Tahun kelahirannya 1962, ketika Indonesia menjelang pergantian rezim yang panas. Meski demikian, anak pedalaman ini menyesaikan sekolah dasar di kampung halaman. Dilanjutkan SMA di Tarakan, kemudian menuntaskan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi di Tarakan, lulus 1997.
Dia aktif membina kesenian dan Budaya di Lingkungan Dayak di Dataran Tinggi Borneo Indonesia dan Malaysia. Dia sering membawa Misi Budaya Dayak ke Luar Negeri. Dia juga merupakan salah satu tokoh Pejuang Padi Organik di Kecamatan Krayan, Kaltara. Aktif mengembang seni suara dan musik Lundayeh.
Bupati Malinau, yang juga Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persekutuan Dayak Lundayeh (PDL) menilai, “Menurut saya, orang yang seperti ini yang layak disebut tokoh. Bukan karena terutama pangkat dan jabatannya. Tetapi karya dan pengabdianyalah yang kita hargai, karena buah karyanya yang abadi sepanjang generasi dan masa.”
Eliyas boleh dikata bertalenta multi. Ia mahir membuat dan memainkan alat-alat musik tradisional yang semua bahannya dari bambu. Ada alat musik tiup, flute, alias suling. Ada alat musik pukul. Ada pula alat musik petik. Ia mainkan dengan penuh perasaan, lagi memesona, hingga yang mendengarnya merinding bulu roma.
Selain itu, ia pun mahir menari tarian adat tradisional. Bahkan, keterampilan tato pun dia bisa. Beberapa anak muda Lundayeh, tidak laki laki tidak perempuan, di badannya terhias tato hasil karyanya. Selain artistik, juga sarat dengan makna.
Hampir di setiap gelar adat dan budaya Lundayeh, Eliyas bisa ditemui. Ia berkanjang di stand, atau di panggung, dari matahari terbit, hingga acara usai. Betah lagi senang dia di sana, tidak peduli panas dan dingin cuaca. Pada Acara Aco Lundayeh, Juli 2018, Eliyas ada dan berkontribusi nyata. Pada Irau Malinau, 15-27 Oktober 2018, ia bukan sekadar hadir, melainkan total sepanjang acara. Selalu siap menerima dan mendampingi tamu yang berkunjung ke stand Lundayeh, di mana dipamerkan aneka miniatur artefak seni budaya Lundayeh.
Eliyas bukan hanya aset Lundayeh, melainkan juga suku bangsa Dayak semuanya. Ia satu dari segelintir manusia Dayak yang hidup dari industri kreatif. Ke mana-mana mengenakan atribut dan busana Dayak.
Dengan saksama, dan menguasai masalah, Eliyas menjelaskan alat hidup manusia Lundayeh zaman baheula, dapurnya, tungku apinya, penyimpan airnya, damarnya, hingga alat-alat berburu, menangkap ikan, hingga peralatan cocok tanam nenek moyang Dayak masa silam.
Akan halnya alat musik tradisional, bukan hanya dijelaskannya, Eliyas juga memainkannya. Ia dan suku bangsa Lundayeh bisa begini, menurut Eliyas, berkat berbagai binaan dan kesempatan yang kondusif, yang dibangun PDL dan para pemimpinnya.
Ada inspirasi menarik darinya. Ia mencipta alat musik bernama “Keng”. Bunyi “keng” berasal dari bunyi buah jatuh. Alat musiknya sederhana, tetapi menarik, dipukul. Kaitannya dengan lingkungan. Iramanya dinamis, sedemikian rupa, membuat orang bergerak dan menari. Selain itu, ada juga alat musik telimut yang terbuat pula dari bambu.
Tidak syak, Eliyas bukan hanya aset Lundayeh, melainkan juga suku bangsa Dayak semuanya. Ia satu dari segelintir manusia Dayak yang hidup dari industri kreatif. Ke mana-mana mengenakan atribut dan busana Dayak.
Menurutnya, seni budaya akan punah, jika tidak dicintai, dihargai, dan dilestarikan.
“Ke mana-mana mengenakan atribut Dayak, itu password saya, hingga keluar negeri,” kata pria yang pede cakap Inggris, meski autodidak.
Dari buku 101 Tokoh Dayak jilid 3 (Penerbit Lembaga Literasi Dayak, 2019: 57-50).
Kunjungi: https://bibliopedia.id/product/cashew-butter/?v=b718adec73e0