Membeli Buku Karya Sendiri

Penulis adalah seorang pengarsip yang baik. Terutama untuk karya-karya yang telah ditulis, diterbitkan, dan disebarluaskan.

Namun, ternyata ada segelintir penulis tidak memiliki semua publikasi yang pernah dirilisnya. Terutama publikasi lama. Ketika era analog (cetak) di mana menggandakan hasil karya tulis merupakan suatu keistimewaan.
 
Sebagai penulis artikel di media massa, saya menyimpan arsip relatif lengkap. Dari 4.000 artikel yang telah dihasilkan, saya menyimpannya dalam 7 clear holder. Mulai dari artikel perdana saya masuk Kompas, 14 Maret 1984. Hingga yang terkini sebagai kolumnis di Suara Pembaruan, 2015.
 
Sebagai penulis buku dari 136 buku, saya tidak punya arsip untuk 2 buku ini. Sebabnya? Biografi perjalanan politik Sri Bintang Pamungkas , arsip pribadi saya ini, pernah dipinjam orang. Tapi tidak pernah dikembalikan. Judul buku yang diterbitkan PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo), Jakarta 1998 ini Sri-Bintang Pamungkas: Perintis Oposisi dan Reformasi. Saya tulis bersama dua sahabat  A. Ariobimo Nusantara dan Y.B. Sudarmanto.
 
Dalam hati saya berkata, “Hebat betul orang ini. Dia benar. Sebab kata pameo: bodohlah orang yang meminjam bukunya pada orang lain. Tapi lebih bodoh lagi orang yang meminjam buku tapi mengembalikannya.”
 
Ada 101 cara penulis hidup dari karyanya. Asalkan kreatif. Misalnya, membeli buku karya sendiri ke penerbit dengan diskon khusus untuk dijual sendiri. Keuntungannya 4 kali lipat dibandingkan mendapat royalti yang “hanya” 10 peratus dari netto hasil penjualan buku/6 bulan.
 
Lalu buku manual ini yang diterbitkan PT Grasindo. Saya membeli 100 eks buku sendiri langsung dari penerbitnya. Dengan harga/ diskon spesial tentunya. Buku itu saya jual lagi dengan harga pasar.

Harga diskonnya untuk saya. Namun, karena laris, akhirnya saya gak punya arsipnya satu pun. Inilah cara kreatif saya untuk “makan” buku dari hasil keringat sendiri. Sebab manakala hanya menunggu royalti dari penerbit 10%, kapan bisa asap dapur terus mengepul? Jika membeli banyak, lalu dijual lagi, kita bisa mendapat 35% keuntungan tambahan. Bandingkan jika hanya dari royalti yang “hanya” 10%.

Ada 101 cara penulis hidup dari karyanya. Asalkan kreatif. Misalnya, membeli buku karya sendiri ke penerbit dengan diskon khusus untuk dijual sendiri. Keuntungannya 4 kali lipat dibandingkan mendapat royalti yang “hanya” 10 peratus dari netto hasil penjualan buku/6 bulan.

 
Buku ini masuk label “best seller”. Artinya, di Indonesia, terjual 3.000 eksemplar per tahun. Karena tidak punya arsipnya, mau tak mau, saya harus membeli kembali buku saya itu via Tokopedia, Bukalapak, atau Shopee Indonesia.
 
Bagi saya, gak usah terlalu rumit jadi penulis. Misalnya: buku gak laku-laku, bingung. Buku laris, sehingga gak punya arsip, juga bingung.
 
Jika gak punya arsip, ya: pesan/ beli buku sendiri. Gitu aja kok repot!
Baca 101 Tokoh Dayak 4 | Menjual Buku sebelum Terbit https://bibliopedia.id/literasi-dayak/?v=b718adec73e0
Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 737

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply