“Makan” Buku

Buku mengikat ilmu. Ia, buku itu, daur hidupnya sepanjang zaman. Beda dengan tulisan singkat, apalagi tersebar di medsos atau media digital yang pendek pendek. Yang kandungan isi tulisanya terpecah pecah. Tidak utuh.Tidak detail. Hari ini publish, esoknya sudah basi.

Tidak begitu buku. Ia disimpan. Berisi pemikiran brilian penulisnya. Sebagaimana ditegaskan oleh William Ellery Channing:

in a best book
great men talk to us
give their most precious thoughts
and pour their souls
into … us

Pertanggungjawaban kandungan isi buku, lebih pasti. Nilai ekonomisnya pun, jauh melampaui.

Mula-mula passion. Kemudian, profesi. Atau bisa sebaliknya.

Namun, jangan mendikotomi keduanya. Bagai keping mata uang. Antara aanleg, passion dan profesi bisa menyatu bagai keping mata uang. Asalkan seorang berkanjang. Bibliofilia (cinta buku), sekaligus cinta ilmu.

Makan (dari) buku. Bisakah di negeri Pancasila seseorang hidup semata-mata dari menulis & menerbitkan buku?

Maka buku jadi santapan bukan hanya rohani, melainkan juga: jasmani. Makan buku!

Makan (dari) buku. Dalam konteks buku menjadi puntung-puntung kayu yang dijadikan bahan-bakar untuk menghidupi api, guna mengepulkan “asap dapur”.

Sejak 2013, saya total terjun menjadikan buku sebagai “bahan bakar utama” dapur keluarga.

Hingga kini (Oktober 2022), “baru” terbit 136 buku. Baik cetak maupun digital dijual secara merdeka di jagad maya: Google.

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 730

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply