Pagi ini. Sembari menyeruput kopi. Samping teras rumah. Depan kolam ikan.
Saya memamah biak dan sekaligus menulis satu chapter buku di mana saya diminta jadi co-author oleh seorang doktor yang mengajar mata kuliah Eentrepreneurship atau Kewirausahaan.
Read and emulate great writing -> demikianlah saya senantiasa melakukan. Sekaligus, mengajarkan. Bahwa apabila kita ingin menghasilkan mahakarya maka kita pun harus belajar dan memamah biak dari mahakarya itu secara langsung dari sumber primernya.
Seorang wirausahawan sejati bukan semata-mata orang yang menyediakan lapangan pekerjaan dan menyiapkan gaji rutin kepada karyawan.
Saya langsung membaca buku-buku dari Drucker, dari Chairul Tanjung. Selain mencermati bagaimana pengusaha sejati seperti Hamka di dalam hang membangun mesin moral menjadi seorang entrepreneur. Bahwa pertama-tama bukan soal pamer kekayaan dan aset kepada publik, melainkan terletak pada sikap moral.
Dalam hal ini, saya ingat akan nasihat Hamka yang berikut ini: kala kaya, jadilah orang kaya terhormat.
Namun, topik mengenai cracy rich ini, lain kali saja kita bahas. Kita fokus pada apa yang saya baca dan lakukan pagi ini.
Di dalam buku Leadpreneurship, atau menjadi pemimpin yang berjiwa wirausaha, Profesor Doktor AB Susanto memaparkan hal yang berikut ini.
Seorang wirausahawan sejati bukan semata-mata orang yang menyediakan lapangan pekerjaan dan menyiapkan gaji rutin kepada karyawan.
Lebih dari itu, seorang wirausaha sejati adalah seorang yang senantiasa terprogram di dalam hal menyediakan benih, menaburkannya secara tepat tempat dan waktu. Kemudian memperbesar dan semakin memperbanyak kolam.
Susanto, yang dikenal pakar manajemen strategik dan pemilik The Jakarta Consulting Group juga pengusaha berlian menyatakan hal yang demikian ini:
“Entrepreneurship pada galibnya adalah upaya menciptakan nilai tambah, dengan menangkap peluang bisnis dan mengelola sumber daya untuk mewujudkan nya. Tentu harus disertai pengambilan risiko dalam porsi yang tepat.” (hlmn. 3).
Kail, kolam, dan ikan: harus ada
Peribahasa “Berikan pancing, jangan beri ikan!” mengajarkan kita tentang nilai yang lebih mendalam daripada sekadar memberi bantuan instan. Dalam maknanya yang luas, peribahasa ini menyiratkan bahwa memberikan alat atau keterampilan kepada seseorang jauh lebih bermanfaat daripada hanya memberikan sesuatu yang sekali pakai dan habis dimakan. Namun, pancing itu sendiri—sebagai simbol alat atau keterampilan—tidak akan berguna jika tidak ada “ikan” yang bisa ditangkap.
Penting untuk memahami bahwa pancing tidak akan efektif tanpa konteks yang mendukung penggunaannya. Sama halnya dengan keterampilan, jika seseorang tidak berada dalam lingkungan yang memungkinkan mereka untuk menerapkan keterampilan tersebut, maka alat itu akan kehilangan fungsinya. Misalnya, memberikan keterampilan teknis kepada seseorang tanpa akses ke infrastruktur yang diperlukan untuk mengaplikasikannya hanya akan membuat keterampilan tersebut tidak optimal.
Selain itu, untuk memaksimalkan manfaat dari pancing atau keterampilan yang diberikan, seseorang juga perlu memiliki pengetahuan tentang cara menggunakannya dengan benar. Ini berarti bahwa sekadar memberikan alat tidaklah cukup; penting untuk menyertakan pendidikan dan pelatihan agar orang tersebut dapat memanfaatkan alat itu secara efektif. Dengan kata lain, pemberian keterampilan harus diikuti dengan pemahaman mendalam tentang penerapannya dalam situasi nyata.
Dukungan moral dan motivasi juga memainkan peran krusial. Tanpa dorongan dan umpan balik yang konstruktif, seseorang mungkin merasa kehilangan semangat untuk menggunakan keterampilan atau alat yang telah diberikan. Dukungan ini penting untuk memastikan bahwa individu tersebut terus termotivasi dan berusaha untuk menerapkan keterampilan yang dimiliki.
Pancing itu sendiri bisa jadi tidak berguna tanpa akses ke sumber daya yang diperlukan. Sama halnya dengan keterampilan, jika seseorang tidak memiliki akses ke pasar atau peluang untuk menggunakan keterampilan tersebut, maka semua usaha untuk memberikan pancing akan sia-sia. Infrastruktur dan akses menjadi komponen penting dalam memastikan bahwa keterampilan yang diberikan dapat diterapkan secara efektif dan memberikan manfaat yang nyata.
Jadi, filosofi di balik peribahasa ini mengajarkan kita untuk lebih dari sekadar memberikan bantuan langsung. Kita perlu memastikan bahwa alat atau keterampilan yang diberikan dapat diterapkan dalam konteks yang mendukung, dengan pengetahuan yang memadai, dukungan yang konsisten, dan akses ke sumber daya yang diperlukan.
Dengan begitu, kita benar-benar dapat membantu orang lain untuk berkembang dan mandiri dalam jangka panjang. *)