Dari Ladang ke Eklesiologi Komunio (2)

Pentingnya partisipasi umat dalam hidup menggereja

Gereja Katolik, melalui Konsili ekumenis Vatikan II, membawa pembaharuan (aggiornamento) bagi wajah Gereja. Pembaharuan ini berangkat dari terabaikannya peran dan partisipasi umat beriman dalam karya kerasulan Gereja yang disebabkan oleh dominasi kaum tertahbis. Gereja sebagai communio, kemudian, menjadi tema sentral yang diusung oleh Konsili Vatikan II.

Dengan model Gereja sebagai communio, pertumbuhan dan perkembangan Gereja tidak lagi hanya berada pada tangan hierarki, tetapi dalam kerja sama hierarki dengan umat beriman. Gereja tidak lagi sepenuhnya berciri hierarkis-institusional, tetapi kolegialitas-partisipatif.

Penekanan partisipasi umat berangkat dari martabat kaum beriman sendiri yang melalui pembaptisan yang mereka terima “dipanggil untuk sebagai anggota yang hidup menyumbangkan segenap tenaga, yang mereka terima berkat kebaikan Sang Pencipta dan rahmat Sang Penebus demi perkembangan Gereja serta pengudusannya terus-menerus” (Lumen Gentium, 33).

Umat beriman memang sudah semestinya dilibatkan dalam karya kerasulan Gereja mengingat ciri khas mereka. Yakni, hidup di tengah masyarakat dan berhadapan dengan urusan-urusan duniawi. Di situlah letak panggilan hidup mereka.

“Sesungguhnya mereka menjalankan kerasulan awam dengan kegiatan mereka untuk mewartakan Injil dan demi penyucian sesama, pun untuk meresapi dan menyempurnakan tata dunia dengan semangat Injil”, demikian ditandaskan oleh Konsili dalam dokumen Dekrit tentang Kerasulan Awam (Apostolicam Actuositatem, 2).

Selain alasan di atas, partisipasi umat begitu ditekankan oleh Konsili dalam pertumbuhan dan perkembangan Gereja, sebab dalam pembangunan Tubuh Kristus terdapat aneka ragam anggota dan jabatan. Satulah Roh, yang membagikan aneka anugerah-Nya sekadar kekayaan-Nya dan menurut kebutuhan pelayanan, supaya bermanfaat bagi Gereja (Lih. 1 Kor 12:1-11; Lumen Gentium, 7).

Berkaitan dengan poin di atas, Avery Dulles mengatakan bahwa model eklesiologi komunio, dengan menekankan relasi personal antara umat beriman – secara individual maupun kolektif – dengan Roh Kudus, membantu membangkitkan spiritualitas dan hidup doa.

Relasi tersebut juga membuka ruang bagi munculnya inisiatif-inisiatif spontan dari umat Allah. Oleh karena inisiatif -inisiatif itu digerakkan oleh Roh Kudus, dalam pandangan Dulles tidak mesti harus selalu dikonsultasikan terlebih dahulu dengan pihak hierarki (bdk. Avery Dulles, 1974, hlm. 55).

 

Peran serta kaum perempuan

Penekanan partisipasi umat beriman juga menyentuh kepada persoalan yang tak kalah penting. Yakni, peran serta kaum perempuan. Aktivitas berladang pada umumnya dan tradisi beduruk pada khususnya bukanlah wilayah yang hanya didominasi oleh kaum laki-laki.

Keterlibatan kaum perempuan dalam dunia peladangan memang sudah menjadi tuntutan. Karena mengingat sistem peladangan dalam masyarakat Dayak itu sendiri sungguh memerlukan tenaga yang tidak sedikit. Adalah hal yang mustahil bila menyerahkan pengerjaan ladang hanya kepada kaum laki-laki saja.

Masyarakat Dayak menganut sistem bilateral. Sebuah sistem yang menempatkan kaum laki-laki dan perempuan pada posisi yang sejajar dalam tugas kemasyarakatan dan juga dalam tugas mencari nafkah untuk keluarga.

Dalam konteks pemahaman ini, keterlibatan kaum perempuan tidak pernah dilihat sebagai beban, tetapi sebagai sebuah tanggug jawab luhur yang mesti diemban dan dijalankan dengan penuh kesadaran. