Kami orang Dayak Desa menyebutnya palit. Di kalangan suku Dayak lain ada yang menyebutnya ngomomalek/posek/pusam/pelopas.
Sebuah budaya di mana kita wajib mencicipi makanan/minuman yang ditawarkan oleh orang lain kepada kita. Atau jika tidak dengan mencicipi, cukup dengan menyentuh wadah makanan/minuman tersebut. Nasi putih, nasi pulut (ketan), kopi dan tuak termasuk jenis makanan/minuman yang “disakralkan” oleh kita orang Dayak. Wajib hukumnya untuk sekadar mencicipi atau menyentuh wadahnya saja ketika mereka ditawarkan kepada kita.
Apakah ada hal buruk yang bisa terjadi jika orang tidak mencicipi atau menyentuh makanan atau minuman tersebut? Dalam alam kepercayaan kita orang Dayak, seseorang bisa mengalami nasib sial, kemalangan kalau sampai tidak mencicipi atau menyentuh makanan dan minuman yang ditawarkan orang lain kepadanya. Nasib sial itu bisa dalam bentuk kecelakaan di jalan raya, terluka saat bekerja, dipagut ular, dan sebagainya.
Kondisi di mana seseorang mengalami nasib sial tersebut oleh orang Dayak Desa dinamakan dengan kempunan. Kempunan memang bisa terjadi. Tapi dalam alam kepercayaan kita orang Dayak, ia bisa juga ditangkal. Cara menangkalnya ialah dengan palit ngomomalek/posek/pusam/pelopas. Jika seseorang sudah palit, maka diyakini dia akan terhindar dari kemalangan.
Mengapa kemudian saya masih mengindahkan budaya ini? Bukankah sebagai seorang pastor saya seharusnya memberi teladan kepada umat tentang apa artinya pengakuan iman “Aku percaya akan Allah, Bapa yang mahakuasa”? Yang lewat pengakuan iman ini saya mau menyerahkan dan menggantungkan seluruh hidup saya hanya kepada Allah Bapa, sumber dan pemilik kehidupan?
Saya masih mengindahkannya karena di balik budaya ini, dalam hemat saya sejatinya terkandung dua makna penting.
Pertama-tama, berkaitan dengan religiositas suku Dayak. Apa kaitan bahan-bahan makanan tersebut dengan religiositas suku Dayak? Religiositas itu mencakup keseluruhan pribadi manusia. Ia lebih melihat aspek di dalam lubuk hati manusia (Tom Jacobs, 2022, hlm.14).
Religiositas manusia nampak dalam penghayatan hidup sehari-hari dalam mereka mengalami dan menghayati kehadiran Tuhan. Beragam ritual dan upacara adat yang mereka lakukan merupakan cara untuk mengalami Yang Ilahi dalam hidup sehari-hari.
Bagaimana cara mengalami dan menghayati kehadiran Yang Ilahi tersebut? Melalui simbol-simbol. Manusia secara esensial adalah makhluk simbolis (homo symbolicus). Sebagai homo symbolicus, manusia mengekspresikan dirinya dalam tindakan-tindakan simbolis (Gerald O’Collins, 2011, hlm 40). Melalui bahasa-bahasa simbolis, manusia menemukan medium untuk mengalami Yang Transenden. Simbol memiliki salah satu karakteristik, yakni membuka tataran realitas yang tertutup bagi manusia (Paul Tillich, 1958, hlm 41-42).
Nasi putih, pulut, kopi dan tuak, bagi orang Dayak, merupakan medium untuk mengalami Yang Transenden tersebut. Tidak heran kemudian keempat bahan makanan ini biasanya selalu dijadikan sebagai bahan sesajen (pegelak) dalam beberapa ritual dan upacara adat. Penggunaan bahan-bahan tersebut sebagai pegelak menjadi simbol keterbukaan dan keterarahan mereka pada Yang Ilahi (Petara Raja Juwata).
Sekaligus juga sebagai bentuk penghormatan, sembah dan puji kepada Sang Petara yang telah menganugerahkan alam sebagai tempat untuk berladang. Dan di saat yang sama memohon berkat dan perlindungan dari Petara agar selau memberikan hasil panen yang baik dan berlimpah.
Kedua, berkaitan dengan hospitalitas. Ketika ada orang menyuruh kita palit sejatinya itu adalah ungkapan atau bentuk penghormatan, kemurahan hati dari seseorang atau tuan rumah kepada kita. Juga sebagai bentuk undangan untuk turut mensyukuri rejeki yang sudah diterima lewat makan atau minum bersama.
Tuak misalnya. Minuman tradisional ini hampir selalu di jumpai dalam suku-suku Dayak yang hidup di tanah Kalimantan. Selain digunakan dalam beberapa pesta adat, tuak selalu disajikan ketika ada tamu-tamu kehormatan datang berkunjung. Suka atau tidak, para tamu yang datang harus meminumnya biarpun hanya sedikit. Karena itu adalah bentuk penghormatan masyarakat setempat terhadap tamu yang sudah bersedia mengunjungi mereka.
Bahwa palit sebagai undangan untuk turut serta dalam rasa syukur sangat jelas ketika musim Gawai (pesta syukur atas hasil panen) tiba. Bagi para peladang, pesta syukur ini adalah puncak dari seluruh proses peladangan. Karena itu, pesta syukur ini akan mereka rayakan semeriah mungkin. Sanak keluarga yang berada di kampung lain diberitahu jauh-jauh hari agar bisa turut serta dalam rasa syukur tersebut.
Ketika hari H tiba, siapa pun tamu yang masuk ke dalam rumah akan dipersilakan oleh tuan rumah untuk mencicipi hidangan yang sudah tersedia. Kemurahan hati tuan rumah ini tidak boleh ditolak oleh para tamu. Harap diingat, nasi merupakan berkat dari Sang Pemberi Kehidupan dan sumber kehidupan bagi manusia sendiri. Diperlukan kerja keras untuk mendapatkannya. Jika berkat dan sumber kehidupan tersebut ditolak, secara tidak langsung, merupakan penyangkalan terhadap kehidupan itu sendiri.
Betapa sentral peran nasi dan betapa fatalnya dampak yang ditimbulkan bila orang lupa menyantapnya, nenek moyang kami mewariskan petuah bahwa ketika hendak pergi bekerja di ladang, yang harus pertama kali disimpan di dalam renyung/takin (tas tradisional terbuat dari rotan) ialah bekal nasi.
Fenomena palit dan kempunan memang masih tetap menyisakan persoalan. Dari sudut pandang mereka yang sudah beragama, barangkali akan mengajukan pertanyaan mengapa masih harus ada rasa takut mengalami malapetaka ketika tidak mencicipi atau menyentuh makanan dan minuman yang ditawarkan orang lain? Bukankah Allah itu Mahakuasa dan Mahakasih? Dengan kuat kuasa-Nya Dia akan selalu menjaga dan melindungi umat yang berserah diri dan berharap kepada-Nya?
Mungkin juga ada dari antara kita yang tidak meyakini adanya hubungan sebab-akibat antara palit dan kempunan. Dengan kata lain, musibah atau kemalangan yang menimpa seseorang terjadi karena ada faktor lain yang menyebabkannya, misalnya karena kelalaian orang tersebut. Atau berpandangan bahwa tindakan palit hanyalah sebatas untuk menghormati orang yang telah menawarkan kita makanan/minuman.
Dari pengalaman saya sebagai putra asli suku Dayak Desa dan juga pengalaman hidup di tengah-tengah suku Dayak lainnya, budaya palit rasanya lebih dari hanya sekadar menjaga perasaan orang yang menawarkan makanan/minuman kepada kita.
Saya pribadi selalu melihatnya dari sudut pandang mereka yang menawarkan makanan/minuman. Tindakan yang mereka lakukan bukan hanya sekadar untuk basa-basi. Apa yang mereka lakukan adalah ungkapan cinta sekaligus ungkapan doa yang tulus. Mereka mendoakan agar perjalanan hidup kita senantiasa lancar. Dijauhkan dari segala marabahaya.
Foto Ilustrasi: Sesajen sebagai ekspresi manusia yang secara esensial ialah homo symbolicus. Sumber foto: Antaranews.com