Pada tahun 1992, terjadi sebuah peristiwa penting yang menandai sejarah kebudayaan suku Dayak di Kalimantan, Indonesia.
Sebuah seminar internasional kebudayaan Dayak diadakan di Pontianak, menjadi momen penting yang menegaskan identitas dan kesatuan etnis Dayak di mata dunia.
Konsensus bersama yang baku; Dayak
Kegiatan ini tidak hanya sebagai ajang pertemuan antarbudaya, tetapi juga menjadi titik balik dalam penyeragaman penulisan nama etnis Dayak yang sebelumnya memiliki variasi penulisan seperti Daya, Daya’, dan Dyak. Disepakati, dalam konsensus seminar itu, penulisan yang baku adalah: Dayak.
Selama ini, perbedaan penulisan nama tersebut kerap menjadi sumber kebingungan serta kurangnya konsistensi dalam pengakuan etnis dan kebudayaan Dayak baik di tingkat nasional maupun internasional.
Seminar tersebut berhasil mengumpulkan para pemuka adat, akademisi, dan perwakilan dari berbagai komunitas Dayak dari seluruh Kalimantan. Diskusi dan dialog yang terjadi di seminar tersebut membuka ruang untuk menyatukan persepsi dan memperkuat identitas etnis Dayak.
Baca Dayak Taman : Konversi Disertasi Thambun Anyang Menjadi Buku Bermutu
Kesepakatan untuk menyatukan penulisan nama etnis menjadi “Dayak” merupakan langkah simbolis namun strategis dalam rangka memperkuat solidaritas dan identitas bersama. Hal ini penting tidak hanya dalam konteks pengakuan kebudayaan tetapi juga dalam memperjuangkan hak-hak sosial, politik, dan ekonomi suku Dayak. Penyeragaman ini membantu memudahkan komunikasi dan dokumentasi yang berkaitan dengan kebudayaan dan hak-hak masyarakat Dayak, serta memperkuat posisi mereka dalam diskursus nasional maupun global.
Florus, Juweng, dan Julipin
Penyeragaman nama ini juga memicu kebangkitan dan kebanggaan etnis Dayak dalam mempromosikan dan melestarikan warisan budaya mereka, dari tarian tradisional, musik, ritual adat, hingga pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Ini membantu membawa masalah-masalah yang dihadapi oleh suku Dayak, seperti hak atas tanah, deforestasi, dan marginalisasi sosial, ke dalam perhatian yang lebih luas.
Perubahan ini telah mendorong penerbitan buku, penelitian, dan artikel yang konsisten menggunakan nama “Dayak”, yang sebelumnya sering kali tidak konsisten. Ini tidak hanya membantu dalam dokumentasi akademis tetapi juga dalam kegiatan advokasi dan pembuatan kebijakan.

Juweng dan Julipin bersama rekannya Paulus Florus dan sejumlah tokoh muda intelektual Dayak lainnya, dalam kerja sama yang produktif dengan Konferensi Waligereja Indonesia (LP3S-KWI), berhasil mendirikan Institute of Dayakologi Research and Development (IDRD). Inisiatif ini kemudian berkembang menjadi Institut Dayakologi (ID), yang bertindak sebagai tonggak penting dalam pelestarian dan penelitian budaya Dayak.
Baca “Prosiding Kongres Internasional: Kebudayaan Dayak 1: Menjadi Dayak”
Institut ini, pada masa keemasannya sebelum tragedi kebakaran yang menghancurkan kantornya di Jalan Imam Bonjol, termasuk arsip berharga yang ia simpan, telah memainkan peran kunci dalam meneliti dan memublikasikan informasi tentang berbagai aspek kebudayaan Dayak. Melalui majalah Kalimantan Review, IDRD dikenal luas dan dihormati sebagai sumber rujukan akademis yang berkualitas tinggi, mengkaji ratusan folklor serta berbagai aspek kesenian, budaya, dan adat istiadat Dayak.
Lembaga ini juga berperan penting dalam menyelenggarakan Seminar Internasional Kebudayaan Dayak tahun 1992 di Pontianak, Kalimantan Barat, yang menjadi sebuah momen penting dalam sejarah Dayak.
Seminar ini dihadiri oleh para wakil Dayak dari berbagai penjuru Borneo, serta intelektual, cendekiawan, peneliti, dan penulis, termasuk yang non-Dayak. Kesuksesan seminar ini tidak lepas dari kerja keras dan dedikasi berbagai pihak yang terlibat.
Saya, walaupun tidak secara fisik aktif dalam seminar tersebut, memainkan peran signifikan di belakang layar. Sebagai wakil dari penerbit PT Grasindo di Jakarta, yang merupakan anak perusahaan dari Kelompok Kompas Gramedia, saya terlibat dalam proses penerbitan prosiding seminar.
Semua paper, makalah, dan paparan lisan yang ditranskrip kemudian disunting oleh Paulus Florus dan diberi kata pengantar oleh Michael R. Dove.
Meskipun IDRD membiayai penerbitan prosiding tersebut, saya mengambil langkah berhati-hati untuk meminta izin dan menginformasikan kepada pimpinan Kompas Gramedia.
Setelah melakukan presentasi mengenai isinya, saya diterima oleh August Parengkuan di kantor Kompas, dan diberikan persetujuan untuk menerbitkan buku tersebut dengan cover dominan warna hitam, merah, dan putih, yang merupakan warna khas Dayak.
Publikasi secara luas atas pustaka ini menandai sebuah capaian yang penting dalam dokumentasi kegiatan seminar yang memiliki dampak besar pada pengakuan dan pemahaman budaya Dayak. *)