Buku ini salah satu syarat akademik. Yang mengantar Suriansyah Murhaini, sorang cendikiawan Dayak Bakumpai, meraih jenjang jabatan akademik puncak, (Profesor). Kum, atau angka, buku ber-ISBN: 40.
Bagi manusia Dayak. Alam semesta ini adalah makrokosmos. Sementara manusia adalah mikrokosmos, yang menjadi bagian yang diciptakan oleh Jubata, Penompa, Ranying Hatalla.
Terkait kebudayaan, salah satunya sistem mata pencaharian, berladang bagi orang Dayak adalah satu kesatuan dengan kosmos. Terdapat sepuluh tahapan dalam berladang:
1) Memeriksa lahan,
2) Menetapkan areal atau luas lahan,
3) Membersihkan/ mensucikan alat-alat atau perkakas untuk berladang,
4) Menebas,
5) Menebang,
6) Membakar ladang,
7) Menanam/ menugal,
8) Merumput,
9) Mengetam (panen),
10) Melakukan upacara Syukur (Begawai). Ini yang tidak dipahami orang luar. Orang Dayak membakar ladang, bukan membakar hutan. Dan valuasi (nilai) ladang bukan hanya padi, tapi kebudayaan dan kesenian.
Sistem peladangan (bukan per-ladangan)Dayak inilah yang kerap menjadi mispersepsi. Lebih tepatnya “ketidaktahuan” orang luar, non-Dayak. Sedemikian rupa, sehingga komentar dan tindakan orang luar “menganggu” dan mengusik salah satu adat budaya serta nilai tradisi Dayak yang telah dipraktikkan beribu tahun, bahkan sebelum negara ini ada.
Bukan sebenarnya semata-mata karena ketidaktahuan orang luar tentang sistem peladangan manusia Dayak. Tapi mereka sengaja membangun dan menggiring opini terkait sistem peladangan Dayak merusak alam, lingkungan, dan tidak produktif. Konstruksi yang dibangun untuk menggagalkan orang Dayak dan meminggirkan mereka memiliki lahan luas di tanah warisan nenek moyang sendiri, Kalimantan. Itulah pemikiran, sekaligus gerakan post truth. Yakni gerakan anti-kebenaran, atau merusak tatanan. Gerakan seperti ini harus dijawab dengan argumen ilmiah, meta-teori lagi. Dan dunia (hanya) dunia akademik yang bisa melakukannya. Lewat penelitian, kajian, dan publikasi ilmiahnya.
Buku ini salah satu syarat akademik. Yang mengantar Suriansyah Murhaini, sorang cendikiawan Dayak Bakumpai, meraih jenjang jabatan akademik puncak, Profesor. Kum, atau angka, buku ber-ISBN: 40.
Terpanggil untuk menjelaskan “duduk perkara” terkait ladang orang Dayak, dua cendikia Dayak meneliti, menulis, menerbitkan serta menyebarluaskan karya ilmiah ini. Agar semakin banyak orang memahami sistem peladangan orang Dayak.
Ladang bagi masyarakat Dayak merupakan salah satu aspek sentral dalam kehidupan mereka, yang melampaui sekadar produksi padi. Jenkins dan Sacerdoti (1978) memperkirakan bahwa hasil panen padi dalam sistem peladangan masyarakat Dayak bisa mencapai sekitar 900 kg per hektar. Angka ini tidak hanya mencerminkan produktivitas tinggi, tetapi juga mengungkapkan kearifan dan ketekunan dalam mengelola tanah dan sumber daya alam.
Namun, terdapat serangkaian miskonsepsi yang masih beredar di kalangan orang luar, yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang sistem peladangan yang digunakan oleh masyarakat Dayak. Salah satu miskonsepsi yang umum adalah anggapan bahwa peladangan Dayak adalah bentuk pertanian primitif yang tidak efisien.
Faktanya dalah bahwa peladangan masyarakat Dayak adalah sebuah sistem yang telah berlangsung selama berabad-abad dan telah terbukti berkelanjutan. Mereka mempraktikkan rotasi tanaman, penggunaan pupuk organik, dan pemeliharaan hutan sebagai bagian integral dari sistem mereka.
Oleh karena itu, masyarakat Dayak merasa penting untuk berperan aktif dalam mengatasi miskonsepsi ini dengan berkontribusi dalam dunia ilmiah. Salah satu cara yang dapat diakukan adalah melalui penulisan dan publikasi karya ilmiah yang mencerminkan pengetahuan dan pengalaman mereka. Bukan sebenarnya semata-mata karena ketidaktahuan orang luar tentang sistem peladangan manusia Dayak. Tapi mereka sengaja membangun dan menggiring opini tterkait dengan sistem peladangan Dayak merusak alam, lingkungan, dan tidak produktif. Konstruksi yang dibangun untuk menggagalkan orang Dayak dan meminggirkan mereka memiliki lahan luas di tanah warisan nenek moyang sendiri, Kalimantan.
Itulah pemikiran, sekaligus gerakan post truth. Yakni gerakan anti-kebenaran, atau merusak tatanan. Gerakan seperti ini harus dijawab dengan argumen ilmiah, meta-teori lagi. Dan dunia (hanya) dunia akademik yang bisa melakukannya. Lewat penelitian, kajian, dan publikasi ilmiahnya.
Dengan berbagi wawasan mereka, mereka berharap dapat membantu menghapus mispersepsi dan mempromosikan pemahaman yang lebih baik tentang budaya dan praktik mereka.
Salah satu contoh nyata dari upaya ini adalah karya ilmiah berupa buku ber-ISBN. Diteliti. Lalu ditulis Profesor Dayak bernama Surianyah Muhaini. Beliau dikenal sebagai seorang pakar hukum lingkungan yang memiliki pemahaman mendalam tentang hubungan antara masyarakat Dayak, lingkungan, dan hukum. Buku ini adalah hasil kolaborasi yang erat dengan Masri Sareb Putra, seorang peneliti dan etnolog yang juga memiliki keahlian dalam ilmu sosial dan filsafat antropologi. Kolaborasi ini membawa sudut pandang yang beragam dan mendalam tentang masyarakat Dayak.
Buku ini bukan hanya sekadar kumpulan tulisan, tetapi sebuah karya ilmiah yang membawa dampak. Selain memberikan pemahaman yang lebih baik tentang masyarakat Dayak dan sistem peladangan mereka, buku ini juga menyibak wawasan baru. Melalui penelitian dan pemikiran mereka yang cermat, penulis berhasil membuka pintu ke dunia ‘dalam Dayak’. Ini adalah perspektif yang seringkali kurang terdengar dan kurang dimengerti oleh orang luar.
Dalam buku ini, pembaca akan diajak untuk menyelami budaya, lingkungan, dan hukum yang mengelilingi masyarakat Dayak. Mereka akan memahami nilai-nilai yang mendasari praktik peladangan mereka, pentingnya keberlanjutan, dan hubungan yang kompleks dengan lingkungan alam. Dengan kata lain, buku ini tidak hanya menjadi sumber pengetahuan, tetapi juga jendela ke dalam dunia kaya masyarakat Dayak.
Dengan demikian, ladang bagi masyarakat Dayak bukan hanya tempat pertanian biasa, tetapi juga mencerminkan kearifan lokal, ketahanan lingkungan, dan warisan budaya yang patut dipelajari dan dipahami oleh orang luar. Melalui usaha-usaha seperti penulisan buku ilmiah ini, masyarakat Dayak berharap dapat membangun pemahaman yang lebih dalam tentang budaya mereka dan menghargai kontribusi unik yang mereka tawarkan dalam menjaga ekosistem dan keanekaragaman hayati.”
Buku ini salah satu syarat akademik. Yang telah mengantar Suriansyah Murhaini, sorang cendikiawan Dayak Bakumpai, meraih jenjang jabatan akademik puncak, (Profesor).
Suriansyah kini Dekan Fakultas Hukum, Universitas Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Sementara Masri Sareb Putra sejak 2020 memangku amanah sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (Puslitdianmas) Institut Teknologi Keling Kumang, Sekadau, Kalimantan Barat. *)