Kuasa apa yang lebih dahsyat dibanding kuasa-kuasa lainnya?
Politik? Ekonomi? Agama?
Bukan! Tidak semuanya itu!
Dalam buku The Dragon Network (Wiley, 2013) Dr. AB Susanto dan Patricia memaparkan. Mengapa orang Cina, di mana pun berada, tetap Cina? Amat jelas identitasnya. Berbahasa Cina. Beradat dan berbudaya Cina? Lalu membangun jaringan, yang disebut “The Dragon Network”?
Jelas, itu adalah “kuasa budaya”!
Maka ketika simbol-simbol budaya suatu suku bangsa dimusnahkan. Atau dimatikan secara perlahan-lahan. Maka tunggu saja saatnya. Pasti suku bangsa itu juga akan punah.
Di kalangan suku bangsa Dayak, rumah-rumah betang dilarang, dan diruntuhkan pada awal tahun 1970-an. Banyak alasan untuk usaha meniadakan rumah panjang itu. Misalnya, isu rumah panjang rawan bahaya kebakaran, rawan penyakit menular.
Bahkan, diembuskan isu bahwa di alam rumah panjang rawan terjadi pelanggaran norma dan moral. Padahal, pada tulisan I, kita telah melihat. Bahwa terjadi kontrol sosial di dalam adat budaya rumah panjang.
Hal itu terbukti dari interior rumah panjang, separuhnya. Los (terbuka) dari ujung ke ujung. Itu adalah ruang public. Atau public sphere.
***
Dengan demikian, sebenarnya orang Dayak telah jauh hari mempraktikkan public sphere sebelum diperkenalkan filsuf Habermas.
Nicolas Garnham dalam “The Media and Public Sphere” (Routledge, 2004: 359) menyatakan bahwa teori public sphere (PS) dikembangkan dari konsep Jürgen Habermas, salah satu tokoh Sekolah Frankfurt.
Ia antara lain mencatat, “..as articulated in particular Habermas argued that, just as the participatory democracy of the Athenian agora depended upon the material base of slavery, …. “
Sementara itu, dalam buku Studies in Ethnometdhology (Blackwell Publishing Ltd., Oxford, 2003), Harold Garfinkel membahas PS, dengan mengacu pada konsep Habermas juga dan mencatat “by the public sphere” we mean first of all a realm of our social life in which something approaching public opinion can be formed.”
Jadi, PS dilihat sebagai bagian dari praktik demokrasi, di mana tiap-tiap warga bebas menyatakan pendapatnya –melalui media apa pun, termasuk media cetak dan elektronika.
Dahulu, kebebasan menyatakan pendapat ini pada zaman Yunani kuno dilakukan di alun-alun. Alun-alun adalah ruang publik waktu itu, terutama di kota Athena. Sesuai dengan perkembangan zaman, ruang publik di Yunani dan di Eropa pada umumnya merambah dan meluas di kafe-kafe.
Tradisi menyatakan pendapat sebagai bentuk demokrasi ini terutama subur di Eropa dan Amerika. Di ruang-ruang publik, terutama kedai-kedai kopi dan kafe, ramai orang berdiksusi. Bebas. Mereka dapat menyatakan pendapat mengenai apa pun juga yang menyangkut kehidupan bersama (publik). Orang bebas menyatakan pendapat tanpa rasa takut dan tanpa dibatasi pihak mana pun, termasuk penguasa, pihak keamanan, dan atasan.
Di kalangan orang Dayak, los ini dapat dikatakan sebagai ungkapan demokrasi, akan tetapi juga menjadi sebuah life style.
***
Kini masih ada beberapa rumah panjang yang ditinggali di Varuna-dvipa. Misalnya, Saham di Kab. Landak, Kalbar. Rumah panjai Ensaid (Sintang), dan Rumah Panjai orang Iban di Sungai Utik, Kapuas Hulu.
Orang Dayak sadar betul. Zaman boleh berubah. Namun, esensi suatu adat budaya dan tradisi, tetap.
Setelah era rumah panjang. Orang Dayak membangun modelnya ti tiap-tiap kecamatan, kabupaten, dan provinsi.