Kita sedang memasuki dunia baru dan teknologi baru. Juga kecerdasan baru, yakni Artificial Intelligence (AI). AI sebagai naga raksasa. Jangan dihindari, apalagi dimatikan. Tetapi dikendarai untuk mencapai tujuan.
Artificial Intelligence (AI): The Extension of Man. Yakni perpanjangan manusia. Alat canggih yang melakukan apa pun sesuai dengan perintah.
Marshall McLuhan dalam buku Understanding Media: The Extensions of Man (1964) menyatakan bahwa semua alat adalah perpanjangan manusia. Media massa, teknologi, dan komunikasi mempengaruhi manusia dan budayanya. Definisi dan konsep tentang media, dapat diterapkan pada mesin ciptaan manusia, termasuk AI.
Baca https://bibliopedia.id/di-era-digital-setiap-penulis-bisa-menjadi-penerbit/?v=b718adec73e0
Sebagai mesin, alat ciptaan manusia, AI tunduk pada manusia. Tapi tidak menguasai manusia. AI membantu dengan sangat cepat pekerjaan dan peran manusia, tetapi tidak (dapat) menggantikan manusia. Manusialah pusat dari segala alat, termasuk AI. Hal ini sesuai dengan logika lurus manusia bahwa, “Tidak pernah ciptaan menguasai, atau lebih tinggi kedudukannya, daripada sang penciptanya”.
Ilustrasi yang menjadi penghias narasi ini dengan sangat dalam menggambarkan hal itu. Bagi Pembaca yang punya wawasan luas, dan dalam, mengenai sejarah dan asal mula penciptaan manusia oleh Tuhan Allah dapat menjadi metafora. Yakni gambar seperti ini pernah divisualkan oleh salah seorang maestro pelukis dunia, Michelangelo. Lukisan mirip ilustrasi kita ini tertera pada dinding kapel Sistine, Vatikan.
Perhatikan! Dan camkan dengan saksama! Renungkan secara mendalam. Apa kira-kira substansi dan pesan terdalamnya?
Tetap ada jarak antara pencipta dan manusia. Hanya saja, posisi manusia yang tetap berada di bawah. Semestinya, sebagai pencipta, posisi manusia di atas alat ciptaannya. Dengan ilustrasi ini, kita ingin membalikkan posisi: bahwa alat ciptaan manusia posisinya (jika menggunakan Categoria Aristoteles) seharusnya berada di bawah manusia, sebagai sang penciptanya.
Tapi, ya sudahlah! Yang penting, kita tahu menggunakan sesuatu dalam konteks. Penulis belum menemukan ilustrasi pas, yang menggambarkan bahwa “manusia, sebagai kreator, di atas hasil ciptaannya dalam konteks AI. Suatu masa di kelak kemudian hari, jika ada, ilustrasi ini akan digantikan.
Hal yang pasti adalah bahwa AI tidak memiliki kapasitas untuk menggantikan Natural Intelligence (NI) karena keduanya adalah entitas yang berbeda.
Apakah suatu saat AI dapat menggantikan manusia? Ini adalah topik yang rumit sekaligus kontroversial. Beberapa ahli meyakini bahwa AI dapat mengambil alih beberapa pekerjaan yang rutin dan berulang dengan lebih efisien daripada manusia. Sementara yang lain berpendapat bahwa AI hanya akan memperluas kemampuan manusia daripada menggantikannya sepenuhnya.
AI telah mengambil alih sejumlah pekerjaan yang repetitif, berbasis data, dan berulang dengan baik, seperti di sektor manufaktur untuk tugas pemrosesan otomatis, atau di sektor layanan pelanggan untuk menjawab pertanyaan sederhana. Beberapa pekerjaan di bidang administrasi, keuangan, atau logistik juga dapat terpengaruh.
Ada pekerjaan yang sangat bergantung pada kemampuan kreatif, empati, kompleksitas berpikir, dan interaksi manusia yang tidak dapat digantikan oleh AI. Ini termasuk pekerjaan di bidang seni, kedokteran, psikologi, pendidikan, dan pekerjaan yang memerlukan pengambilan keputusan moral atau etis.
