Beberapa waktu lalu, di kamar anak saya, tanpa sengaja saya melihat sebuah buku bersampul hitam dan bertuliskan “Pintu”. Buku hitam itu rupanya sebuah block note, merchandise akhir tahun dari kantor anak saya–sebuah perusahaan start-up bernama Pintu yang beberapa waktu ini ramai menjadi incaran dan rujukan bagi para milenial sebagai tempat kerja impian. Namun, bukan tentang perusahaan ini yang akan menjadi aksara utama di halaman ini.
Benar, bahwa buku (block note) “Pintu” itu yang awalnya menjentik memori saya, membuatnya terbang ke ingatan duapuluh tahun silam (2002) saat saya membidani lahirnya sebuah novel berjudul Pintu karya Fira Basuki–logi kedua dari trilogi Jendela-Jendela, Pintu, dan Atap. Betapa tidak, sekilas penempatan judul sampul keduanya menuju kemiripan.
Pada masanya, Pintu banyak dibicarakan dan diulas di sana-sini. Sebagai sebuah logi, sudah barang tentu cerita dalam Pintu punya benang merah dengan cerita dalam logi Jendela-Jendela dan Atap, meski dari sudut pandang tokoh yang berbeda. Secara fisik, trilogi ini barangkali sudah sulit ditemukan di toko buku, tetapi bila beruntung kita masih bisa menemukannya di e-commerce, baik versi sampul lama maupun versi sampul baru.
Saya tidak bekerja sendiri. Ada kolaborasi kreatif di baliknya. Untuk urusan trilogi Jendela-Jendela, Pintu, Atap, Ignatius Haryanto, tentu harus disebut pertama, sebab dialah pembuka pintu masuk logi pertama ke dalam dunia penerbitan. Cerita legendarisnya sebagai berikut. Di sela-sela kesibukan studi lanjut di Singapura, suatu kali Ignatius Haryanto sempat berkunjung ke apartemen sahabatnya, Fira Basuki. Tanpa sengaja, ia menemukan print-out naskah Jendela-Jendela tergeletak di tumpukan kertas-kertas di samping komputer. Ia pun lantas menyarankan naskah itu untuk diterbitkan secara komersial. Dari tangannyalah saya menerima naskah itu… maka terjadilah apa yang memang harus terjadi, perjalanan panjang kepengarangan Fira Basuki pun dimulai.
Kala itu, dunia sastra Indonesia sedang sangat bergairah dengan hadirnya sejumlah pengarang (perempuan) muda–yang lantas media menamainya sebagai era sastrawangi. Tidak semuanya mekar mewangi. Meminjam bait puisi Chairil Anwar, banyak yang sekali berarti, sudah itu mati. Meski, tak sedikit pula yang nama dan karyanya mengharum menembus jagat literer kelas dunia.
Kembali soal Pintu. Dua sastrawan besar, Sapardi Djoko Damono dan Arswendo Atmowiloto, tak mungkin ditanggalkan begitu saja perannya. Sungguh sebuah anugerah, kedua sastrawan itu berkenan menjadi pembaca pertama, pengritik, pemberi masukan, sekaligus menulis dukungan (endorsement) untuk trilogi ini. Di kemudian hari, nama keduanya selalu ditempatkan oleh Fira Basuki sebagai “mentor” atas karya-karya kepengarangannya. Lalu, khusus untuk Pintu, saya tambahkan nama Ani Sekarningsih sebagai pemberi dukungan–seorang pengarang sekaligus sohor sebagai pembaca kartu tarot yang tentu punya sentimen sangat erat dengan nuansa cerita Pintu yang kental dengan pengelanaan dunia spiritual. Ketiga pemberi dukungan itu kini telah menyatu dalam pelukan Kedamaian Abadi.
Untuk urusan desain sampul, saya gandeng Hagung Sihag, pekerja seni yang karya grafisnya sangat saya sukai karena selalu mempunyai kedalaman makna. Dalam menggurat karya, Hagung Sihag selalu mendasarinya dengan filosofi, tidak sekadar menggambar. Maka, kepadanya saya sodorkan naskah utuh untuk dibaca agar ia bisa menangkap “ruh” naskah itu untuk kemudian dituangkan dalam karya grafis.
Satu nama lagi, Ho Keen Fi, fotografer dan sahabat Fira Basuki di Singapura. Jelas, ia tak fasih berbahasa Indonesia. Namun, ia berhasil menangkap makna harfiah dari “pintu” lalu menerjemahkannya dalam jepretan foto–yang kemudian menjadi bagian dari sampul buku secara keseluruhan.
Sementara, untuk Pintu saya tak bisa banyak bercerita karena tidak terlibat di dalamnya. Tetapi, dari cerita-cerita yang saya terima, ada kerja kolaborasi kreatif juga di balik Pintu demi keberlangsungan perusahaan. Menyenangkan. Sungguh sebuah keajaiban hidup. Saya dan anak saya rupanya sama-sama ada di balik pintu–meski itu dua pintu yang berlainan–dengan peran dan tugas yang juga berbeda.
Lantas, apa kesimpulan dari tulisan ringan ini? Tidak ada kesimpulan yang mengikat selain sekadar menguatkan frasa “tidak ada kebetulan di dunia ini.”