Umberto Eco| Semiotisian dan Pengarang Il Nome Della Rosa yang Kusuka

Tahu dan mengenal memang berbeda. Saya mengenal Umberto Eco pertama sebagai novelis idaman. Mahakaryanya yang menginspirasi, sekaligus jadi sumber referensi.

Merasa dekat dan lebih mengenal Eco di tahun 1997. Ketika bersama sahabat Ariobomo Nusantara kami mengikuti pameran buku internasional Bologna Book Fair. Seraya menikmati suasana kota,  kami jalan-jalan samping tembok Universitas Bologna. Kampus tempat Eco mengajar, sebagai profesor.

Saya memamahbiak, alias mengemulasi, novel itu tak terbilang jumlahnya. Latar suasana Abad Kegelapan yang menjadi setting novel itu sungguh mengagumkan saya.

Ekranisasi novel ke filmya saya tonton awal tahun 1990-an. Masih segar dalam ingatan. Saya nonton, bersama YB Sudarmanto kawan kos dan kantor di bioskop kelas bawah, atap seng di Jalan Palmerah –kini rata dengan tanah jadi pom bensin.

Jujur bahwa karya Eco itu mengagumkan saya. Sedemikian menggugah, sehingga saya angkat, secara berbeda, dalam novel terbaru saya “Obituari Bertha”.

Bahwa pada Abad Kegelapan, kuasa Gereja dan Negara kawin-mawin. Para pejabat berpesta pora. Sex abuse terjadi dalam tembok biara. Siapa yang berani mengritik praktik semena-mena dan kerap menerjang norma, diekskomunikasikan, bahkan dihukum secara keji.

Hal yang bikin “aman” adalah bahwa jika mengritik Gereja, mereka gak terlalu sensi. Tahu bedanya demarkasi mana fiksi mana bukan. Fictum non factum.

Merasa dekat secara batin dengan Eco, saya merasa kehilangan idola. Saya tahu ia pergi ke alam baka  terbetik dari siaran BBC enam tahun lalu. Bahwa Eco mengembus napas terakhir di rumahnya, Jumat, 19 Februari 2016. Saya sediakan sedetik waktu buat diam sejenak. Mengenangnya.

Saya memamahbiak, alias mengemulasi, novel itu tak terbilang jumlahnya. Latar suasana Abad Kegelapan yang menjadi setting novel itu sungguh mengagumkan saya.

Setidaknya, empat kali namanya saya sebut dalam karya saya.

Pertama, dalam buku Dayak Djangkang (2010: 16). Ia satu dari 6 pakar semiotika yang kerap diacu dalam studi-studi tentang simbol, utamanya teks. Eco adalah semiotisian yang jadi ikon, selain Barthes, Jakobson, Peirce, Saussure, dan Peirce.

Kedua, dalam cerpen “Bologna Raut Wajah Senja” (2010). Saya menyebut nama dan karyanya.

Ketiga, dalam buku 101 Menulis dan Menerbitkan Novel (2015: 60). Saya mencatat, “Dari luar negeri, saya menyukai novel Umberto Eco…”

Keempat, setting novel Obituari Bertha (2016) utamanya bab 6,7, dan 8.

Eco dikenal sebagai akademisi. Ia mendirikan Departemen Komunikasi pada University of San Marino pada  1980-an. Ia kemudian menjadi professor emeritus dan chairman of the Higher School of Humanities of the University of Bologna.

https://www.libriantichionline.com/bibliofilia/umberto_eco_come_giustificare_una_biblioteca_privata

The Name of the Rose melambungkan namanya. Pada 1989, novelnya difilmkan lewat bintang Skotlandia, Sean Connery.

Eco lahior di Alessandria, Italy Utara pada 1932. Sang semiotisian dan novelis + 19 Februari 2016 di Mailand, Lombardei.

sumber gambar utama:
dewiki.de

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 730

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply