Saya nonton film “Sam Kok”, ( 3 kota) –kisahan negeri Tirai Bambu. Itu adalah karya fiksi. Yang diekraninasi dari sejilid buku.
Namun kemudian, dianggap fakta-sejarah, bukan pertama-tama karena 4 wajib-syarat sejarah ada di sana (tokoh, setting waktu dan tempat serta peristiwa) digambarkan detail dan hidup. Melainkan karena nilai moral dan pengarjaran yang sarat-muat di dalamnya. Semacam pelajaran PMP dan bahan pendidikan “bela negara” di Negeri Cina, sehingga wajib dibaca, dan dimamah biak.
Syahdan, adalahi tiga (sam) kok (kerajaan). Alkisah, tersebutlah sebuah kerajaan yang peradabannya tinggi sekali waktu itu di Cina. Ada ratusan tokoh yang berusaha menyelamatkan negara yang sangat mereka cintai dari kehancuran.
Usaha mulai dari menumpas pemberontakan untuk memperbaiki situasi dan kondisi negara. Namun, karena perbedaan motivasi, pandangan, dan kepentingan masing-masing tokoh akhirnya berujung pada perpecahan menjadi 3 negara atau kerajaan.
Sudahlah tentu, sebagai sebuah cerita, ada pesan di baliknya. Dikisahkan seorang ksatria yang cinta negara, loyal kepada bangsa, dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.
Sam Kok adalah-kisahan negeri Tirai Bambu. Murni karya fiksi. Yang diekraninasi dari sejilid buku.Namun kemudian, dianggap fakta-sejarah, bukan pertama fiksinya, tapi lantaran sarat pesan moral di dalamnya. Sehingga dianggap bernilai.
Namanya Liu Bei dan pengikutnya, yang sengaja ditampilkan sebagai tokoh protagonis, tokoh baik. Untuk memperbaiki negara dan masa depan bangsa, dibutuhkan kehadiran seorang “jagoan” yang bisa menjadi tokoh anutan bagi generasi muda. Seorang role model yang inspiratif, seorang yang bisa memberi motivasi serta tindak tanduknya bisa dicontoh.
Di pihak lain, ada tokoh antagonis, tokoh lawan, yang dikisahkan sebaliknya. Cao Cao seorang tokoh dari kubu lainnya, dikisahkan sebagai sosok licik, ambisius, dan perilakunya kurang bermoral.
Di Cina, orang yang memimpin, dianggap mendapat mandat dari langit, mandate fromheaven. Senantiasa ada yin dan yang, dalam sebuah lingkaran bernama Taijitu. Putih hanya kontras karena ada hitam, dan sebaliknya. Kedua anasir ini tarik-menarik sejak zaman semula jadi.
Di alam budaya Jawa, seorang pemimpin dianggap mendapat wahyu cakraningrat. Yakni wahyu yang menjadi syarat untuk mendapat kekuasaan serta takhta suatu kerjaaan.
Di dunia pewayangan, mengisahkan usaha Raden Lesmana Mandrakumara, Raden Samba, dan Raden Abimanyu dalam yang menjemput turunnya Wahyu Cakraningrat. Perlombaan ini dimenangkan oleh Raden Abimanyu. Maka dialah kelak yang bisa menurunkan raja-raja, di Tanah Jawa.
Di kalangan manusia Dayak, terutama Iban, syarat pemimpin adalah seorang yang dapat dipegang tutur katanya, yang pandai mengatur negara (pengator pekara), serta unggul dalam segalanya dibanding yang lain.
Kisahan yang demikian itu, saya ikat dengan kata-kata lewat novel-sejarah: Ngayau: Cheu Fung Teu (2014) dan Keling Kumang (2016).
Sejak terbit. Dedua novel itu telah “melahirkan” banyak sarjana, baik S-1 maupun S-2 yang menjadikannya objek penelitian dari berbagai perspektif. Ada yang menelitinya dari sisi rekonstruksi sosial masyarakat zamannya. Ada yang dari sisi nilai adat budaya dan tradisi. Ada yang menelisiknya dari sudut bidik kepatuhan akan pemimpin —super leader-– yaitu tuai rumah.
Novel-sejarah tersebut memang unik: bercatatan kaki, meski fiksi.
Akan tetapi, seperti halnya Sam Kok, bisa jadi Ngayau dan Keling Kumang menjadi atau dianggap sebagai fakta sejarah.
Tanda-tanda ke arah itu, sudah mulai tampak.