“Best Seller” itu cap. Stempel. Tanda.
Bahwa buku yang diterbitkan dan dipasarkan (sebelumnya), telah laku. Ludes. Kukut. Habis terjual 3.000 ekemplar dalam setahun.
20 tahun saya bekerja di penerbitan. Dari kopi editor, hingga managing editor. Tak pernah kami akal-akalan. Menulis di cover buku “best seller”, sebelum buku terbit.
Itu namanya membohongi publik!
Beberapa kali saya ikut Pameran Buku Internasional. Pameran Buku Anak Internasional di Bologna, Italia. Pameran buku umum di Frankfurt, Jerman.
Saya berjumpa dengan para Publishers, penerbit besar. Saya bertanya, “Apa definisi di negara mereka, ‘best seller’ itu?”
Rata-rata bilang: laku terjual minimal 1 juta kopi/ eksemplar per tahun.
“Best Seller”. Jangan sembarang menempel label sampul buku demikian. Cetakan I tidak pernah. Lucu saja, buku belum dijual, ada stempel yaseperti itu. Lalu apa makna “best seller” di negara Pancasila? Sama sebangunkan dengan di Amrik dan Eropa?
Di Indonesia?
Jelas berbeda. Baju Amerika dan Eropa, jangan diterapkan di negeri +62. Kami, di Penerbit dulu, buku “best seller” manakala terjual 3.000 eks/ tahun.
So, saya senyum (kecut). Melihat kenyataan saat ini. Buku baru terbit, sudah dilabeli “best seller”.
Lha, kapan jualnya?
Buku saya, dalam ilustrasi ini, baru ada stempel “BEST SELLER” pada cetakan ke-2.