Awal 1993.
Sebagai editor PT Grasindo, sisters Company Kompas-Gramedia, waktu itu yang terbilang bontot. Kami harus kulo nuwun jika menerbitkan naskah yang dianggap berpotensi menimbulkan syak wasangka dan polemik.
Saya menghadap salah satu petinggi KKG waktu itu, Augus Parengkuan. Mas Agus, yang kemudian Dubes Itali, membolehkan. Buku ini adalah prosiding seminar Kebudayaan Dayak di Pontianak, yang dihelat akhir November 1992.
Bukan karena naskahnya disponsori, atau akan dibeli sebagian besar. Namun, karena saya pribadi punya interest. Feeling, waktu itu, ini pustaka akan jadi acuan di mana-mana. Karuan saja!
Dalam literatur asing berbahasa Inggris, muncul banyak variasi untuk menyebut penduduk asli Borneo: Dyak, Dajak, Daya’.
Akan tetapi, literatur berbahasa Belanda menulis: Daya, atau Dayaker, atau bahkan kerap binnenlander.
Sedangkan lidah orang Dayak menyebut dirinya: Daya’
Adapun Kesepakatan menulis “DAYAK” secara konvensional diterima pada Seminar Internasional yang diinisiasi IDRD di Pontianak, pada bulan Seminar Internasional yang diinisiasi IDRD di Pontianak, pada 1992. Seminar diikuti 350 peserta, dari Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam menyepakati penulisan, nomen clatura penduduk-asli Boerneo dengan: Dayak.
Secara garis besar, terdapat 7 (tujuh) rumpun besar
(stammenras) Dayak dengan 405 sub-suku.
Dengan demikian, “Dayak” adalah nama koloni untuk menyebut penduduk asli The Great Borneo.
Keasliannya terdapat pada ciri-ciri autokton-nya, seperti: artefak yang telah diuji karbon di Gua Niah, di mana nenek moyang suku bangsa Dayak sudah ada sejak 40.000 tahun silam, diversitas bahasa, serta ciri-ciri “sensus divinitas” agama asli yang hari ini masih diwariskan Kaharingan, lewat Panaturan, ritus, dan upacaranya.