pengambil padi di Durong. Di kawasan masyarakat berkebudayaan Ibanik, di sungai Kedah, padi yang disimpan di Durong adalah padi yang dipanen dari ladang dan tidak diirik. Artinya, masih dengan tangkai kecil (karena padi dipanen dengan digenggam dan ditarik). Saat di masukkan le Durong, padi dibuat berkelompok berdasarkan jenis (varietas), yang disebut tuku padi. Padi yang disimpan di Durong adalah padi yang dimakan pasca ritual gawai (pakanan batu dalam istilah Dayak Ngaju).
Untuk mengambil padi di dalam Durong, ada sejumlah aturan. Yang pertama, harus diambil saat matahari belum terbit, pengambil padi datang ke Durong saat masih agak gelap menuju terang di pagi hari. Yang kedua, mengambil padi harus dengan kelembutan, gundukan padi diusap sampai gabahnya jatuh ke tikar. Yang ketiga, ada nyanyian untuk menimang padi sewaktu mengambil padi di Durong. Sehingga yang paling sering mengambil padi adalah orang yang bisa menyanyikan syair timangan dan umumnya ibu-ibu.
Mengapa demikian? Hampir setiap sub-suku Dayak mempercayai bahwa padi adalah tanaman suci yang memiliki roh. Beberapa sub suku bahkan meyakini bahwa padi adalah tumbuhan surgawi yang diturunkan dari langit.
Demikian juga Dayak Ngaju. Padi dalam nyanyian sastra Dayak Ngaju ada dua jenis, yaitu Parei Manyangen Tingang untuk padi biasa, serta Pulut Lampung Penyang untuk padi ketan adalah tumbuhan yang memiliki roh. Untuk memahami itu, Tjilik Riwut menuliskan bahwa roh parei-behas (padi dan beras) adalah roh Putir Selung Tamanang dan Raja Raja Angking Penyang. Mereka adalah pembantu terdekat Ranying Hatalla yang berada di langit ketujuh di Bukit Kagantung Gandang (Riwut, 2003: 489 – 490).
Dalam hal itu, Ranying Hatalla berkata sendiri kepada Behas Manyangen Tingang, yaitu agar agar keturunan Raja Bunu mengetahuinya, bahwa tugas Behas Manyangen Tingang bukan saja menjadi penyambung hidup (makanan pokok), melainkan juga sebagai penghubung Ranying Hatalla dengan Pantai Danum Kalunen.
Auh petehe (Ranying Hatalla); mangat panakan Raja Bunu handung hakatawan kagunan bitim Parei Manyangen Tingang, ije beken bara akan tuntung tahaseng tuntang tambing nyaman ewen, ikau akan indu duhung luang rawei ewen Pantai Danum Kalunen nyambang Aku Ranying Hatalla, Aku ije puna katamparan taluh handiai, kalute kia Aku ije kahapuse.
Padi benda suci di negeri langit Lalang Tambangap Langit. Diturunkan Ranying Hatalla bagi Raja Bunu dan keturunannya melalui wahana Palangka Bulau Lambayung Nyahu ke bumi manusia. Palangka Bulau Lambayung Nyahu juga sebagai wahana yang digunakan oleh Raja Bunu turun ke bumi.
Oleh sebab itu, kehadiran padi di muka bumi menurut keyakinan orang Dayak Ngaju seusia dengan kahadiran manusia. Dikarenakan padi adalah sesuatu yang mulia, maka dia harus ditempatkan pada suatu wadah yang seharusnya.
Petani Dayak Ngaju tempo dulu melaksanakan Ngunjut, yaitu mengambil rumpun padi yang paling baik di tengah ladang sebagai panenan pertama. Tangkai padi yang diambil berkisar 15 tangkai. Sebelum Ngunjut diadakan ritual Narenjet yang dipimpin oleh orang yang dituakan. Narenjet adalah menimang dan menabur beras untuk menyampai pesan-pesan kepada Hatalla serta alam sekitarnya. Pada prosesi sebelum panen ini, narenjet menyampaikan pesan kepada roh padi bahwa pada hari itu akan diadakan panen. Narenjet disertai dengan pembakaran kemenyan, memercikan padi dengan air yang dicampur minyak wangi dan irisan daun pandan. Tujuan ritual itu adalah mendinginkan gana (roh) padi. Rumpun padi yang diambil waktu ngunjut di bawa ke lepau dan digantung.
Di tahun 2014, ketika mengisahkan langkah-langkah Damang Batoe saat menyiapkan pertemuan Tumbang Anoi 1894, TT Suan menyebutkan bahwa Damang Batu menyediakan padi ‘balepau-lepau’. Saat bercerita, TT Suan berusia 82 tahun. Tahun 2018, tatkala melakukan penelitian tentang Ngabe Anom Soekah, Muller Senas (84 tahun kala itu), keturunan Ngabe Soekah yang berumur paling tua serta melihat Huma Hai (rumah besar) pertama milik Ngabe Soekah, mengisahkan bahwa di di samping rumah Ngabe Soekah di Pahandut terdapat bangunan lepau. Di kawasan Sabangau, sebagaimana dikisahkan oleh Basel Ahat Bangkan, pada masa Ngabe Soekah memimpin Pahandut, leluhur Basel Ahat Bangkan yang bernama Surung Mantir memiliki banyak peladang dan untuk menampung hasil ladang maka dibangunlah lepau.
