Bagaimana kiat menulis. Agar diksi kita kaya. Lagi pula, kata-katanya menyentuh Pembaca?
Suatu waktu. Pertanyaan itu dihujamkan kepada saya.
Bingung juga menjawabnya mulai dari mana? Apa lagi, menemukan rumusnya yang mustajab. Sebab, rumus menulis yang berdaya-pikat hanya satu saja. Yakni bahwa. “Tidak ada rumus bagaimana menulis yang berdaya-pikat.”
Setiap orang punya gaya-menulis. Kita mengenalnya sebagai style. Dari patah kata Latin, stylus yang berarti: pensil.
Batangan pensil bisa sama. Namun, guratan masing-masing orang di atas kertas, berbeda-beda. itulah gaya menulis. Yang tidak dapat ditiru. You can copy me, but You can not be me!
Nasi sudah menjadi bubur, itu biasa. Maknanya: terlanjur, kadung, tanggung. Namun, bubur sudah menjadi nasi, belum biasa. Maknanya adalah: Sesuatu yang musykil, bahkan: tidak mungkin!
Paling bisa, dalam teori menulis kreatif, “Read and emulate great writing”. Semacam patok-duga. Setelah kita baca mahakarya orang lain, kita menangkap caranya mengungkap dan mendeskripsi. O, begitu caranya? Itulah emulate! Tidak menjiplak! Melainkan mengemulasi.
Salah satu kiat yang kerap saya ungkap pada penulis adalah: miliki, baca, dan emulasi sejumlah kamus peribahasa. Sebab, kadangkala di sanalah kita temukan bahasa peri.
Saya memiliki beberapa kamus ini. Ungkapan atau kalimat ringkas padat, berisi perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup atau aturan tingkah laku.
Dari kamus peribahasa, saya bisa melakukan inovasi: mengubah atau menambah peribahasa lain. Misalnya, yang saya lakukan tentang peribahasa: nasi ini.
Bubur sudah menjadi nasi
Nasi sudah menjadi bubur. Itu peribahasa yang saya dapatkan dari buku 7700 Peribahasa Indonesia. Apa maknanya? Baca sendiri!
Namun, dari sini saya ingin membuat satu peribahasa baru:
Bubur sudah menjadi nasi.