Belajar Saham: Rasionalitas dan Bias Psikologis

Ini sebuah kekonyolan. Ini menjadi ancaman dan bisa menjadi bahaya besar. Anda tetap harus selalu memahami, menyadari, dan selalu memperingati diri sendiri agar tidak ceroboh. Di pasar saham bahaya ini selalu mengintai. Nama mahluk tak berwujud itu bernama FOMO – Fear of Missing Out, yang dapat didefinisikan sebagai perasaan takut ketinggalan – takut kehilangan kesempatan – perasaan penasaran – perasaan takut rugi kalau tidak ikut (ikut-ikutan) investor/trader lain untuk membeli sebuah saham emiten tertentu yang sedang melonjak naik.

Setiap saat di pasar saham faktor-faktor irasional dapat dengan mudah mempengaruhi keputusan seorang investor, betapa pintarnya pun seseorang tersebut. Irasionalitas dapat dikatakan bukan hanya domain mereka yang kurang intelek, tetapi ada dalam diri setiap investor di pasar saham.

Suatu saat misalnya, ada selentingan berita entah dari mana sumber primernya bahwa perusahaan tertentu akan mendapat suntikan modal dari pemodal besar grup terkemuka. Atau ada news yang memasok informasi saham perusahaan tersebut diborong oleh investor asing. Lalu harga saham tersebut menjadi bullish, tren harga naik terus sampai ARA ( Auto Rejection Atas) berjilid-jilid.

Melihat hal itu, perasaan kita menjadi terusik dan kemudian menjelma menjadi perasaan penasaran, lalu membesar menjadi perasaan takut ketinggalan kereta atau takut kehilangan kesempatan, lalu tidak mau kalah kita pun ikut membeli saham emiten tersebut meskipun harganya sudah tinggi dan pada awalnya tidak masuk dalam rencana beli. Yang terjadi kemudian adalah harga saham nya mulai turun dan terus menurun sampai ARB (Auto Rejection Bawah) berjilid-jilid. Tidak sabar kita pun terpaksa memilih opsi untuk cut loss – sebuah aksi ambil rugi untuk menghindari kerugian lebih dalam.

Akhirnya baru disadari kita sudah kena mental. Bahwa berita soal investor besar atau masuknya investor asing itu hanya sebuah pom pom yang sudah kita tahu adanya permainan itu di pasar saham. Begitulah, wabah FOMO itu kapan saja bisa mempengaruhi kondisi psikologis setiap investor dalam mengambil keputusan.

Tentunya kita tidak mau terjebak lagi oleh mahluk yang bernama FOMO itu. Mana ada orang yang mau membuat kesalahan yang merugikan berkali-kali karena kebodohan sendiri. Tetapi kenyataannya banyak cerita di pasar saham orang bisa terjebak berkali-kali dalam tindakan irasional itu. Bukan bodoh ya. Karena tindakan irasional semacam itu bukan berangkat dari out put yang ada di kepala. Tetapi itu produk-out put dari hawa nafsu – sifat greedy – kerakusan yang tidak berhasil dikendalikan.

Merasa orang banyak mendapat keuntungan karena telah mengkoleksi suatu saham yang tengah melonjak harganya, maka timbul rasa takut ketinggalan kereta tidak memperoleh keuntungan dari saham yang sama sehingga akhirnya ikut membeli, walaupun sudah diketahui harganya sudah tinggi. Perang melawan hawa nafsu itu susahnya memang bukan main dan risikonya bukan main-main.

Memang harus diakui, rasionalitas dalam setiap mengambil keputusan ekonomi yang diajarkan secara akademis, bisa menjadi buyar di ruang publik pasar saham yang sangat dinamis. Mengutip dari Ubaidillah Nugraha (2004:171) dalam bukunya ” Secangkir Teh Hangat Pasar Modal ” Dituliskan, di dunia keuangan dan ekonomi, ternyata setiap investor dalam memutuskan sesuatu tidak hanya berdasarkan pertimbangan rasional. Ternyata investor tidak hanya memperhatikan indikator performance keuangan perusahaan, tetapi juga kondisi emosionalnya yang di drive oleh banyak faktor, seperti kepercayaan diri yang berlebihan, judgement, atau konsensus atas apa yang diperhitungkan dan dilakukan oleh orang lain seperti adagium, ” I don’t buy stocks simply, because others are buying them. I buy them because many, many others are buying them”.

Masih menurut Ubaidillah Nugraha, ternyata masalah emosionalitas semakin lama makin mendominasi sisi rasionalitas manusia, tidak terkecuali dalam mengambil keputusan investasi. Ini semakin membuktikan bahwa faktor-faktor psikologis tidak dapat dipisahkan dan merupakan bagian yang harus diakui sebagai bagian dari behavioral finance.

Para pakar behavioral finance memang telah banyak memberikan warning betapa keputusan investor banyak atau amat dipengaruhi oleh bias psikologis. Akibatnya tidak sedikit para investor membeli saham disertai dengan harapan yang berlebihan dengan sadar atau tidak sadar mengabaikan sisi rasionalitas yang ada pada dirinya, lalu bertindak sangat spekulatif. Kalau sudah begini, tanpa disadari pasar saham sudah berubah wajah menjadi arena perjudian. Dalam konteks ini tidak heran kalau kemudian membuat seorang Muhammad Yunus, pemenang Nobel dari Bangladesh, mengecam para investor yang telah mengubah bursa saham menjadi tempat judi.

Ada beberapa langkah yang sampai saat ini dapat saya catat sbg bagian yang dapat digunakan untuk menghindari bias psikologis yang sering dihadapi dalam berinvestasi, khususnya para trader pemula:

1. Miliki kriteria kuantitatif dalam berinvestasi. Dengan menggunakan kriteria kuantitatif, seperti profit perusahaan harus berapa, penjualan bersih nya minimal berapa. Dengan begitu Anda sebagai investor bisa terhindar dari pengaruh emosi, rumor, dan bias psikologi lainnya.

2. Lakukan diversifikasi. Salah satu strategi yang dianggap paling ampuh untuk menghilangkan bias psikologi adalah melakukan diversifikasi. ( Ubaidillah Nugraha, 2004:177).

3. Tidak memiliki tujuan utama “mengejar yang”. Ketika uang menjadi tujuan utama, Anda akan mencari cara yang tercepat dan termudah. Alam bawah sadar kemudian akan mencari cara apa pun untuk mewujudkan tujuannya. Mindset yang salah membutakan akal sehat trader, sehingga ia tidak dapat mengambil keputusan yang bijaksana. Semua ini tercermin dalam sikap tamak para trader.

4. Fokuskan pada proses pembelajaran dalam trading. Pembelajaran dalam trading tidak melulu tentang mengejar uang, namun akan menjadi sebuah pengalaman baru, pengalaman yang menyenangkan. Dengan terus belajar dan melakukan improvisasi, Anda akan berfokus pada hasil terbaik, yaitu meminimalkan resiko dan memaksimalkan reward. ( Ellen May, 2022: 137).

5. Lebih baik fokus untuk meningkatkan arus kas positif dari investasi seperti mengumpulkan saham yang membayar deviden. Fokus seperti ini bukan berarti tidak menyukai keuntungan dari kenaikan harga saham. Namun investor yang berfokus mencari keuntungan dari kenaikan harga saham cenderung dipengaruhi emosi ketika melihat harga saham yang sedang bergejolak, serta mudah tertarik pada saham yang naik tinggi walaupun secara fundamental tidak memiliki kesehatan keuangan yang baik. Kita bisa berpandangan seperti ini: fokus meningkatkan penghasilan arus kas, sedangkan kenaikan harga saham adalah bonus. ( Raymond Budiman, 2022: 104).

6. Hindari membawa hutang ke pasar saham. Karena pengambilan keputusan investasi di pasar saham harus dilakukan dengan tenang dan cermat, tidak boleh tergesa-gesa apalagi di bawah tekanan psikologis harus segera nembayar hutang.

Jadi ingin saya katakan, untuk masuk ke pasar saham, tidak hanya bermodalkan kesiapan finansial. Yang tidak kalah penting adalah kesiapan pengetahuan, dan kesiapan mental yang bagus. Dan untuk itu semua, guru terbaik nya adalah diri kita sendiri.

Belajar saham-catatan seorang pemula

Share your love

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply