Pada narasi terdahulu. Kita telah melihat. Bahwa Credit Union (CU) tumbuh, dan berkembang, sebagai lembaga keuangan non-bank di ranah Dayak.
Mengapa demikian?
Jawabnya tidak dapat dipadat pada satu, dua, atau tiga kalimat. Pertanyaan ini, meski sederhana, adalah jenis pertanyaan penelitian level master dan doktoral.
Namun, hipoteisnya dapat diringkas dengan hanya sekalimat bernas ini: CU hanya bisa tumbuh dan berkembang di mana anggota saling percaya dan berbela rasa.
Faktor penyebab utama, mengapa koperasi kredit gulung tikar di mana-mana adalah karena 1) tiadanya rasa saling percaya dan 2) bela rasa yang tidak ada di antara sesama anggota.
Maka sederhana, menurut Acang –salah seorang penggagas dan anggota pertama CU Lantang Tipo slogan sekaligus tagline mereka mengenalkan apa itu CU dan manfaatnya kepada orang Dayak yang sederhana pada era 1970-an. CU, katanya, adalah usaha mandiri dan milik bersama “Saya tolong kamu, kamu tolong saya!”
Sejak mengenal, dan menjadi anggota CU sekitar tahun 2007, saya telah tertarik. Sekaligus tergelitik mengamati fenomena CU. Ia, CU itu, bagai menggenapi tamsil: bibit yang baik (CU) ditabur di tanah yang subur (orang Dayak).
Seperti diketahui bahwa gagasan koperasi bersama anggota pada 1852 dan 1864 dikembangkan Hermann Schulze-Delitzsch dan Friedrich Raiffeisen menjadi gerakan Credit Union di Jerman. Latar belakangnya karena kala itu Jerman dilanda krisis ekonomi yang hebat. Pemicu krisis adalah gagal-panen para petani, akar rumput. Gagasan menolong para petani agar kembali hidup, mandiri serta “kaya” didukung oleh Walikota Flammersfield, Friedrich Wilhelm Raiffeisen.
Kondisi semacam itu, tiada beda jauh dengan di Kalimantan era 1970-an. Masrarakat Dayak akar rumput di Kalimantan, perlu ditolong. Gerakan tangan pertolongan itu, datang dari Gereja.
Adalah Albrecht, SJ yang membawa CU ke Indonesia, mula-mula di Girisonta, Jawa Tengah. Ini terjadi pada 1959. Pater Albrecht lalu mengenalkan CU ke Jakarta, Semarang, dan Kalimantan bekerja sama dengan Delegasi Sosial (Delsos) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI d/h MAWI).
Demikianlah sejarah Mesianis, gerakan pemberdayaan masyarakat lemah dan miskin itu terukir sudah. Semuanya itu dicatat seorang bernama: Masri Sareb Putra.
Mengamati apa yang telah saya lakukan, beberapa CU minta saya riset dan menulis sejarah dan profil mereka. Tahun 2016, CU Lantang Tipo. Pada 2018, CU Keling Kumang memperingati hari jadi ke-25, meminta hal sama. Saya riset dan menulis buku 25 Tahun CU Keling Kumang: Kerajaan Buah Main Keling Kumang. Tahun 2021, CU Banuri Harapan Kita.
Bagi orang luar, pertama kali mendengar, sulit menangkap apa itu Credit Union (CU). Saya mengatakan: Bank-nya orang Dayak. Mereka langsung manggut-manggut.
Namun, bukan bank biasa. Konsepnya: saya bantu kamu, kamu bantu saya. Kita, saya dan kamu, saling bantu!
Di senarai buku 100 Koperasi Besar di Indonesia yang diluncurkan hampir seban tahun oleh Kemenkop, perkembangan koperasi di Indonesia terang benderang. Banyak CU bercokol di dalamnya. Bukti pasal 33 UUD ’45 diterapkan orang Dayak.
Luar biasa!
Dua patah kata itu yang pas menggambarkan spirit dan elan vital orang Dayak. Terutama di Kalimantan Barat. Di Kalimantan lain, juga menggeliat. Namun, dibanding Kalbar, CU di provinsi lain belum sebesar di Kalbar. Di bumi khatulistiwa, papan atas CU: Lantang Tipo, Pancur Kasih, Keling Kumang, Khatulistiwa Bhakti, Semarong, Banuri Harapan Kita, dan masih banyak lagi.
Untuk itu, Anda dipersilakan membaca 100 Koperasi Besar di Indonesia. Di senarai itu, terang benderang berapa CU bercokol di dalamnya. Bukti pasal 33 UUD ’45 diterapkan orang Dayak.
Orang boleh saja menafikan sebuah nama. Namun, bagi anggota CU Lantang Tipo, nama “lantang tipo” pantang dilupakan.
Selain terkandung nilai-nilai, juga tersurat di dalamnya spirit pendiri. Setiap anggota CU Lantang Tipo wajib menghadirkan spirit tipo dalam gerak langkah dan napas hidup sehari-hari.
(bersambung)