Belajar dari Sang Pencatat

Tidak ada kebetulan di dunia ini. Setiap momen yang kita lewati, bukan tak mungkin merupakan matarantai dari momen sebelum atau sesudahnya. Satu sama lain saling berkelindan sambung menyambung menjadi satu. Tak heran ada kalanya bila saat bertemu seseorang, tak jarang kita merasa pernah mengenalnya, tetapi sulit mengingat momennya.

Saya dipertemukan dengan sosok yang satu ini setelah saya mulai gemar menulis artikel opini. Salah satu artikel saya berhasil dimuat di sebuah tabloid keluaran kelompok Gramedia Majalah pada1990-an. Pertemuan kami bukan secara fisik, tak lebih sebatas hubungan penulis-pemimpin redaksi tabloid tersebut.

Maman Suherman namanya, atau kerap disapa Kang Maman. Pada 2003 ia memutuskan berhenti sebagai orang kantoran dan memilih mengikuti passion-nya sebagai penulis. Meski demikian, publik mungkin lebih mengenalnya sebagai “artis” karena wajahnya kerap muncul di layar kaca, baik sebagai narasumber maupun menjadi notulis pada sejumlah progam televisi. Yang cukup mengherankan bagi saya, meski acara berlangsung live, notulensi yang digurat Kang Maman sungguh sangat apik dan kadang puitis. Mulai dari pilihan diksinya, alur, serta penekanan poin-poin yang sangat rapi seolah sebuah tulisan yang sudah disiapkan sebelumnya.

Bersama Kang Maman, 2022

Pertemuan fisik saya dengan Kang Maman terwujud nyata saat ia sering bertandang ke kantor penerbitan tempat saya bekerja, di era 2000-an. Niatnya hendak menyerahkan naskah untuk diterbitkan. Nyatanya, kami sering larut berbincang. Memorinya sangat tajam, clear, termasuk ingat pada artikel saya di tabloid yang dipimpinnya dulu–seolah hal itu baru berlangsung beberapa waktu lalu. Bahkan, dari bincang santai ini, tak jarang muncul ide baru untuk materi buku selanjutnya.

Kang Maman tipikal lawan bicara yang asyik. Ngobrol dengannya tak akan pernah lelah sebab bisa berganti-ganti topik, mulai dari cerita dirinya, berita selebritas, politik, sosial, hingga mendiskusikan isi sejumlah literatur dan referensi yang pernah ia baca. Itulah “kekayaan intelektual” seorang Maman Suherman. Justru terkadang, lawan bicaranyalah yang kehabisan energi dan bahan pembicaraan.

Semua yang disampaikan Kang Maman dijamin berbasis data dan fakta, no hoax, no gossip! Pun, cara menyampaikannya terkesan kronologis, runtut, tertata, detail, dan hati-hati–tercermin dari pilihan diksinya. Agaknya, latar belakang sebagai sarjana kriminologi dan jurnalis turut menuntun cara penyampaian seperti itu.

Lesson learned, dari Kang Maman saya belajar bahwa salah satu jalan sukses seorang penulis adalah rajin membaca, mengamati, mencatat, serta mengarsip data dan kata.

Sambil bertukar cakap, terkadang ia tampak sibuk memainkan perangkat seluler atau tablet yang selalu dibawanya–bukan mengabaikan lawan bicara, tetapi mencatat apa saja yang dianggap penting dari obrolan itu. Pernah, sebuah naskah buku lahir hanya dalam kurun dua minggu dari saat kami mengobrolkannya. Bagaimana bisa demikian? Karena rupanya ia tinggal membuka folder-folder yang ada di tabletnya, lalu call back dan menukili catatan-catatan yang sudah disimpannya di sana.

Lesson learned, dari Kang Maman saya belajar bahwa salah satu jalan sukses seorang penulis adalah suka membaca, mengamati, mencatat, serta mengarsip data dan kata. Tanpa itu semua, barangkali seorang penulis akan lebih cepat mengalami writer’s block saat menulis, lalu menyerah kalah.

Photo by Karolina Grabowska on Pexels.com

Share your love
Avatar photo
Ariobimo Nusantara
Articles: 6

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply