Manakala seorang kelana, di padang gurun. Setelah lelah berjalan seharian. Menemukan oase. Dan benar itu sumber air. Maka bukan fatamorgana.
Biasanya, oase sekitarnya tumbuh pohon. Di sana bukan hanya manusia yang menghentikan langkahnya untuk menimba dari sumber mata air. Melainkan ternak pun turut dipuaskan dahaganya. Terutama unta, sebagai kendaraan berjalan di padang gurun.
Saya, entah Anda. Ketika khalayak, terutama orang yang memesan buku, atau seseorang yang menjadi objek tulisan: puas dengan hasilnya. Saat itulah saya merasa puas.
Usai mimum. Maka puas lah kita dari dahaga. Yakni rasa haus yang tidak terperikan. Tidak ada obatnya. Air liur sudah habis. Satu-satunya obat adalah minum air. Manusia tahan tidak makan seharian. Namun, tidak tahan tidak minum.
Maka puas menjadi frasa yang bisa mewakilkan kerinduan yang tidak tertahankan. Suatu hasrat hati menggelora luar biasa. Lebih dari desire.
Lalu apa yang menjadi kehausan penulis-pengarang?
Saya, entah Anda. Ketika khalayak, terutama orang yang memesan buku, atau seseorang yang menjadi objek tulisan: puas dengan hasilnya.
Seperti Tjhai Chui Mie, walikota Singkawang. Yang merasa puas dengan biogafinya, yang saya tulis.
Sebagai penulis. Saya otomatis puas. Bukan semata-mata karena sang pemesan memberi imbal-jasa penghargaan sebentuk materi atas proses kreatif menulis dengan segala waktu-kerja, pemikiran, dan tenaga yang dicurahkan. Melainkan karena si pemesan merasa: aku banget yang ditulis itu!
Pada ujungnya, auto-biografi dan biografi hanya sudut pandang. Juga tentang siapa yang menulis?
Jika ditulis sendiri maka: auto-biografi (autos = sendiri; bios = hidup; grafein = tulisan). Jika ditulis orang lain: biografi.
Sebab kandungan gizi menunya: sami mawon!