Barba non facit philosophum –Jenggot panjang tidak (otomatis) membuat seorang menjadi airf-bijaksana.
Demikian sebuah tamsil yang populer sejak zaman Romawi kuna. Menurut penulis Latin, Aulus Gellius (125 – 180 M), yang menceritakan bahwa ia hadir di sebuah acara.
Ada seorang lelaki berjubah, dengan rambut panjang, dan jenggot yang hampir menjuntai mencapai pusarnya. Suatu ketika, ia datang ke aristokrat Athena. Mantan konsul Romawi dan sastrawan Herodes Atticus, yang terkenal dengan pesona dan kefasihan bahasa Yunani-nya dan meminta agar uang diberikan kepada pria berjenggot panjang itu.
Ketika Herodes bertanya kepadanya, “Siapa dia, pria itu?” yang tampaknya tersinggung, lalu menjawab bahwa dia adalah seorang filsuf. Sekonyong-konyong menambahkan bahwa dia bertanya-tanya, mengapa gerangan Herodes berpikir perlu mengajukan pertanyaan seperti itu?
“Aku mafhum,” kata Herodes. “Jenggot dan jubah ada kulihat; namun filsuf tak kulihat samasekali.”
Beberapa sahabat Herodes memberitahunya bahwa orang itu sebenarnya adalah seorang pengemis “yang tidak berharga”, yang perilakunya sering kasar. Mendengar itu, Herodes berkata,
“Mari kita beri dia uang, kalau begitu. Apa pun karakternya, bukan karena dia laki-laki, melainkan karena kita laki-laki.”
Lalu Herodes memerintahkan agar kepada si jenggot panjang kepadanya diberi uang yang cukup. Sehingga lelaki berjubah filsuf itu bisa membeli makanan selama tiga puluh hari.
Hal yang saya herankan –sebab heran, thaumasia— adalah pangkal awal filsafat: mengapa rambut kepala saya masih asli dan belum atap seng, tapi barba ini malah sudah warna perak?
Barba non facit philosophum –Jenggot panjang tidak (otomatis) membuat seorang menjadi airf-bijaksana.
Berjibaku dengan buku-buku filsafat, beberapa baca alsinya bahasa Yunani seperti Organon, dan bertemu dengan filsuf awal yang rata-rata disebut “filsuf alam”, saya menemukan pangkal-awal filsafat, antara lain adalah THAUMASIA –rasa heran ini.
Para filsuf, dengan tidak sengaja, menemukan teori dari hal-hal sehari-hari. Mereka heran melihat gejala alam. Mereka bertanya.
Dari pertanyaan ini, kemudian lahir jawaban. Itu sebabnya, filsafat disebut cinta akan-kebijaksanaan.
Hanya cinta pada. Bukan kebijaksanaan itu sendiri.
Tugas filsafat BERTANYA dan MENCARI. Jika pertanyaan bersua jawaban, ia menjadi: ilmu dan teori.
Maka, filsafat terus menunaikan tugasnya: Bertanya, menggugat. Bahkan mempertanyakan dan menggugat kemapanan dan ilmu yang telah ia bangun. Jadilah salah satu cabang filsafat, EPISTEMOLOGI, atau kritik ilmu.
Seorang filsuf adalah pemikir. Ia disebut ahli pikir. Otaknya tidak akan laku nanti di surga, sebab sudah banyak terkuras waktu hidup di dunia fana ini. Dan hanya orang yang (sudah) kenyang bisa berfilsafat. Lahirlah pepatah petitih: “primum manducare, deinde philosophari” (makan dahulu, berfilsafat kemudian).
Olah-filsafat dapat ditamsilkan sebagai: dapat melihat kucing hitam di atas batu hitam di tengah gulita malam.