Afrizal Sinaro | Meraih 99 Rahmat Allah

Senantiasa berguna bincang-bicang dengan seorang cerdik-cendikia. Orang itu bernama : Afrizal Sinaro. Pegiat literasi. Sekaligus, salah satu tokoh penting penerbit Indonesia, pada ketika ini.

Seperti kata peribahasa. Bincang-bincang, berbual-bual dengan orang bijaksana, memotong kurva belajar. 

Tak syak. Saya banyak menimba “ilmu” serta pengalaman berbuku-ria darinya. Sinaro pun berkisah lancar.

“Buku-buku impor,” papar Sinaro,  “masih mendominasi lebih dari 50% buku keagamaan di negeri ini. “

Ia merasa cukup prihatin atas kondisi ini. Lalu menggagas adanya Islamic Book Fair.

Maka jika kini, buku-buku Islam jadi tuan di negeri sendiri, panjang kisah perjuangannya. Masyarakat sudah bisa menikmati buku yang ditulis penulis dalam negeri.

Afrizal Sinaro, mengemukakan, “Kini buku-buku Islam bernuansa Indonesia mendominasi. Artinya, potensi pasar ada. Tinggal bagaimana penerbit menangkap peluang, menangkap isyarat pasar yang sudah ada itu.”

Ketua panitia penyelenggara Islamic Book Fair 2016 ini menggambarkan bahwa lima belas tahun lalu, ketika pertama kali digelar, lebih 50% buku yang dipamerkan adalah buku-buku impor. Kini sebaliknya.

Momentum “buku konten dalam negeri” itu menjadi titik balik di sela-sela pameran buku Islam yang digelar di Istora Senayan, Jakarta 26 Februari – 6 Maret 2016. Tahun 2016 merupakan yang ke-15 kalinya.

“Semula, empat belas tahun lalu, kami pesimis,” kata ketua penyelenggara, Afrizan Sinaro.

Dan memang pada pertama digelar, dibuka Wapres ketika itu, Hamzah Haas, Islamic Book Fair masih meraba-raba. Bukan saja bentuknya, melainkan juga mata acara, bagaimana dikemas, dan cara-cara mendapatkan pengunjung agar ramai.

Dulu buku-buku Islam itu kebanyakan impor. Lebih dari 50% persennya. Kita merasa prihatin. Masa tidak ada penulis asli Indonesia? Pasti ada. Hanya kita belum menemukannya saja.

“Kami kerahkan segala daya upaya. Termasuk mendatangkan santri-santri, ibu-ibu majlis taklim, siswa dan guru-guru. Alhamdulillah, sukses,” papar Efi, sapaan akrab Ketua Ikapi Cabang DKI Jakarta itu.

Dikemukakan, pada pameran pertama diikuti hanya 75 peserta. Kini menjadi 400 lebih. Diikuti berbagai negara, utamanya Asean, tetapi juga ada dari Mesir. Ini tentu daya tarik tersendiri. Bahkan, menurut Efi, ini merupakan pameran buku terbesar se-Asean, dengan segala pesona dan wajah ketimuran, juga Indonesianya.

“Ditilik dari segi jumlah pengunjung, mata acara yang bervariasi yang dikemas apik lagi menarik, serta jumlah transaksi di tempat, pameran boleh disebut luar biasa dan berhasil. Betapa tidak! Istora Senayan yang sehari-harinya lengang, berjubel manusia selama pameran berlangsung,” jelasnya.

Dikemukakan, pada pameran pertama diikuti hanya 75 peserta. Kini menjadi 400 lebih. Diikuti berbagai negara, utamanya Asean, tetapi juga ada dari Mesir. Ini tentu daya tarik tersendiri. Bahkan, menurut Efi, ini merupakan pameran buku terbesar se-Asean, dengan segala pesona dan wajah ketimuran, juga Indonesianya.

“Bayangkan dulu buku-buku Islam itu kebanyakan impor. Lebih dari 50% persennya. Kita merasa prihatin. Masa tidak ada penulis asli Indonesia? Pasti ada. Hanya kita belum menemukannya saja,” ungkapnya. Dan kini, stan-stan peserta pameran memang dipenuhi produk dalam negeri. Indonesia boleh berbangga bahwa buku-buku keagamaan, dalam hal ini ke-Islaman, menjadi tuan di negeri sendiri. Ini tidak mudah!

Dilihat sepintas, buku-buku yang dipamerkan dari waktu ke waktu mulai bervariasi. Jika dahulu kala temanya seputar Kitab Suci terjemahan, tafsir, kumpulan kutbah, dan tuntunan salat. Tapi kini semakin bervariasi. Penerbit mulai menemukan ceruk pasar dan kemasan baru.

Kisah-kisah sukses, biografi tokoh, doa dan dzikir mulai dikembangkan. Dan ini menjadi tambang emas para penerbit. Di tiap-tiap stan yang menyediakan produk ini, pengunjung membludak. Bukan hanya melihat-lihat, mereka juga membaca di tempat, lalu membeli.

Persoalannya adalah: bagaimana menemukan dan menjawab selera pasar? Seperti ditegaskan Efi, sapaannya, “Menjual pada hakikatnya memenuhi kebutuhan konsumen.”

Apa kebutuhan konsumen buku Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim?

“Mereka tak lekang dari persoalan-persoalan zamannya. Zaman kini, masyarakat serba gamang. Tidak di mana pun berada. Nonton TV, melihat tayangan berbagai kezoliman dan kemungkaran. Membaca berbagai bahan bacaan juga menemukan hal demikian. Ngobrol dengan teman dan tetangga, juga sama topiknya. Seakan-akan dunia ini kacau. Akhirnya, mereka mencari pegangan dan kedamaian. Dan buku-buku doa dan dzikir memenuhinya,” ungkap Efi.  

Toh Efi tidak asal omong. Ia membuktikannya sendiri. Di Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Jaya,  ia adalah ketua yang tiada kenal lelah mendorong agar ceruk pasar besar pustaka Islami, digarap serius. Pameran buku Islam salah satunya. Namun, sebenarnya ia sendiri punya penerbit. Namanya Al Mawardi Prima (AMP).

Lewat bendera AMP, Efi mengibarkan panji-panji Islam. Antara lain lewat buku populer, sekaligus fenomenal seperti Mendaki Jalan Kemuliaan, Menikmati Hidup Mengingat Maut, dan Meraih 99 Rahmat Allah.

Sinaro contoh hidup. Bahwa : bukan keadaan yang mengubah kita. Sebaliknya: kitalah yang mengubah keadaan!

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 736

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply