Simalakama Kepengarangan

Ada pengarang, ada kepengarangan. Yang pertama author (nomina) dan ada kaitan memang dengan authority (menyangkut power to influence), yang terakhir authorship.

Kepengarangan itu menyangkut seperangkat atribut yang pengarang miliki—set of attributes possessed by an author. Dan munculnya kesadaran strukturalisme di kalangan pengarang sendiri sebenarnya menjadi buah simalakama. Saya sendiri tidak pernah memakan buah ini, tapi tahu maknanya, dalam hal ini “hasil kerja keras mengarang kok begini pahit”, dan yang pertama kali menanamnya sampai berbuah banyak hingga diimpor ke Indonesia adalah Roland Barthes.

Barthes berkebun simalakama di atas kubur kematian pengarang. Mana bisa pengarang ada sebagai individu, demikian pikir dia. Setiap pengarang adalah bagian dari sistem yang membuatnya seperti itu, sedemikian rupa sehingga bolehlah kita sebut para pengarang itu menempati ruang dengan teks yang dikarangnya sendiri.

Misal, sejauh situasi bangsa dan negara kita begini-begini saja, siapa pun pemimpin kita, penyair Toto ST Radik ya menulis puisi yang pesimistik-pesimistik belaka. Puisi-puisi panggungnya pun kalau dibaca bikin kita jadi nangis dalam mencintai negara-bangsa.

Artinya, kematian pengarang ada benarnya, Toto tidak sebagai individu yang terpisah dari kita yang menderitakan hidup. Jadi, kalau ada penyair dapat hadiah Nobel atau apa saja, hadiahnya itu bukan untuk dirinya, tetapi untuk jiwa sosialnya, untuk kolektif yang direpresentasikannya. Tanpa derita sosial, tanpa kita, penyair tidak bisa menanam buah pahit apa pun. Jadi, ya oke simalakama, dan seingat saya simalakama itu bukan racun, melainkan obat. Kalau itu jamu, ya, jamu yang dibawa keliling si Mbok untuk pusing dan pegal-pegal kita sekalian.

Kita harus ingat di zaman dahulu banyak sumber tertulis tanpa nama pengarang. Dipikir-pikir sekarang—dengan gaya strukturalis—memang apa urusannya pengarang, yang penting kan isinya. Sumber-sumber tersebut melaporkan alam batin pengarangnya. Saya percaya legenda-legenda kita juga ada sosok pengarangnya, tapi ia merasa tak penting hadir. Dulu, para pengarang sudah seekstrem itu memandang diri tak lebih dari teks. Mengapa? Mungkin karena di masa itu para pengarang tidak berburu penghargaan, melainkan rusa di tengah hutan. Atau dia sendiri yang sedang diburu aparat kerajaan sehingga harus memenjara diri di balik karangannya. []

Share your love
Avatar photo
Arip Senjaya

Pemenang Literasi Terapan Lokal Perpusnas 2022, alumni Batu Ruyud Writing Camp Kaltara, dosen filsafat Untirta, anggota Komite Buku Nonteks Pusbuk Kemdikbud, sastrawan, editor. Alumni UPI dan UGM.

Articles: 28

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply