Kebiasaan saya, di kebun. Yang dilintasi jalan provinsi Jangkang-Merakai, perbatasan Sarawak, Malaysia.
Di situ terpampang spanduk “rumah penulis”.
Banyak orang suka mampir. Utamanya wanita, sebab ada taman asoka sekeliling kolam. Pria juga banyak. Polisi sering. Tanya-tanya ihwal ekowisata, kebun, dan literasi.
Saya selalu sedia kopi.
Siapa saja mampir di rumah penulis, senantiasa saya sajikan minum: kopi, teh, susu. Silakan pilih.
Ada kapal api saya bawa dari Jakarta. Ada kapten, dari sahabat Yansen TP di Malinau. Ada Aming, saya beli di Ponti. Ada kopi Jojohn, terenak produksi Pontianak –citarasa mirip kopi KA.
Saya juga tanam kopi robusta, klon 46, sudah berbuah. Ada kopi kolonial. Berbuah pula. Ada liberica.
Nah, usai nyeruput kopi. “Abang ada tanam kopi Torabika, kah? tanya orang dari Tojo’, wilayah ujung, udik.
“Kalo tanam, gak ada!” ketus saya.
“Tapi, bisa dibeli di warung kopi itu!”
“Abang tanam jugalah kopi Torabika!” pintanya.
Saya: ?????????????????????????????????????????????? sembari merasa “bodoh”, selama ini saya gatot (gagal total) dan tidak pernah nanam kopi Torabika.