Buku yang Dilarang Semasa Orde Baru (1)

Orde Baru punya banyak cerita. Salah seribunya: pelarangan buku-buku.

Ini ciri pemerintahan otoriter, menurut teori pers/ media. Di mana suatu pusat informasi dan komunikasi dikontrol oleh Pemerintah.

Maka tak syak. Begitu banyak buku —yang bertentangan degan kepentingan penguasa– dilarang beredar. Beberapa di antaranya, yang dianggap kontennya nyrempet-nyrempet untuk mengelabui massa, turut dilarang. Padahal, bukan itu sasarannya!

AliSadikin, tokoh Petisi ’50,suatu hari dipanggil dan dimintai keterangan oleh Kejaksaan Agung. Sebenarnya, setali tiga uang dengan diperiksa. Maklum, orang Indonesia sangat pandai menghaluskan bahasa.

Bang Ali dipanggil ke Gedung Bundar, Jakarta Selatan, gara-gara memiliki dan merencanakan menggandakan buku Era Baru Pemimpin Baru: Badio Menolak Rezim Orde Baru. Bersamaan dengan Bang Ali, diperisa pula sekretaris pribadi Seoebadio.

Buku tersebut dilarang dan ditarik dari peredaran oleh Kejaksaan Agung dengan alasan, “menghina dan mendiskreditkan Presiden”. Pelarangan buku ini cukup membuat geger pada 1997 dan merupakan yang ke-5 selama dekade 1990-an.

Pelarangan buku selalu menjadi bahan perbantahan yang selain menarik, juga kontroversial. Di satu pihak, kalangan perguruan tinggi menganggap pelarangan buku sebagai suatu perbuatan yang “keterlaluan”. Sementara Pemerintah (Kejaksaan) memandangnya sebagai sesuatu yang wajar karena buku berbau politik semacam itu sangat potensial merongrong wibawa pemerintah yang sah, yang tengah berkuasa. Dengan bahasa yang lebih spesifik, Kejaksaan mengatakan bahwa alasan pelarangan buku (dan karya cetak lain) “demi ketertiban masyarakat”.

Buku memang berbeda dengan pers. Jika pers melakukan kesalahan, badan penerbitnya bisa ditutup. Pers yang bersangkutan bisa dibredel. Tetapi buku, paling-paling ditarik dari peredaran. Sedangkan penerbit (bisa anggota Ikapi atau penulis) sepanjang sejarah perbukuan Indonesia tidak pernah ditutup atau dicabut Surat Izin Usaha (SIUP-nya).

Tahun-tahun terakhir Orde Baru berkuasa, hanya dua jenis buku saja yang dlarang beredar.

Pertama, buku yang mengandung pornografi seperti buku Madame D. Syuga karangan Fuji Hideki yang dilarang dan ditarik dari peredaran pada 8 November 1993.

Kedua, buku politik yang dinilai dapat membuat instabilitas dan dapat merongrong kewibawaan Pemerintah yang tengah berkuasa seperti buku Seoebadio.

Das Kapital sesungguhnya berbicara tentang ekonomi, bukan pertama-tama idologi dan politik. Menjadi bacaan wajib di berbagai perguruan tinggi di luar negeri, terutama Eropa dan Amerika.

Dari kacamata Pemerintah, mungkin buku-buku yang selama ini dilarang beredar dinilai punya nuansa politis, sehingga dinilai dapat membahayakan.

Namun, dari sisi kepentingan akademis, bukan tidak mungkin semua buku yang dilarang beredar dapat menjadi kajian yang sangat menarik.

Angkat saja misalnya, buku Karl Marx berjudul DasKapital yang dilarang beredar di Indonesia. Bukankah buku itu sebenarnya amat bermanfaat dibaca oleh para ekonom dan peminat masalah ekonomi untuk memahami ilmu ekonomi dalam kaitannya dengan masalah sosial?

Sedangkan bagi politikus, buku Marx sangat cocok untuk dikaji, sperti juga buku penting lainnya, Mein Kamf karya Adolf Hitler. Tanpa pernah membaca sendiri buku itu, rasanya seseorang belum sah disebut sebagai ekonom dan politikus.

Hal yang cukup mendapat banya kritikan, sekaligus perlawanan terhadap pelarangan buku era Orde Baru adalah Das Kapital. Dalihnya adalah bahwa paham Marx bertentangan dengan ideologi Negara. Tapi begitu angin Reformasi berembus, dan kebebasan berbicara dan berpendapat didapat dengan susah payah dari pemerintahan yang otoriter, buku ini diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh bukan hanya satu penerbit.

Das Kapital sesungguhnya berbicara tentang ekonomi, bukan pertama-tama idologi dan politik. Menjadi bacaan wajib di berbagai perguruan tinggi di luar negeri, terutama Eropa dan Amerika.

Seperti kita  ketahui bahwa pada bulan September 1867, Das Kapital Volume 1 oleh Karl Marx (1818-1883) diterbitkan dalam bahasa Jerman. Ini adalah satu-satunya volume dari karya multi-volume tentang kapital yang diselesaikan Marx dalam versi terakhirnya sesuai keinginannya dan melihatnya diterbitkan dalam masa hidupnya.

Marx meninggalkan catatan dari dua jilid lainnya — Jilid 2 dan Jilid 3 — dan catatan ini digunakan oleh teman seumur hidup dan kolaboratornya Frederick Engels (1820-1895) untuk diterbitkan setelah kematian Marx: Jilid 2 pada tahun 1885 dan Jilid 3 sesaat sebelum kematiannya.

Pada tahun 1894. Marx merujuk pada Volume 1 dan catatan dari dua volume lainnya untuk Volume 4 yang akan datang, tetapi karya yang dia tinggalkan untuk volume itu diterbitkan sebagai tiga volumebuku tentang  Teori Nilai Lebih oleh Karl Kautsky (1854-1938) yang dikerjakan antara tahun 1905 dan 1910.

sumber ilustrasi: the tribune

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 730

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply