MEDIAMORFOSIS
Mengapa orang bicara soal cetak (analog) versus digital?
Saya tidak demikian!
Bukankah media, sesuai teori mediamorfosis, adalah “alat”, tools untuk menyampaikan konten (isi) pesan?
Media koevolusi dan koeksistensi dengan manusia dan kemajuan teknologi. Tidak saling meniadakan. Namun, saling melengkapi.
Nah, di dalam proses koevolusi dan koeksistensi antara media-manusia-kemajuan teknologi, ada medium yang tergerus. Kian sedikit digunakan oleh berbagai sebab –misalnya kepraktisan menggunakannya. Tapi tidak hilang sama sekali.
Mau contoh ekstrem untuk ini?
Zaman kuda menggigit besi. Saya ambil misal di narasi yang saya yakini. Ketika Nabi Musa naik gunung Sinai, yang dibawannya adalah batu loh. Yang di dalamnya ada tulisan. Ketika, pada masa itu, orang menulis menggunakan media batu.
Kini, di era digital. Masihkah orang menulis di atas batu?
Masih! Batu nisan misalnya. Atau prasasti. Jadi, mentang-mentang hidup zaman digital, dikira sudah tidak ada orang menulis di atas batu?
Dengan demikian. Konten bisa disalurkan lewat media apa pun. The medium is message –demikian McLuhan.
Tidak ada buku yang tidak laku. Yang ada adalah: Buku yang belum bertemu pembelinya
Ketika sebagian orang sibuk bicara soal migrasi media, saya tetap berkanjang pada KONTEN. Sembari menyadari, tujuan saya sebagai penulis profesional adalah UUD – INDUSTRINYA.
Dengan demikian, bagi saya, KHALAYAK menjadi modal sosial, sebelum menjadi modal finansial.
Menjamur berbagai media, membuat saya suka. (Pada Narasi tersendiri, dibahas beda media massa dan media sosial).
Artinya, kian banyak chanel, saluran, makin banyak peluang yang bisa saya gunakan untuk menyampaikan ISI kepada Khalayak.
Pada akhirnya, menurut hemat saya. Menjual bukan pertama-tama menawarkan barang (produk) kepada orang. Melainkan memenuhi desire dan need mereka.
Karena itu, saya beradagium: Tidak ada buku yang tidak laku. Yang ada adalah: Buku yang belum bertemu pembelinya.