Penulisan Kreatif atau Creative Writing (CW) sebagai nama mata kuliah, masihlah menjadi terminologi yang asing di negeri kita. Padahal, di luar negeri –sebut saja di Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Korea, sudah menjadi istilah yang biasa.
Bahkan, di Amerika dan Inggris, creative writing sudah menjadi mata kuliah dan kajian akademik sejak awal abad 19. Hal ini dapat dilihat dari kurikulum di perguruan tinggi yang terstruktur dan koheren, dengan mengembangkan kajian dan sejarah sastra sehingga bahan kajian atau substansi materi yang dahulu diajarkan di fakultas sastra, perlahan-lahan dikembangkan menjadi kurikulum ilmu komunikasi dan seni.
Membandingkan kurikulum pengajaran writing skill di luar negeri dengan kurikulum kita memang kurang fair, terutama jika lepas dari konteks dan sejarah. Tradisi pendidikan jurnalistik di negeri kita belum lama jika dibandingkan dengan Amerika, Eropa, dan Australia.
Dengan pengalaman yang lebih dari seabad, di negara yang disebutkan di atas, kurikulum pendidikan jurnalistik perguruan tinggi boleh disebut matang. Sedemikian matang sehingga penjurusan terspesialisasi sedemikian rupa, sampai-sampai ragam tulisan pun dipilah-pilah secara detail, dan gelar bagi mahasiswa yang sudah menempuh studi pendidikan tinggi terpilah secara lebih profesional dan terspesialisasi.
Sebagai contoh, mahasiswa yang sudah dan berhasil menempuh kuliah Creative Writing mendapat gelar Master of Fine Arts atau M.F.A. in Creative Writing. Universitas yang berpengalaman menyelenggarakan program ini, antara lain The New York University, Columbia University, Cornell University, University of Virginia, University of Michigan, Korean University, dan City University of Hong Kong.
Seiring dengan semakin berkembangnya industri kreatif dan industri media, di mana isi (content) menjadi bahan pokoknya maka semua ragam tulisan baik fiksi maupun nonfiksi menjadi penting dikuasai.
Dengan semakin cenderung terspesialisasikannya pekerjaan dan juga ilmu maka penguasaan salah satu atau beberapa ragam tulisan juga menjadi penting. Jarang ada orang yang sama kuat dan sama baiknya menguasai semua ragam tulisan.
Mencermati kecenderungan pendidikan jurnalistik di perguruan tinggi akhir-akhir ini, suatu saat di Indonesia pun akan mengarah ke penjurusan yang lebih tajam dan terspesialisasi.
Namun, lepas dari masih terlampau umummya pendidikan jurnalistik di negeri kita, fakultas ilmu komunikasi yang sudah menetapkan dan menjalankan kurikulum Creative Writing boleh disebut sudah maju. Dengan jumlah Satuan Kredit Semester (SKS) 3, mata kuliah Creative Writing sudah cukup untuk menyiapkan mahasiswa memasuki lapangan kerja yang demikian banyak dan beragam pada industri kreatif dan industri media.
Sudah bukan zamannya lagi, seseorang yang masuk Fakultas Ilmu Komunikasi hanya menjadi wartawan. Kini tersedia banyak lapangan kerja bagi orang yang menguasai kecerdasan olah kata (word smart).
Dengan mengacu pada kompetensi lulusan yang siap-kerja dan terampil menulis berbagai ragam tulisan, buku ajar ini disusun. Jika alokasi waktu tidak memungkinkan untuk mengajarkan semua ragam tulisan maka pengajar cukup memilih contoh ragam fiksi dan nonfksi; selanjutnya kemampuan dasar yang diberikan kepada mahasiswa itu dapat dikembangkan dan dilatih di luar kelas.
Oleh karena itu, sebaiknya ragam tulisan fiksi yang diajarkan sebagai prioritas adalah topik short story (cerita pendek) karena merupakan dasar bagi penulisan novella dan novel. Sementara ragam nonfiksi adalah artikel, sebab artikel, sesuai dengan arti harfiahnya, ialah bentuk singkat dari sebuah wacana yang panjang.
Buku ajar ini disusun guna memenuhi kebutuhan belajar-mengajar mata kuliah Creative Writing di perguruan tinggi, mengingat buku tentang topik ini dalam bahasa Indonesia masih sangat langka, untuk tidak menyebutnya “belum ada”.
Meski demikian, calon jurnalis, jurnalis, editor, dan para penulis-lepas juga perlu membaca dan mempelajarinya. Terutama karena yang dibahas adalah dasar-dasar menulis kreatif dengan menyertakan contoh konkret yang mudah diikuti dan dikembangkan lebih lanjut.
Banyak hal baru disajikan dalam buku ini, terutama konsep dan teori terkini tentang writing skill dan tempatnya dalam pendidikan jurnalistik di perguruan tinggi. Selain itu, dipaparkan pula redefinisi berbagai istilah seputar ragam tulisan dan tempatnya dalam pohon ilmu komunikasi pada umumnya dan cabang ilmu jurnalistik pada khususnya.
Seperti yang pembaca saksikan, inilah sebuah awal dari langkah kecil seorang anak manusia, namun sebuah langkah raksasa bagi sejarah Creative Writing di Indonesia. Ragam CW yang disajikan dalam buku ini sekadar contoh yang masih dapat diperluas. Pengajar dapat mencari contoh lain yang lebih baik dan sesuai dengan topik.
Contoh dalam buku ini bukan berarti contoh mati, dimaksudkan terutama sebagai bukti bahwa siapa pun dapat menulis ragam tulisan, apa saja asalkan tahu tekniknya. Pengajar dapat saja memaparkan contoh lain yang sesuai dengan pokok bahasan.
Dengan demikian, diperoleh kesan bahwa menulis bukan bakat, namun keterampilan yang dapat dipelajari disertai latihan yang tekun dan terus-menerus. Keterampilan menulis didapat tidak terlalu sulit, namun tidak juga terlampau gampang. Asal tahu dan mau, siapa pun terampil menulis!