Kwik Kian Gie baru-baru ini menyentak dunia politik ekonomi. Gegara videonya yang secara berani menyampaikan opini. Sekaligus gugatan. Bahwa hendaknya, atau idealnya, orang-orang yang masuk ke “Senayan” dan Istana tokoh yang berintegritas. Bukan pecundang. Apalagi pengusaha yang kawin-mawin dengan penguasa.
Di eranya, sebagai ekonom top nasional yang tulisannya dimuat Kompas dan bukunya diterbitkan PT Gramedia, Kwik luar biasa tajam analisisnya.
Saya sempat mengulas sejilid bukunya di Kompas (dimuat Kompas 18 November 1994). Kandungan gizi materinya, tak pernah basi. Masih relevan untuk hari ini. Artinya, masalah berbangsa dan bernegara kita, sampai hari ini ya: itu itu saja!
Kwik Kian Gie, Analisis Ekonomi Politik Indonesia (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994) 520 halaman.
Sungguh menarik mengamati perkembangan terakhir perekonomian Indonesia. Selain tumbuh fantastis melampaui rata-rata pertumbuhan dunia, ekonomi kita boleh disebut mudah panas (overheated). Penyebabnya adalah, dominasi segelintir konglomerat.
Sebuah harian ekonomi terkemuka pernah menyodorkan data menarik dominasi konglomerat. Omzet penjualan, belum termasuk asset yang dimiliki, 10 konglomerat sama dengan 30 persen produk domestik bruto (PDB) nasional. Ruang lingkup bisnisnya pun amat strategis, karena dapat dikatergorikan “menguasai hajat hidup orang banyak”.
Laporan-laporan di berbagai media massa, tak cukup untuk menyibak gurita di balik praktek usaha konglomerat. Tak juga kita temukan secara rinci ulasan kegiatan ekonomi masyarakat di dalamnya.
Hal ini dapat dimengerti, karena media massa “dari sono”-nya tidak dirancang untuk membuat laporan yang sistematis dan metodologis tentang ekonomi politik Indonesia. Biasanya, laporan media massa lebih bersifat insidentil, bergantung pada dinamika yang ada.
Namun, bila laporan-laporan dan analisis dari pakar yang secara sporadis dari berbagai waktu dan topik dipilah-pilah, dikategorikan, dan ditulis kembali sesuai prinsip-prinsip ilmu – sekurang-kurangnya sitematis, metodologis, koheren, dan dapat dipertangunggjawabkan – maka sesungguhnya ia sudah masuk dalam tataran ilmu.
***
AGAKNYA, seperti proses kelahiran buku ini, yang merupakan antologi analisis Kwik Kian Gie dari tahun 1970 yang tersebar di berbagai media massa, tetapi terbanyak dimuat di Kompas.
Meski topik yang dibahas sebenarnya biasa-biasa saja, karena merupakan persoalan ekonomi masyarakat sehari-hari, analisis Kwik selalu tampil dengan greget dan nuansa yang tipikal.
Bagi banyak orang, analisi Kwik dinilai tajam. Benarkah? Ia menjawab dengan sederhana,
“Sifat tulisan saya tidak ilmiah murni, karena tidak sekedar mengemukan masalah dan alternatif-alternatif solusinya secara netral. Saya selalu mengambil sikap dan membela sikap saya dengan argumentasi. Dengan sendirinya mengundang perbedaan pendapat, sehingga tidak sedikit yang menjadikannya tulisan yang kontroversial” (hal x).
Bila dicermati, dalam tulisannya, Kwik berusaha menggunakan nalar dan argumentasi. Ia mencoba menangkap sebanyak dan seakurat mungkin aspirasi masyarakat dan menyuarakannya. Inilah ciri khas tulisan lulusan Nedherlandse Economische Hogeschool Rotterdam ini.
Semula, Kwik adalah pengusaha, namun dunia ini tidak memberinya kepuasan. Ia segera putar haluan, dan terjun ke dunia pendidikan dan politik yang dirasa lebih menantang.
Latar ini amat menonjol dalam tulisan-tulisannya. Jika dalam tulisannya ia banyak menyuarakan aspirasi masyarakat, bukan berarti Kwik anti-konglomerat. Hal ini lebih didorong oleh keterpanggilannya untuk menciptakan demokratisasi ekonomi di negeri ini.
***
BUKU ini terdiri atas sebelas bagian. Selain bagian VI, yang memuat simulasi UU Persaingan Ekonomi dan lampiran Simulasi Undang-undang Persaingan Ekonomi (SUU/PE) dan tempatnya di dalam Upaya Mewujudkan Demokrasi Ekonomi, hampir seluruh isi buku ini merupakan tulisan Kwik. Ini yang terasa baru dari buku ini.
Dalam kata pengantar bagian VI, jujur disebutkan, SUU/PE merupakan hasil kajian Balitbang PDI. Disebut simulasi dan bukan rancangan Undang-Undang, karena “Kami menghindarkan diri dari gengsi-gengsian, dan balas membalas dendam. Maksud kami adalah serius memberikan sumbangan pikiran mengenai kekosongan hukum yang mengakibatkan ketidakadilan dan kesenjangan yang demikian besar,” (hal. 270).
Selain diajukan sebagai pelaksana hak inisiatif fraksi PDI ke pemerintah, sengaja SUU/PE disebarkan ke seluruh media massa untuk memenuhi salah satu fungsi Balitbang, yakni memobilisasi dialog-dialog nasional yang konstruktif, selain memberikan masukan kepada DPP dan Fraksi PDI di DPR.
Tema lain yang diangkat adalah perspektif politik ekonomi, pasang surut ekonomi Indonesia, masalah moneter, masalah fiskal, sektor riil, masalah konglomerat, demokrasi ekonomi, koperasi, persoalan manajemen, analisis politik dan hak asasi, nasionalisme. Dengan demikian, judul buku ini tidaklah berlebihan.
Bagi mereka yang pernah membaca buku Kwik, Saya Bermimpi Jadi Konglomerat (Gramedia, 1993), akan “dipaksa” membaca lagi hal yang sama pada bagian VI buku ini. Pilihan artikel maupun materinya persis sama. Ini memang pengulangan yang tentu saja bukan tidak disengaja. Baik editor maupun penulis sepandangan, gurita konglomerat di Indonesia perlu dipahami khalayak luas. Masalah ini terasa tajam dan panjang lebar dikupas.
Yang juga banyak mendapat sorotan, pentingnya mengembangkan koperasi. Salah satu penyebab ketimpangan kekuatan ekonomi di Indonesia karena koperasi belum sama kuat dengan konglomerat dan BUMN. Andai saja suatu saat koperasi kuat, bisa jadi akan tercipta demokratisasi ekonomi. Maka dengan sendirinya, undang-undang antimonopoli jadi tak relevan.
Mengingat topik yang diangkat menyangkut kehidupan nyata sehari-hari, maka sudah selayaknya buku ini dibaca pengamat ekonomi, kalangan bisnis, birokrat, mahasiswa dan dosen serta masyarakat luas. *)