Lebih sering daripada menggantikan manusia, AI dapat meningkatkan produktivitas manusia dengan mengotomatisasi tugas-tugas yang berulang, memungkinkan manusia untuk fokus pada tugas yang lebih berharga dan kreatif.
Sebagai AI terus berkembang. Beberapa pekerjaan mungkin mengalami perubahan dalam tugas yang diperlukan. Misalnya, dokter mungkin menggunakan AI untuk menganalisis data medis, tetapi masih memerlukan penilaian manusia dalam diagnosis akhir dan pengambilan keputusan klinis.
Model kerja yang lebih umum adalah bahwa AI dan manusia dapat berkolaborasi. AI dapat memberikan analisis data yang cepat dan presisi, sementara manusia menyediakan pemahaman kontekstual, empati, dan kebijaksanaan.
AI memiliki potensi untuk mengambil alih tugas-tugas tertentu, tetapi masih ada banyak pekerjaan yang memerlukan aspek-aspek manusia seperti kreativitas, empati, penilaian moral, dan interaksi sosial yang tidak dapat digantikan oleh teknologi saat ini.
Baca https://bibliopedia.id/14407-2/?v=b718adec73e0
Hubungan AI dan manusia, bukanlah persaingan, tetapi saling melengkapi satu sama lain. AI merupakan kecerdasan buatan yang diciptakan oleh manusia melalui penggunaan algoritma dan komputer untuk menjalankan tugas tertentu dengan cepat dan akurat.
AI bergantung pada data dan model matematis yang telah diprogram sebelumnya. Meskipun AI telah mengalami kemajuan yang luar biasa dalam beberapa tahun terakhir, kecerdasan buatan ini terbatas pada kerangka kerja yang telah ditentukan oleh manusia dan hanya dapat menjalankan tugas-tugas tertentu yang telah diprogramkan.
Sebaliknya, “Natural Intelligence” mengacu pada kecerdasan yang dimiliki oleh manusia dan makhluk hidup lainnya. NI mencakup berbagai aspek kemampuan kognitif manusia, seperti: pemahaman, kreativitas, penalaran, emosi, dan kesadaran diri. Kecerdasan manusia jauh lebih luas, fleksibel, dan adaptif daripada AI.
Oleh karena itu, AI dan NI berbeda dalam sifat dan cakupannya. Mereka tidak bersaing atau menjadi “lawan” satu sama lain. Sebaliknya, AI dapat digunakan sebagai alat untuk meningkatkan kemampuan manusia dalam berbagai bidang dan memberikan solusi untuk tantangan yang kompleks.
Di masa depan, kolaborasi antara AI dan NI akan menjadi kunci dalam mencapai kemajuan lebih lanjut dalam berbagai bidang teknologi dan ilmu pengetahuan.
Selama awal abad ke-20, Alfred Binet dan Theodore Simon berusaha mengukur kapasitas kognitif anak-anak dengan tujuan membantu mengidentifikasi anak-anak yang memerlukan bantuan khusus di sekolah. Mereka menciptakan tes kecerdasan yang dikenal sebagai Binet-Simon Intelligence Scale pada tahun 1905. Tes ini awalnya dirancang untuk mengukur fungsi kognitif umum dan tidak membedakan jenis kecerdasan tertentu.
Pada tahun 1912, William Stern, seorang psikolog Jerman, memperkenalkan istilah “IQ” (Intelligence Quotient) untuk merujuk pada hasil tes kecerdasan. Awalnya, IQ dihitung sebagai rasio antara “umur mental” dan “umur kronologis” dikalikan dengan 100. Namun, rumus ini memiliki beberapa kelemahan, dan seiring waktu, definisi IQ mengalami evolusi.
David Wechsler, seorang psikolog Amerika, mengembangkan Skala Kecerdasan Wechsler untuk Dewasa (WAIS) pada tahun 1955 dan Skala Kecerdasan Wechsler untuk Anak-Anak (WISC) pada tahun 1949.
Wechsler menganggap kecerdasan melibatkan aspek emosional dan perilaku, serta aspek kognitif. Skala Wechsler juga memecah kecerdasan menjadi beberapa subskala untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang kecerdasan individu.
Hubungan AI dan manusia, bukanlah persaingan, tetapi saling melengkapi satu sama lain. AI merupakan kecerdasan buatan yang diciptakan oleh manusia melalui penggunaan algoritma dan komputer untuk menjalankan tugas tertentu dengan cepat dan akurat.
Pada tahun 1983, Howard Gardner, seorang psikolog dan ahli pendidikan Amerika, mengenalkan teori keberagaman kecerdasan (Multiple Intelligence Theory). Gardner berpendapat bahwa kecerdasan tidak bisa diukur hanya dengan satu angka seperti IQ, melainkan ada berbagai jenis kecerdasan yang berbeda.
Menurut teori Gardner, ada delapan jenis kecerdasan, termasuk verbal-linguistik, logika-matematis, visual-ruang, musikal, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalis. Teori ini memberikan pandangan yang lebih holistik tentang kecerdasan dan mengakui bahwa setiap individu dapat memiliki keunggulan dalam beberapa bentuk kecerdasan sementara mungkin kurang dalam bentuk kecerdasan lainnya.
Sehubungan dengan perkembangan definisi IQ dan teori keberagaman kecerdasan, penting untuk memahami bahwa manusia memiliki kecerdasan alami (NI) yang berbeda dengan kecerdasan buatan (AI). Keduanya dapat bekerja bersama untuk menciptakan hasil yang lebih baik dalam berbagai konteks.
AI tidak selalu memiliki pemahaman yang mendalam tentang konteks tertentu. Jika diminta membuat cerita fiksi, dengan perintah yang khusus, AI jagonya berfiksi-ria. Alur ceritanya runtut. Namun, narasinya hambar, tak ada jiwa, tak punya spirit. Yang oleh kami, para penulis dan pengarang hal ini kerap disebut “the power of words”, kekuatan kata, daya-kata, atau kesan mendalam.
Kolaborasi antara manusia yang memiliki kecerdasan alami dan AI dapat menciptakan sinergi yang kuat dan menghasilkan dampak positif yang besar dalam berbagai bidang. Beberapa cara untuk mencapai kolaborasi yang efektif antara manusia dan AI antara lain:
- Memahami Batasan dan Kelebihan Masing-Masing: Manusia harus memahami batasan dan kelebihan AI serta kecerdasan alami mereka sendiri. AI mampu melakukan tugas-tugas berulang dengan cepat dan akurat, sementara manusia memiliki kemampuan kreativitas, empati, dan pemahaman konteks yang unik. Dengan pemahaman ini, kolaborasi dapat berjalan lebih baik.
- Pekerjaan Kolaboratif: AI dapat digunakan untuk mengotomatisasi tugas-tugas rutin dan berulang, sehingga manusia dapat fokus pada tugas-tugas yang memerlukan kreativitas dan pengambilan keputusan yang kompleks. Kolaborasi dalam pekerjaan dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas.
- AI sebagai Alat Bantu: Manusia dapat memanfaatkan AI sebagai alat bantu dalam pengambilan keputusan. AI dapat menganalisis data besar dengan cepat dan membantu manusia membuat keputusan yang lebih informasional dan cerdas.
- Kreativitas dan Inovasi: Manusia memiliki kemampuan untuk menghasilkan ide-ide kreatif dan inovatif. AI dapat membantu menguji dan memvalidasi ide-ide ini menggunakan analisis data dan model prediktif.
- Pengoptimalan Proses Pembelajaran: AI dapat digunakan dalam pendidikan untuk menciptakan kurikulum yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan individual siswa. AI dapat memberikan bimbingan dan dukungan tambahan bagi siswa, sementara guru tetap berperan sebagai fasilitator dan mentor.
- Pengawasan dan Etika: Dalam penggunaan AI, manusia harus memainkan peran dalam pengawasan dan pengendalian teknologi ini. Etika dalam pengembangan dan penerapan AI juga sangat penting untuk memastikan bahwa teknologi.
Dalam hal tulis-menulis zaman now misalnya, semua orang berpotensi menjadi penulis dengan kehadiran AI. Namun, sangat terasa, dan dapat diidentifikasi mana tulisan yang murni meggunakan jasa AI mana yang sebagai alat bantu.
Meskipun AI dapat menghasilkan teks yang terstruktur dan gramatikal, mengekspresikan kreativitas dan gaya pribadi dalam menulis seringkali adalah karakteristik yang khas manusia. Manusia memiliki keunikan dalam cara mereka menggabungkan kata-kata, mengungkapkan ide, dan menciptakan cerita.
AI tidak selalu memiliki pemahaman yang mendalam tentang konteks tertentu. Jika diminta membuat cerita fiksi, dengan perintah yang khusus, AI jagonya berfiksi-ria. Alur ceritanya runtut. Namun, narasinya hambar, tak ada jiwa, tak punya spirit. Yang oleh kami, para penulis dan pengarang hal ini kerap disebut “the power of words”, kekuatan kata, daya-kata, atau kesan mendalam.
Inilah “keterbatasan”, bukan “kelemahan” AI. Mengapa? Sebab AI hanyalah mesin, alat yang bekerja sesuai perintah manusia. AI tidak punya cita rasa, tidak bisa menggambarkan perasaan manusia, tidak punya jiwa. Yang AI punya semata logika algoritma. Yang bisa saja lurus secara penalaran (menggunakan meta-teori Aristoteles A-A-A dan silogisme kategoris dan pendekatan deduksi), namun belum tentu benar dari sisi kebenaran isi.
Sebab hal yang tampak masuk akal, tidak identik dengan benar secara isi. Sedemikian rupa, jika diuji dengan “Substansi-kuantitas-kualitas-relasi-ruang/tempat-waktu-posisi-kebiasaan-aksi/tindakan-pasi) sesuai dengan rumusan Categoria Aristoteles; kesalahan, atau kesesatan nalar AI dapat diidentifikasi oleh orang yang paham.
Jadi, tulisan yang menggunakan jasa mesin dan dibuat oleh manusia; dapat diidentifikasi, atau diuji degan rumusan “Kategori” Aristoteles yang aslinya : ousia – poson – poion – pros ti – pou – pote – keisthai – echhein – poiein – paschein.
Tulisan yang menggunakan AI, tanpa diolah sedemikian rupa menjadi “milik penulis”, akan ketahuan.
Dalam istilah saya, tulisan yang punya ruh, yang dihasilkan manusia, “menggetarkan”. Saya pernah nyatakan itu, dalam bahasa saya adalah “kata-yang-bekerja”. Konsep, atau entitas yang berbeda sekali dengan: kata kerja!
Berbeda dengan AI. Penulis manusia sering dapat mengaitkan pengalaman pribadi, pengetahuan, atau wawasan yang lebih luas ke dalam tulisan mereka. Ini mungkin sulit diwujudkan oleh AI, terutama dalam konteks yang sangat individual atau emosional.
Meskipun AI dapat menghasilkan teks, itu tidak selalu menjamin kualitas. Penting untuk memiliki proses penyuntingan dan penilaian manusia untuk memastikan bahwa tulisan memiliki substansi, kejelasan, dan keakuratan yang tepat.
Ekspektasi Pembaca: Pembaca sering memiliki ekspektasi tertentu terhadap tulisan yang dihasilkan oleh manusia. Tulisan yang dihasilkan oleh AI mungkin terasa lebih “dingin” atau kurang pribadi, yang dapat memengaruhi cara pesan diterima oleh pembaca.
Penggunaan AI dalam penulisan harus memperhatikan etika, terutama dalam hal penyalahgunaan, penipuan, atau plagiarisme. Memasukkan teks yang dihasilkan oleh AI tanpa atribusi yang sesuai dapat dianggap sebagai tindakan tidak etis.
Dalam konteks ini, membedakan antara tulisan yang dihasilkan oleh manusia dan tulisan yang dihasilkan oleh AI tidak selalu mudah. Terutama jika AI digunakan dengan benar, bijaksana, dan tepat-tujuan. AI terbukti dapat meningkatkan kualitas atau efisiensi penulisan.
Meski demikian, manusia memiliki kemampuan untuk mendeteksi ketidak-nyambungan (korelasi) konteks suatu kalimat dan alinea. Manusia dapat mengenali letak ketidakkonsistenan suatu tulisan yang menggunakan AI seluruhnya tanpa diolah (diedit dan diesuaikan dengan tujuan), dalam gaya dan substansi, yang dapat mengungkapkan penggunaan AI. (*)
sumber ilustrasi ini: Bing Image Creator.