12 Juli kita peringati sebagai Hari Koperasi. Yang istimewa Harkopnas tahun 2023 diperkenalkan dengan nama baru yakni: Hari Koperasi Indonesia (HKI).
Mohammad Hatta wajib kita kenang di hari Koperasi Indonesia ini. Mengapa? Sebab pria berkacamaca, yang meraih gelar Drs. di negeri Belanda, yang menggagas dan memperjuangkan Koperasi masuk dalam sendi perekonomian nasional. Dasar hukumnya kuat. Yakni Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.”
Satu buku menohok yang menarasikan asal usul, gagasan, pemikiran, dan perjuangan Bung Hatta terkait Koperasi dan Demokrasi Ekonomi ditulis Prof. Dr. Sri-Edi Swasono.
Sri-Edi, saudara sekandung tokoh reformasi dan politikus Sri-Bintang Pamungkas, adalah menantu Bung Hatta. Atas kedekatan ini, ia tentu mafhum Hatta secara fisik maupun gagasan.
Dapat dikatakan, dalam konteks ini, Sri Edi adalah sumber penting tentang Hatta dan gagasannya terkait dengan Koperasi dan demokrasi ekonomi.
Apakah yang dimaksudkan dengan “demokrasi ekonomi?”
Dari namanya terang benderang bahwa yang dimaksudkan adalah pelaku dan roda ekonomi dijalankan dan bertumpu pada rakyat. Rakyatlah yang berdaulat di bidang penyelenggaraan ekonomi, bukan konglomerat. Rakyatlah yang menikmati pembangunan ekonomi, bukan segelintir konglomerat.
Fakatanya, telah 78 tahun merdeka. Namun, kondisi ekonomi kita belum dikuasai oleh rakyat, melainkan dikuasai oleh konglomerat. 20% konglomerat menguasai 80% rakyat. Akibatnya, ekonomi nasional dikendalikan oleh kepentingan konglomerat.
Terbaca bahwa ada “keengganan” dari Pusat jika daerah, akar rumput rakyat, maju. Sebab tidak akan ada dana untuk dikelola dari pusat yang, sebagaimana umum ketahui, banyak pos untuk seminar, rapat-rapat, perjalanan dinas, dan sebagainya.
Konsekuensinya, ekonomi lalu kawin-mawin dengan politik. Terjadi politik “dagang sapi”. Keputusan politik, dengan demikian, bukan berpihak pada rakyat melainkan kepada pengusaha.
Dalam kondisi seperti ini, rakyat tidak berdaya. Selain harga tinggi tidak terjangkau oleh rakyat, mereka dikendalikan, tidak menjadi pelaku. Sedemikian rupa, sehingga rakyat tidak menikmati pembangunan. Sebaliknya, mereka menjadi objek bahkan korban dari pembangunan itu sendiri.
Itulah yang menjadi pemikiran Bung Hatta, mengapa proklamator dari ranah Minang yang mewakili Indonesia Timur ini berjuang memasukkan Koperasi dan Demokrasi Ekonomi dalam pasal 33 UUD 1945.
Dasar hukum Koperasi dan Demokrasi Ekonomi sudah jelas, tidak perlu dibantah lagi. Hanya saja, diperlukan tindakan-aksi di tingkat pelaksana. Terutama para pengambil dan pemutus kebijakan di Pusat, baik DPR maupun eksekutifnya. Misalnya, bagaimana anggaran APBN langsung diterima dan dikelola rakyat sebagai ujud demokrasi ekonomi dan program kemandirian.
Banyak bukti bahwa rakyat ini telah semakin cerdas dan pandai mengelola keuangannya sendiri tentu dengan literasi finansial, pendampingan, dan pengawasan.
Selama ini, seperti ada “keengganan” dari Pusat jika daerah, akar rumput rakyat, maju. Sebab tidak akan ada dana untuk dikelola dari pusat yang, sebagaimana umum ketahui, banyak pos untuk seminar, rapat-rapat, perjalanan dinas, dan sebagainya. *)