Buku Digital di antara Buku Analog

Silakan membuka Ensiklopedia Indonesia. Entri tentang: buku. Anda akan menemukan definisi yang menakjubkan. Yang hingga saat narasi ini ditulis, dan dipublikasikan, belum berubah. Intinya: buku media edukasi dan informasi yang belum tergantikan oleh media lain.

Tiap medium (jamaknya: media) mengandung keterbatasan (bukan kelemahan) dan kelebihan masing-masing sesuai dengan sifatnya. Inilah yang oleh McLuhan (1964) disebut “the medium is the message”. Yaitu media adalah pesan itu sendiri. Atinya setiap media, sesuai dengan fitrahnya, memuat atau menyampaikan pesan sesuai dengan sifatnya.

Baca Project Gutenberg dan Nujum McLuhan

https://bibliopedia.id/project-gutenberg-dan-nujum-mcluhan/?v=b718adec73e0

Contoh sederhana. Twitter media (sosial) yang terbatas memuat pesan. Singkat saja. Dibatasi jumlah katanya. Tidak bisa memuat dan menyampaikan narasi panjang lebar di Twitter. Berbeda dengan Fb, Web, atau blog –meski sama-sama media baru—namun yang disebutkan terakhir itu dapat menyimpan dan meneruskan pesan (konten) secara panjang lebar.

Itulah keterbatasan dan keunggulan media. Hal yang sama berlaku pada media lama/ konvensional. Dibandingkan dengan media baru (the new media), media lama punya keterbatasan dan keunggulannya. Misalnya saja, buku analog (cetak) dapat dibawa ke mana-mana. Tidak bergantung kepada listrik dan internet untuk bisa mengaksesnya.

Asalkan ada terang, kita bisa membaca dan menggunakan buku analog. Lagipula, buku cetak identik dengan life style. Orang bangga memajang buku di perpustakaan pribadi, atau di ruang tamu. Itu sebabnya, Cicero berkata, “A room without books is like a body without soul” (Sebuah ruangan tanpa buku bagaikan badan tanpa jiwa).

Litani panjang keunggulan buku-cetak masih bisa disenaraikan. Selain gaya hidup, buku cetak sedap mata memandang deretan dan tampilannya. Mohammad Hatta misalnya, membanggakan buku melebihi harta karun apa pun.

Baca Koleksi Buku Pribadi Hatta Melebihi Perpustakaan Nasional https://bibliopedia.id/koleksi-buku-pribadi-hatta-melebihi-perpustakaan-nasional/?v=b718adec73e0

Tidak demikian halnya dengan buku digital atau analog. Mengaksesnya harus ada syarat: listrik yang utama. Jika belum memiliki datanya di gadget atau laptop maka mengaksesnya harus dengan koneksi internet. Sementara kenyamanan membaca dan mengonsumsinya pun berbeda dengan buku analog.

Demikianlah hukum media yang sebagaimana dikemukakan Fidler (1997) mengalalami morfosis. Itu sebabnya, Fidler memberi judul bukunya Mediamorphosis. Pustaka yang mencelikkan. Sekaligus memberi pemahaman cukup komprehensif mengenai perkembangan media dari zaman ke zaman. Pada intinya, Fidler menyatakan bahwa media ada bersama (koeksistensi) dan berevolusi bersama (koevolusi) dengan manusia dan zamannya.

Media tidklah saling kanibal dalam pengertian yang menyeluruh. Tergerus oleh media baru, ya, namun tidak meniadakan. Dalam konteks ini, buku analog khususnya untuk situasi dan kondisi dunia dan Indonesia pada saat ini masihlah mendomiasi. Di Amerika saja 70% warga masih mengonsumsi buku analog.

Bagaimana di Indonesia?

Jika di  Amerika saja, yang dikenal sebagai negara-maju di bidng tekologi, warganya mayoritas masih mengonsumsi buku analog, pastinya di Indonesia fenomenanya juga sama. Ini adalah era perubahan dan peralihan. Pola konsumsi menjadi budaya masih dalam proses perjalanan.

Cicero berkata, “A room without books is like a body without soul” (Sebuah ruangan tanpa buku bagaikan badan tanpa jiwa).

Ke depan, pastinya perubahan itu tidak dapat untuk dibendung. Itu terkait perkembagan teknologi menyimpan dan menyampaikan pesan. Namun, pesan/ konten itu sendiri; tidak berubah. Ia bisa disimpan, dan disalurkan, lewat media apa pun juga.

Baca Percetakan & Penerbitan Nusantara Era VOC dan Prakemerdekaan

https://bibliopedia.id/percetakan-penerbitan-nusantara-era-voc-dan-prakemerdekaan/?v=b718adec73e0

Maka jangan terkecoh pada perubahan media. Ikuti dan gunakan keunggulannya. Namun, sebagai pengarang/ penulis; jangan pernah cemas. Konten kreator media senantiasa raja media. Mengapa? Sebab, tanpa konten, the media are nothing.

Maka jadilah raja. Jangan jadi spion. Aau apa pun, yang bisa hilang ditelan zaman.

Telusuri https://www.google.com/search?rlz=1C1UEAD_enID1054ID1054&source=lnms&tbm=bks&stick=H4sIAAAAAAAAAONgFuLVT9c3NEw2NUlPyslNU4Jwk8wLkwssSgq1pLKTrfST8vOz9RNLSzLyi6xA7GKF_LycykWs5oYGhgoh-dn5GQouiZWJ2QqViXnpCr6peeml2ZlFCsGpWYlFiRkKvonFRZkKwYlFqUkKAaUlRYk7WBkByCUFxnkAAAA&q=101%20Tokoh%20Dayak%20yang%20Mengukir%20Sejarah%20Masri%20Sareb%20Putra&sa=X&ved=2ahUKEwjw-Ou9ypr_AhUC6jgGHbehDbcQ_AUoA3oECAIQBQ&biw=1370&bih=656&dpr=1

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 737

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply