Proverb & Philosophy

Hermeneutika dan Positivisme Logis

Kurang lebih dua bulan lalu saya dan istri berkesempatan mengunjungi Masri Sareb Putra di Karawaci Tangerang.  Satu jam saja kami berbincang, dan saat kembali ke Serang tangan saya tidak hampa lagi, ada tiga buku karangan beliau yang diberikan cuma-cuma.

Dua hari kemudian, Prof Masri —demikian panggilan kami di komunitas Batu Ruyud Writing Camp yang mempertemukan kami— mengirimkan fail buku Hermeneutika untuk Penelitian Komunikasi. Saya memang seorang pengarang, tapi lebih senang mengedit tulisan-tulisan orang, terutama buku teks, dan kali itu ternyata Prof Masri tidak meminta saya mengedit bukunya, tetapi menjadi penulis kedua! Maka bertualanglah pikiran saya ke sumber-sumber utama bidang hermeneutika dan memikirkan bagaimana komunikasi jadi bagian dari gamitannya.

Sempat saya dengan semangat mengubahnya agar buku tersebut menjadi pengantar, tetapi ternyata saya lebih ngos-ngosan menulis buku untuk para pemula yang saya bayangkan. Karena itu, saya tidak memaksakan diri membawa jiwa editor saya, tetap bertahan dengan pola Prof Masri dan malah menambah “rumit” beberapa bagiannya.

Kerumitan sebuah buku tidak dalam rangka membuatnya jadi sulit, melainkan dalam rangka membuatnya tambah jelas. Karenanya buku ini —dan sudah menjadi risiko buku yang dikarang berdua— memiliki beberapa “alamat pembaca”. Beberapa kami usahakan dapat dipahami para pemula, beberapa memang untuk mereka yang sudah mulai melek filsafat, hermeneutika, dan komunikasi itu sendiri. Beberapa menjadi diskusi reflektif untuk memikirkan kemungkinan kemandegan dalam bidang hermeneutika mengingat begitu banyak akademisi yang mudah mengutip alih-alih menjadikan sumber yang tertulis sebagai bahan dialog.

Pengalaman saya sendiri dalam hermeneutika lebih banyak disebabkan bidang filsafat dan sastra serta linguistik yang saya tekuni, sehingga subjek tersebut berkelindan dan ikut mempertebal buku kami ini.

Berikut saya kutipkan sebagian kecil isi buku tersebut, bagaimana ia dikembangkan di masa kontemporer sebagai reaksi terhadap positivisme logis.

Pemulihan dan signifikansi

Dalam beberapa literatur Barat diterangkan bahwa setelah filsafat, kritik sastra adalah yang ambil bagian banyak dalam perkembangan hermeneutika terutama karena peran kritik dalam menggeser makna asalnya, dari “pemulihkan makna” ke “signifikansi”. Namun beberapa sumber tidak mengatakan hal yang sama. Kita dapat melihat bahwa hermeneutika kembali diperhatikan setelah positivisme dicurigai oleh berbagai kalangan yang membutuhkan alternatif sehingga pemikir seperti Esa Itkonen (1978) mengatakan hermeneutika sebagai cara berpikir non-positivistik.

Dengan kata lain, bukan disebabkan sastra itu membutuhkan penafsiran sehingga menempati posisi kedua setelah filsafat, melainkan karena semangat zaman yang mulai berubah dan mencurigai positivisme.

Di tahun 1930-an ia lebih populer dengan sebutan “positivisme logis” yang kadang dalam banyak hal satu semangat juga dengan “empirisme logis”.

Apabila kami melihat berbagai literatur Indonesia, dalam tradisi ilmu-ilmu di luar filsafat, hermeneutika itu sering kali sudah tampak matang, dewasa, siap kutip dan celakanya selalu siap pakai. Banyak sudah skripsi-tesis-disertasi dan artikel-artikel jurnal yang menggunakannya sebagai ilmu-final. Berbeda halnya dengan/dalam tradisi kefilsafatan: ia masih terlihat seakan masih muda, masih bertumbuh, dan masih perlu digodok sana-sini. Bahkan beberapa meragukan juga keampuhannya sebagaimana Julia Kristeva yang tidak melihat masa depan dari ketajaman bidang ini dalam memahami kesewenang-wenangan relasi petanda dan penada dalam linguistik Saussurean dan semiotika yang mendapatkan pengaruh dari tradisi strukturalisme.

Dalam buku The Kristeva Reader (1986), Kristeva melihat kebuntuan hermeneutika dalam hal menghindari kerangka teori yang sudah ada sebelum objek (tanda) yang jadi teka-tekinya. Apabila kita menafsirkan teka-teki baru dan mendapatkan makna-makna tertentu karena ia sesuai dengan teori yang kita siapkan, kita sebenarnya ada dalam kebuntuan. Dengan kata lain, hermeneutika dalam proses tersebut baru nama belaka, tidak menjadi bagian dari cara kita menjadikannya paling depan dalam penafsiran, dan yang demikian itu amat berkembang subur dalam beragam karya ilmiah Indonesia.

Pandangan Kristeva tersebut menurut kami dilatari oleh kekhawatirannya melihat hermeneutika pun sangat mungkin akan menjadi bagian dari korban positivisme logis yang ingin meng-unified-science-kan dunia, sehingga pengalaman observatif harus sesuai dengan pernyataan teoretik.

Kami kira cara terbaik memahami hermeutika, dengan demikian, mengembalikannya terlebih dahulu pada semangat awalnya: jangan jadikan ia teori-matang, tapi melihatnya sebagai bidang alternatif yang selalu bertumbuh dan bersikap kritis pada metasains yang tidak menguntungkan, termasuk cara pikir otonom seperti linguistik Saussurean.

Hermeneutika sebagai “suara lain”

Secara singkat, hermeneutika dapat dikatakan sebagai sebuah konsep dan metode interpretasi yang digunakan untuk memahami teks, budaya, atau fenomena lainnya. Ia berasal dari bahasa Yunani Kuno “hermēneutikos“, dari kata kerja “hermēneu“, yang artinya adalah “menerjemahkan” atau “menafsirkan.” Kata tersebut terkait erat dengan Hermes, dewa dalam mitologi Yunani yang dikenal sebagai penerjemah dan pembawa pesan antara dewa dan manusia.

Di pertengahan abad ke-20, di saat modernisme-strukturalisme-positivisme mulai memasuki antiklimaks, para ahli bidang penafsiran Barat melihat hermeneutika menjanjikan untuk “suara lain” di luar doktrin sains alam yang me-unified.

Hermeneutika pada dasarnya adalah seni atau ilmu interpretasi yang digunakan untuk mengungkapkan makna di balik teks atau pesan yang tidak selalu jelas dalam bahasa aslinya (Kristeva, ibid. menyebutnya “enigma”). Ia juga sering disebut-sebut sebagai ilmu penafsiran khusus bidang manusia yang membuat manusia dibedakan dari benda-benda lainnya. Jika benda-benda yang “diamati” dapat direduksi ke dalam “pemahaman”, manusia tidak demikian. Hubungan antara manusia dengan pemahaman atasnya masih tertunda dalam kaca mata hermeneutika-manusia.

Dengan menggunakan kerangka pemikiran Itkonen (1978), hermeneutika sebagai ilmu menafsirkan manusia sebagaimana yang kami maksud dapat dirumuskan sebagai

1) seperangkat teori ilmu-ilmu tertentu (bidang manusia) dan

2) sebagai teori tentang hakikat dan anggapan-anggapan ilmu pengetahuan atau pengetahuan ilmiah secara umum.

Berdasarkan rumusan kedua tersebut, hermeneutika tampak berkelindan dengan apa yang disebut “filsafat transendental” sehingga dengan segera kita dapat memahami ketiadaan metode hermeneutika yang seragam sebagaimana yang terdapat dalam gagasan positivisme mengenai penjelasan (eksplanasi) atau pengujian (testing). Hal itu disebabkan pokok bahasan hermeneutika tidak seragam dengan pokok bahasan ilmu alam yang sifatnya terukur.

Hermeneutika memperoleh data melalui pemahaman makna, perkiraan maksud, pertimbangan nilai, corak norma, atau aturan tertentu, dan dalam praktik analisisnya melakkan refleksi atas apa yang telah dipahami. Namun sebagai metode, hermeneutika dapat juga kita kombinasikan dengan metode lain yang lebih berorientasi empiris.

Hermeneutika dalam konteks akademik

Penerapan hermeneutika dalam konteks akademik mencakup berbagai bidang yang beberapa di antaranya sudah menjadi disiplin-disiplin tersendiri, antara lain:

  1. Hermeneutika Sastra:  digunakan untuk memahami makna dalam karya sastra: puisi, cerita pendek, novel, dan teks sastra lainnya; melibatkan analisis karakter, tema, simbolisme, dan struktur naratif.
  2. Hermeneutika Alkitab: sangat penting dalam penafsiran teks-teks agama, terutama dalam agama Kristen; digunakan untuk memahami dan menafsirkan Alkitab dengan lebih kontekstual.
  3. Hermeneutika Budaya: membantu memahami dan menganalisis fenomena budaya, seperti musik, seni, dan tarian, dengan fokus pada makna dan simbolisme di balik karya seni tersebut.
  4. Hermeneutika Filosofis:  digunakan untuk memahami dan menganalisis pemikiran-pemikiran kefilsafatan, terutama teks-teks filsafat klasik;  membantu penggalian makna dan implikasi dari teori-teori filsafat.
  5. Hermeneutika Sosial: digunakan untuk memahami dan menafsirkan interaksi sosial, perilaku manusia, dan fenomena sosial lainnya;  membantu dalam memahami perbedaan budaya dan konteks sosial yang berbeda.

Tradisi postivisme

Secara umum, tradisi positivisme memandang bahwa tampaknya tidak ada perbedaan antara ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan manusia. Jika manusia diselidiki secara ketat dari sudut pandang fisik atau biologis, maka tidak diragukan lagi bahwa deskripsi yang dihasilkan adalah murni ilmu pengetahuan alam. Psikologi eksperimental, sebagai contoh, meskipun mempelajari manusia sebagai manusia, namun hasil-hasil riset bidang ini sebanding dengan ilmu pengetahuan alam.

Salah satu sebab riset-riset manusia mereduksi manusia sama dengan objek lainnya adalah karena ada keserempakan semangat akademik untuk berpikir objektif, seakan-akan hanya dengan tunduk pada aturannya para sarjana dapat memperoleh kebenaran mutlak.

Dalam hal ini kita dapat menduga kritik Wittgenstein terhadap bentuk-bentuk eksperimen mengarahkan kita pada hermeneutik sebagai alternatif yang dapat membebaskan kita dari kecenderungan/semangat objektivisme yang menyamaratakan dunia. Ia menjelaskan bahwa dalam eksperimen selalu ada andaian saling pengertian (1967, II, § 71), yakni bahwa ketika kita melakukan eksperimen, kita harus tahu apa yang kita lakukan. Dengan kata lain pengetahuan yang kita dapatkan dari suatu eksperimen sebenarnya tidak berdasarkan eksperimen tersebut!

Itkonen (ibid) memandang situasi akademik yang menggunakan tradisi eksperimental bukan sekadar tidak lagi memadai, tetapi juga sudah tidak diperlukan, dan akhirnya ia katakan tidak mungkin lagi digunakan jika dengannya hanya menciptakan kemunduran ilmu. Satu-satunya cara untuk menghentikan proses kemunduran, menurutnya adalah dengan kemampuan melakukan refleksi.

Di wilayah akademik, hermeneutika dapat “disembunyikan” —jika Anda tidak terang-terangan menggunakannya— sebagai semangat yang turut membentuk kerja riset objektif untuk mematangkan objektivisme tersebut. Refleksi adalah satu alat hermeneutika yang denganya memungkinkan kita menyadari ada hal-hal yang memang tak dapat semua dieksternalisasi.

Kita tahu refleksi jarang digunakan dalam pengujian-pengujian yang bersifat empiris. Refleksi itu beroperasi pada pengetahuan, sedangkan pengujian empiris beroperasi pada peristiwa dalam ruang dan waktu. Sebagaimana yang dikatakan secara ringkas oleh Habermas (1968), kurangnya refleksi adalah ciri dari positivisme. Refleksi itu sendiri sebenarnya merupakan metode objektif dan mengarah pada hasil objektif, namun objektivitasnya berbeda dengan objektivitas terukur ilmu alam.

Meskipun tidak semua menyebut-nyebut hermeneutika sebagai jalan alternatif yang bisa dibangun, para pemikir filsafat ilmu termasuk yang mencurigai semangat objektivisme. Kami menyarankan Anda membaca buku A.F. Chalmers What is This Thing Called Science? yang tanpa mengangkat hermeneutika dapat memporakporandakan cara berpikir ilmiah dari tubuhnya sendiri, dan hal itu mengiplikasikan para sarjana bidang apa pun harus mampu melirik alternatif seperti hermeneutika.

Begitu banyak yang kami bincangkan dalam buku ini, sehingga isu Ilmu Komunikasi pun ada dalam kompleks dan kaitan-kaitannya dengan berbagai disiplin dan kemungkinan untuk pengembangannya. Kami menyarankan Anda membaca dan menjadi bagian dari pengembang tersebut. []

Rujukan

Chalmers A. F. 2013. What is this thing called science? 4th ed 4th ed. University of Queensland Press.

Habermas, Jürgen. 1968. Erkenntnis und Interesse. Frankfurt/Main: Suhrkamp.

Itkonen, Esa. 1978. Grammatical Theory and Metascience: A Critical Investigationinto the Methodological and Philosophical Foundations of ‘Autonomous’ Linguistics. Amsterdam: John Benjamin Publishing.

Kristeva, Julia. 1986. The Kristeva Reader, ed. Toril Moi. New York: Columbia University Press.

Wittgenstein, Ludwig. 1967. Remarks on the Foundations of Mathematics. 2nd ed. Transl, by G. Elisabeth M. Anscombe. Oxford: B. Blackwell.

Arip Senjaya

Pemenang Literasi Terapan Lokal Perpusnas 2022, alumni Batu Ruyud Writing Camp Kaltara, dosen filsafat Untirta, anggota Komite Buku Nonteks Pusbuk Kemdikbud, sastrawan, editor. Alumni UPI dan UGM.

View Comments

  • Khaila Riyanni_2222230018_2C

    Izin bertanya pak, Bagaimana hermeneutika membedakan manusia dari benda-benda lainnya dalam konteks penafsiran, dan mengapa hubungan antara manusia dan pemahaman atasnya dianggap tertunda dalam perspektif hermeneutika?

  • Siti Muntapiroh_2222230087_2C
    Izin bertanya mengenai esai yg bapak paparkan diatas menjelaskan tentang Hermeneutika dan Positivisme Logis, menurut bapak adakah persamaan dan perbedaan mendasar antara hermeneutika dan positivisme logis dalam memahami makna linguistik? dan apakah hermeneutika dan positivisme logis dapat saling melengkapi dalam memahami realitas?

    Sekian Terimakasih.

    • Adinda Samihah Salma_2222230012
      dilihat dari pengertian dan macam-macamnya saja hermeneutika sangat beragam seperti hermeneutika sosial, budaya dan lainnya, saya izin bertanya bapak, apakah ada tantang tersendiri dalam menjadikan hermeneutika filsafat saat ini?
      Terima kasih.

    • Adinda Samihah Salma_2222230012_2B
      dilihat dari pengertian dan macam-macamnya saja hermeneutika sangat beragam seperti hermeneutika sosial, budaya dan lainnya, saya izin bertanya bapak, apakah ada tantang tersendiri dalam menjadikan hermeneutika filsafat saat ini?
      Terima kasih.

      • Amellia_0064_B: bagaimana pandangan Julia Kristeva terhadap hermeneutika dalam konteks kemungkinan terpengaruh oleh positivisme logis, dan apa yang membuat cara terbaik memahami hermeneutika dengan mengembalikannya terlebih dahulu pada semangat awalnya?

  • Muhamad Suhepi _2222230032_C

    Hermeneutika itu sebuah konsep dan metode interpretasi yang digunakan untuk memahami teks, budaya, atau fenomena lainnya. Ijin bertanya Pak, apakah terdapat kelemahan Hermeneutika dalam menafsirkan atau memahami sebuah tafsiran?

    Terima kasih

    • Yang benar itu bukan "kekurangan", melainkan keterbatasan. Ada! Jika si penafsir, sebagai Hermes, tidak punya cukup pengetahuan di kepalanya untuk menjembapati gap antara "dunia atas" yang belum diketahui dan "dunia bawah" yang sudah diketahui. Sedemikian rupa, sehingga peneliti/ penafsir Hermneutika adalah jembatan yang menghubungkan dua gap tadi agar makna objek dan kepenuhannya, dapat diketahui/ dimengerti.

  • Wahyuana Endah Setianingrum_0125_2B

    Izin menanggapi Pak, pada penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa hermeneutika sebagai metode filsafat yang dapat diandalkan, namun sebagai metodelogi, hermeneutika tidak dapat disejajarkan dengan metode penelitian ilmiah yang sifatnya ketat dan baku. Jadi pertanyaannya, apakah setiap filsafat memiliki metode yang berbeda?

    Terima Kasih

  • Bagaimana cara hermeneutika membantu memahami fenomena budaya, apakah ada cara yang lebih mudah bagi hermeneutika untuk membantu memahami nya? Khusus bagi kaum awam.

    • Sintia Agustin_2222230020_1C
      Bagaimana cara hermeneutika membantu memahami fenomena budaya, apakah ada cara yang lebih mudah bagi hermeneutika untuk membantu memahami nya? Khusus bagi kaum awam.

  • Indah Khairunnisa_2222230023_2C

    Izin bertanya Pak, dari esai yang Bapak tulis, Esa Itkonen (1978) mengatakan hermeneutika sebagai cara berpikir non-positivistik, mengapa dikatakan demikian? Apakah hermeneutika termasuk kedalam cara berpikir non-positivistik? Lalu kenapa pandangan Kristeva dalam hermeneutika dilatari oleh kekhawatiran? Mohon penjelasannya.
    Terima kasih, Pak.

  • Fadhilah Nur Salsabila_0123_2A

    izin bertanya pak, hermeneutika menekankan penting nya konteks historis dan budaya dalam memahami makna. Bagaimana positivisme logis menanggapi kritik ini? dapatkah pendekatan positivistik benar benar bebas dari kontekstual ?
    terimakasi pak

  • Fadhilah Nur Salsabila_0123_2A

    izin bertanya pak, hermeneutika menekankan penting nya konteks historis dan budaya dalam memahami makna. Bagaimana positivisme logis menanggapi kritik ini? dapatkah pendekatan positivistik benar benar bebas dari kontekstual ?

    terimakasi pak

  • Indriyani_2222230085_2C
    Izin bertanya pak, seperti yang bapak jelaskan bahwa hermeneutika itu ilmu memahami teks, budaya, dan pengalaman manusia yang lebih kompleks,nah pertanyaan saya mengapa pokok bahasan hermeneutika itu tidak seragam dengan pokok bahasan ilmu alam yang sifatnya terukur, apakah pokok bahasan hermeneutika ini tidak dapat diukur dengan cara yang sama seperti dalam ilmu alam?

  • Rizkia_0061_B: apa hubungan antara hermeneutika dengan pemahaman atas manusia, dan mengapa hal tersebut menarik perhatian dalam konteks ilmu penafsiran?

Share
Published by
Arip Senjaya

Recent Posts

Modus Operandi Humaniora

Secara konstitusional, kecenderungan humaniora untuk membuka percakapan dunia apa saja seakan-akan dunia tersebut dalam krisis,…

3 days ago

Prof. Jatna Supriatna dan Masri Sareb Putra Bertukar Buku

Suasana di lantai 17 Gedung Perpustakaan Nasional, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta terasa hidup dengan energi…

4 days ago

Biografi Apai Janggut, Pendekar Lingkungan dari Sungai Utik

"Dunia internasional saja mengakuinya. Masa' kita, orang dalam, yang tak lain tak bukan adalah keturunannya…

5 days ago

A scholar’s Child Holding a Doctorate: Infidel!

The most real and overt strategy of Satan is to incite people. Remember, the first…

6 days ago

Monograf Manusia dan Alam Krayan, Kalimantan Utara

Judul buku: Jejak Peradaban Manusia Sungai Krayan Jumlah halaman : 320 Penulis : Dr. Yansen…

6 days ago

Menulis Itu Tidak ada Teorinya

Menulis tidak terikat oleh aturan atau teori yang kaku.. Namun, menulis lebih merupakan proses yang…

7 days ago