Lepau barangkali kata yang asing bagi orang Dayak Ngaju saat ini. Penulis beberapa kali bertemu dengan orang-orang yang saat ini berusia antara 60 sampai 70 tahun (ketika menyusun kamus) untuk mendiskusikan kata Lepau, namun sebagian besar dari mereka sudah tidak memahami istilah itu. Hal itu dikarenakan benda yang dinamakan lepau hampir tidak didapatkan lagi di kawasan orang Dayak Ngaju.
Ketika menjelajahi Borneo pada tahun 1843-1847, Schwaner menemukan lepau-lepau di dalam Kuta orang Dayak Ngaju. Di masa itu, lepau adalah tempat penting, sehingga dalam kamus Dayak Jerman (Dajacksch–Deutsches Worterbuch) yang diterbitkan tahun 1859, Aug Harderland memasukan kata Lepau di 306.
LEPAU, ein kleines Häuschen auf 4 oder 6 hohen Pfeilern; mitten an den Pfeilern sind runde, glatte Bretter um sie befestigt, um den Ratten das Hinauf- klettern zu wehren; man verwahrt den Reiss in den Lepau. Halepau, balepau, eine Lepau ha- ben; in eine Lepau gethan sein. Paräiku uras djari balepau, mein Reiss ist schon alle in der Lepau. Kutoh paräi, balepalepau, er hat viel Reiss, mehrere Lepau voll. Malepau, halepau dengan, Reiss in die Lepau thun.
Jika diartikan dengan google translate, entri kata lepau Harderland bermakna sebuah bangunan kecil, memiliki 4 atau 6 tiang, di tengah-tengah tiang terdapat papan bundar untuk menghalangi tikus naik. Dalam contoh kalimat pada entri kata lepau ini Harderland menuliskan bahasa Dayak Ngaju yaitu ‘paraiku uras djari balepau’ yang bermakna ‘padiku semua sudah di dalam lepau.’
Dari narasi itu bisa disimpulkan bahwa lepau adalah sebuah bangunan, umumnya bertiang 4 atau 6, memiliki papan bundar untuk menghalangi tikus dan berkaitan dengan penyimpanan padi. Sekilas ini rancu, harus dicari tambahan lain untuk mempertegas benda yang disebut lepau.
Di halaman 100, Harderland menulis kata Djalapang dengan penjelasan sebagai latte Holzscheiben, welche man einige Fuss über der Erde an die Pfosten der Lepau, yang bermakna piringan kayu pada tiang lepau, untuk menghalangi tikus naik.
Artinya untuk disebut lepau, bangunan itu bertiang 4 atau 6 dan lazimnya memiliki Djalapang. Djalapang sebagai penghalang tikus yang diletakkan pada bangunan penyimpanan padi ada pada Jurung orang Tamuan di kawasan DAS Batang Kawa atau Durong kelompok Iban di DAS Kapuas Lawai dan Serawak.
Dengan memperhatikan ciri-ciri dan penjelasan itu, maka tepatlah Lepau disebut sebagai lumbung padi orang Dayak Ngaju, yang disebut Jurung oleh orang Tamuan atau Durong oleh orang Iban.
Tidak mudah menemukan bukti keberadaan Lepau di Tanah Orang Ngaju. Selain ada dalam lukisan Schwaner di Kuta Karingan, foto Lepau yang tersedia saat ini hanya di Betang Antang Kalang, yang dibuat pada tahun 1924 oleh zending Basel Mission. Dua bangunan di depan Betang Antang Kalang itu memang bisa dipastikan lepau atau jurung, hanya tidak terlihat Djalapang (Jelapang). Bisa dibandingkan dengan Jurung orang Kinipan pada gambar berikutnya.
Sebagaimana dinarasikan oleh Basel Ahat Bangkan (tahun 2019), orang Dayak Ngaju menyimpan padi yang belum diirik ke dalam lepau. Sedangkan gabah bersih (sudah diirik) umumnya disimpan di Karangking (kas padi).
Selain lepau, orang Dayak Ngaju mengenal Lusok (lusuk) sebagai tempat menyimpan padi. Dunis Iper dalam Kamus Bahasa Dayak Ngaju – Indonesia menjelaskan Lusok sebagai tempat menyimpan padi yang terbuat dari kajang (kulit kayu) berbentuk bundar. Hardeland dalam kamusnya di halaman 235 menuliskan Lusok sebagai ein durch Kadjang (Blättermatten) dargestelltes rundes Behältniss, in welchem man Reiss, Njating (Harz,) etc. Lusok wadah berbentuk silinder/tabung dan disimpan di dalam rumah, digunakan untuk menyimpan padi. Menurut penuturan Basel Ahad Bangkan, satu buah lusok bisa menyimpan padi antara 200 sampai 300 blek. Blek adalah satuan ukuran petani Dayak Ngaju. Satu blek rata-rata 7 (tujuh) kilogram.
Karangking adalah peti berbentuk persegi. Karangking atau kas parei ini bisa disimpan di dalam rumah, di samping rumah atau dibuatkan bangunan khusus (bukan lepau) yang terpisah dari rumah. Karangking digunakan untuk menyimpan padi dalam jumlah banyak serta untuk jangka waktu yang panjang.