“O ya tahu, Dia memang pilihan leluhur,” jawab iparku ketika saya tanya tentang sosok Panglima Jilah atau orang biasanya menyebutnya PJ.
Abang iparku ada di hulu (pedalaman). Bagaimana dia tahu PJ dipilih leluhur? Tapi saya memahami kalau cara abang menjawab seperti itu. Abang ipar hidup biasa menyatu dengan alam (hutan). Berbulan-bulan di dalam hutan.
Secara “kebatinan” mereka mungkin bersua. Ada nilai kebatinan yang menyambung rasa dan semangat Dayak setanah Borneo.
“Suasana kebatinan” jadi kata kunci mengapa PJ mudah diterima oleh orang Dayak bahkan hingga ke pelosok pedalaman. Begitu nama PJ disebut orang Dayak langsung sambung rasa dan semangat.
“Tidak harus jadi anggota TBBR tapi saya siap bila ada komando dari Panglima,” kata abang iparku menjawab pertanyaanku, “apakah abang akan masuk menjadi anggota TBBR pimpinan PJ?”
Ini mungkin jawaban yang pas untuk menjawab berapa jumlah anggota atau pasukan PJ yang sesungguhnya. Mungkin memang sulit menghitung. Karena orang Dayak yang memiliki “suasana kebatinan” sama dengan PJ akan menganggap diri bagian dari perjuangan Panglima Jilah. Mereka siap kapan pun PJ memberi komando.
“Tapi juga bukan sembarang komando harus ‘diuji’ dalam suasana kebatinan. Apakah masih tegak lurus dengan semangat leluhur,” lanjut abang iparku.
Yang menarik pengikut PJ justru anak-anak muda seperti abang iparku. Bukankah tampilan PJ yang menonjolkan dan menghidupkan adat budaya malah dianggap “kekinian” dan bukan sebaliknya.
Harus diakui apa yang dilakukan PJ dan pengikutnya justru menegaskan eksistensi Dayak. Buktinya, Presiden pun berkenan bertemu PJ dalam acara akbar TBBR di Pontianak, Selasa (29/11/2022). Bahkan presiden dalam pidatonya meminta dukungan soal keberadaan Ibu Kota Negara Nusantara yang berada di Kalimantan (tanah Dayak).
Keberadaan PJ dan TBBR (Tariu Borneo Bangkule Rajakng) diperhitungkan dan ini menjadi jalan “negosiasi” dengan pemerintah. Insan Dayak harus diberikan kepercayaan untuk ambil bagian dalam pemerintahan. Sebagai penghuni asli pulau Borneo orang Dayak punya hak untuk maju dan bekembang di wilayahnya. Apalagi dengan keberadaan IKN Nusantara. Tanpa melibatkan mereka dalam menjaga IKN Nusantara nampaknya akan menjadi beban tersendiri bagi pemerintah.
Menarik fenomena itu. Mereka satu, bergerak dan seolah diam pun hanya menunggu momen. Ini kekuatan yang perlu terus dikelola oleh Dayak. Suasana kebatinan perlu terus dijaga agar lurus perjuangan. Tidak untuk kepentingan tertentu tetapi untuk Dayak.
Gerakan dan perjuangan PJ salah satu bagian dari cara orang Dayak menegaskan eksistensi dan kiprahnya. Perjuangan yang mengedepankan nilai adat budaya dan sosial. Membangkitkan kembali nilai-nilai leluhur. Tanpa membenturkan dengan keyakinan.
Seperti dalam nats “Dia datang untuk menggenapi”. Mandat budaya dalam menjaga dan melestarikan alam ciptaannya pun menjadi titik poin PJ.
“Dayak yang lekat dengan alam, setuju dengan PJ. Sosok PJ yang berani dalam menyuarakan kebenaran. Mencintai NKRI dan religius. Dia benar Pilihan leluhur, ” kata abang iparku.
Lebih lengkapnya tentang PJ dan pandangannya tentang IKN dapat dibaca dalam buku biografi Panglima Jilah Pemimpin Besar Tariu Borneo Bangkule Rajakng karya Masri Sareb Putra, Paran Sakiu, dan Matius Mardani.