Memaknai Eksistensi Tuak dalam Suku Dayak

Beberapa fraksi di DPR pernah berencana mengesahkan RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol. Dalam pasal 3 dari RUU tersebut tertera: a) melindungi masyarakat dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh Minuman Beralkohol; b) menumbuhkan kesadaran masyarakat mengenai bahaya Minuman Beralkohol; dan c) menciptakan ketertiban dan ketentraman di masyarakat dari gangguan yang ditimbulkan oleh peminum minuman beralkohol.

Kita tentu menghargai maksud baik dari beberapa wakil rakyat yang mendorong disahkannya RUU tersebut. Akan tetapi, sejak beberapa minuman beralkohol tradisional memiliki peran dan kedudukan sentral dalam beberapa masyarakat lokal, rencana pengesahan atas RUU tersebut sepertinya harus dipertimbangkan dengan bijaksana.

Dalam kesempatan ini, sebagai seorang putra asli suku Dayak, sebagai seorang anak peladang dan kemudian menjadi seorang pastor yang berkarya di tengah-tengah orang Dayak, saya ingin sedikit berbagi buah permenungan tentang eksistensi tuak, minuman tradisional kami orang Dayak.

Buah permenungan ini lahir dari pengalaman hidup sebagai manusia Dayak dan bersama suku Dayak. Beragam pengalaman yang kemudian menghantar saya sampai pada sebuah keyakinan: di dalam tuak itu ada hidup.

Apa tidak salah mengatakan kalau tuak itu mendatangkan hidup? Tidakkah sebaliknya yang ada hanya kemudaratan sehingga mendorong beberapa fraksi di DPR agar RUU tentang Larangan Minuman Beralkolhol segera disahkan?

 

Dalam tuak ada hidup

Hidup yang saya maksudkan di sini berkaitan dengan fungsi dan peran penting tuak dalam upacara atau ritual adat suku Dayak. Secara khusus pada momen-momen penting dalam kehidupan manusia,  serta dalam kegiatan yang berkaitan dengan perladangan.

Saya ambil contoh upacara pemberian nama anak secara adat dalam masyarakat Dayak Desa, yang ulasannya sudah saya sajikan di tempat lain.  Saya berani mengatakan kalau sampai hari ini masih bisa hidup dan bernapas, itu karena “diselamatkan” oleh tuak. Kapan tuak turut serta menyelamatkan hidup saya? Ketika saya diberi nama secara adat oleh orang tua saya.

Bagi kami orang Dayak Desa, upacara adat pemberian nama ini sangatlah penting bagi tumbuh kembang si anak. Melalui upacara ini orang tua dan semua yang mengasihinya berharap agar sang anak bisa bertumbuh dengan sehat, menjadi anak yang baik, disenangi banyak orang, memiliki umur yang panjang serta berbakti kepada orang tua dan Tuhan.

Agar semua harapan itu bisa terpenuhi, maka segala bahan yang diperlukan untuk upacara adat harus disiapkan sebaik mungkin. Sebuah piring tua, beras, sirih, buah pinang dan tuak merupakan bahan-bahan yang harus disediakan.

Bergeser ke pengalaman kehidupan agraris masyarakat Dayak Desa. Di sini kita  akan melihat betapa tuak turut berperan dalam mendatangkan kehidupan bagi para petani. Penggunaanya dalam beberapa ritual adat diyakini akan bisa mendatangkan hasil panen yang baik bagi para petani.

Saya ambil contoh ketika warga hendak mulai menanam padi (nugal). Sebelum nugal dimulai warga akan berkumpul di suatu tempat. Ritual dipimpin oleh kepala keluarga yang empunya ladang atau yang mewakili. Pemimpin ritual pertama-tama memukulkan bambu ke tanah sebagai tanda memanggil Puyang Gana, Sang Penguasa Tanah sambil mengucapkan kata-kata berikut:

O Puyang Gana
Lihatlah, kami mau mulai menanam.
Kami mohon padi kami subur,
masa depan kami senang,
hidup kami nyaman

Benih-benih yang akan ditanam lalu diperciki dengan darah ayam. Pemercikan dengan darah ayam adalah tanda bahwa benih-benih itu sudah diberkati dan siap untuk ditabur.

Ritual kemudian dilanjutkan dengan membuat pegelak (sesajen). Pembuatan sesajen ini merupakan salah satu syarat yang tak boleh diabaikan. Lewat sesajen, warga menghaturkan persembahan Petara  Raja Juwata sekaligus juga memohonkan berkat atas ladang yang sebentar lagi akan ditanami.

Dari sekian banyak bahan sesajen yang dipersembahkan, tuak adalah salah satu yang tak boleh dilupakan.

Contoh lain yang mau memperlihatkan betapa besarnya peran tuak bagi orang Dayak ialah saat pesta syukur atas hasil panen (Gawai Dayak). Dalam tradisi syukuran ini, tuak kembali dimasukkan sebagai bahan utama sesajen yang dipersembahkan kepada Petara Raja Juwata.

Dalam tradisi kami Dayak Desa, ketika hari Gawai tiba setiap keluarga akan membuat pegelak (sesajen). Biasanya ada dua buah sesajen yang disiapkan. Keduanya nanti akan disimpan di dalam lumbung padi. Setelah beberapa saat, sesajen yang satu akan diambil dan kemudian dimakan bersama oleh seluruh anggota keluarga. Sementara yang lain tetap disimpan dalam lumbung untuk memberi makan (ngumpan) Petara sebagai bentuk syukur kepada-Nya atas hasil panen yang telah didapat.

 

Tuak sebagai ekspresi iman umat

Tuak tidak hanya berfungsi sebagai ekspresi budaya, tapi juga berfungsi sebagai ekspresi iman umat. Pengalaman sebagai seorang pastor yang berkarya di tengah-tengah suku Dayak menghantar saya pada keyakinan ini. Dalam perayaan misa hari-hari raya, seperti Misa Hari Raya Natal, Paskah, Misa Syukur Gawai, Misa Pemberkatan Pernikahan, umat biasanya selalu mempersiapkan satu dua botol tuak sebagai bahan persembahan.

Persembahan tuak itu biasanya sekaligus menjadi oleh-oleh buat pastor yang memimpin misa saat nanti kembali ke pastoran. Tidak heran kemudian kalau di dalam kulkas atau di atas meja pastoran dijumpai botol-botol tuak dengan rasa yang beraneka ragam.

Bagi beberapa orang mungkin terlihat ganjil kok tuak malah dijadikan bahan persembahan dalam sebuah perayaan yang begitu agung dan kudus?  Tuak yang terbuat dari beras ketan (pulut) adalah hasil bumi yang manusia terima dari kemurahan hati Allah. Setelah menerima kemurahan dari-Nya, sudah pantas dan selayaknya bagi manusia untuk mempersembahkan segala anugerah itu sebagai ungkapan puji dan syukur kepada-Nya.

Begitulah pengalaman saya hidup, bergerak dan ada di tengah-tengah masyarakat yang masih menjadikan tuak sebagai ungkapan iman dan budaya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana komunitas lokal menghormati Tuhan dan para leluhur apabila minuman beralkohol tradisional (tuak, moke, dll) tidak boleh lagi diproduksi.

Tuak menjadi salah satu sarana bagi kami menjalin relasi dan komunikasi yang baik dengan para leluhur. Hal tersebut harus kami lakukan, karena peran serta para leluhur sangat penting agar kami tidak salah dalam melangkah.

 

Share your love
Avatar photo
Gregorius Nyaming
Articles: 33

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply