MELIHAT DAYAK BAKUMPAI ABAD KE-19

Sebetulnya tulisan pendek ini hanya bersumber dari satu catatan, yaitu tulisan Carl Anton Ludwig Maria Schwaner (pelancong Jerman yang namanya disematkan sebagai nama bukit di Jantung Borneo), namun ada tambahan sedikit dari Hans Scharer. Dalam buku Volume I (1853), Schwaner membahas kampung Bakumpai dari halaman 72 sampai 95. Namun jika ingin mendapatkan gambaran tentang Orang Bakumpai secara utuh, harus membaca Papers Tentang Tanah Dusun – Siang (1852), Borneo volume I (1853) dan Borneo volume II (1854). Abad ke-19 adalah periode yang dimulai dari tahun 1801 sampai dengan 1900 Masehi.

Pada abad ke-19, ada perubahan situasi politik di sebagian kawasan Borneo, akibat Perjanjian Pangeran Nata dan Belanda. Sebagian kawasan Kalimantan kala itu menjadi Tanah Pemerintah Belanda, dan Pontianak sudah berdiri. Brooke sudah menguasai kawasan Serawak sebagai raja putih. Bakumpai masuk ke Tanah Pemerintah Belanda, penjaga perbatasan yang berhadapan langsung dengan Tanah Sultan Banjar.

Jika berkaca ke Perjanjian Sultan Banjar dengan Belanda (1787, 1801, 1826) maka yang disebut Orang Banjar adalah orang-orang yang menempati Tanah Sultan Banjar. Bakumpai menempati kawasan yang kala itu disebut Batang Dusun (sungai Barito).

Bakumpai sampai pertengahan abad ke-19 sebetulnya sebutan untuk kampung Marabahan. Schwaner menuliskan bahwa nama Bakumpai yang disematkan para penduduk asli, diyakini berasal dari nama rumput gelagah tumbuh di kampung mereka. Kampung Marabahan sendiri, pada tahun 1843-1847 diperkirakan baru berusia 50 tahun. Sebelumnya mereka hidup di kampung-kampung kecil yang tersebar di sungai Barito dan sungai Nagara (Schwaner, 1854; 77).

Schwaner menuliskan bahwa kampung orang Bakumpai dipenuhi rumput yang dinamai ‘kumpai’. Kumpai adalah kata benda, orang Ngaju memberikan awalan ‘Ba’ untuk sebuah kata benda, yang membuat kata benda berubah makna menjadi kata kerja. Kumpai ketika diberi awalan ‘Ba’ menjadi ‘Bakumpai’ yang bermakna memiliki kumpai. Dalam bahasa Ngaju, istilah ‘Bakumpai’ menyatakan bahwa kampung itu memiliki banyak kumpai atau dipenuhi rumput kumpai.

Marabahan yang merupakan kampung asal orang Bakumpai adalah kota utama di kawasan Barito (Schwaner, 1854; 73). Pada masa itu (1843-1847), kampung Bakumpai benar-benar mencirikan sebagai masyarakat dagang. Rata-rata rumah orang Bakumpai di batang sungai. Di bangun atas rakit. Pemukiman paling penting ada di terletak di bagian kanan sungai, seberang sungai muara sungai Bahan. Rumah-rumah penduduk berjejer memanjang sepanjang sungai Barito.

Total penduduk kampung Marabahan (Bakumpai) pada tahun 1845 adalah 5.265 jiwa. Dari jumlah itu, sebagian orang kampung Marabahan hidup di kawasan orang Dayak lainnya untuk menjalankan misi dagang (Schwaner, 1853; 73).

Schwaner menarasikan bahwa adat-istiadat Bakumpai dipengaruhi Banjar dan Islam. Selain itu, budaya Bakumpai juga dipengaruhi orang-orang Arab, Bangali (India), Bugis dan Cina. Walaupun sudah mengalami percampuran yang sangat masif, kala itu (abad ke-19), jejak adat-istiadat Dayak (Ngaju dan Kaharingan) masih terlihat jelas dalam diri orang Bakumpai. Mitos-mitos yang hidup dalam diri leluhur mereka sebagai Orang Ngaju masih hidup di kalangan orang Bakumpai. Karena itulah Hans Scharer menuliskan bahwa Bakumpai adalah orang Dayak Ngaju yang beragama Islam (Scharer, 1963; 3).

Orang Bakumpai pada pertengahan abad ke-19 hampir semuanya berdagang, oleh karenanya mereka menjadi kelompok yang makmur dan menempatkan diri sebagai kasta tertinggi dalam pengelompokkan sosial di kalangan orang Dayak.

Oleh karenanya, tidaklah mengherankan bahwa yang dimaksud dengan orang Bakumpai sampai pertengahan abad ke-19 adalah; (1) berasal dari Marabahan (2) umumnya berbahasa Dayak Ngaju (3) beragama Islam (4) berdagang dan hidup di rumah lanting.

Memang, di kampung Marabahan sendiri ada banyak rumah panggung bertiang tinggi, seperti halnya kampung-kampung Dayak lainnya, namun itu tidak dimiliki oleh semua orang Bakumpai. Orang Bakumpai yang hidup di kampung masyarakat Dayak lain karena berdagang dipastikan hidup di rumah lanting. Oleh karena itu, hidup di rumah lanting bisa dikatakan sebagai ciri Orang Bakumpai. Karena orang-orang Dayak lain, misalnya Orang Maanyan, Orang Lawangan, Orang Dusun, Orang Taboyan, Orang Anga, Orang Njamet, Orang Bunoi, Orang Siang, Orang Murung (penghuni Batang Dusun) pada umumnya tinggal di rumah panggung di darat dan tidak memiliki tradisi hidup di rumah lanting.

 

Damianus Siyok

Share your love
Avatar photo
Damianus Siyok
Articles: 22

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply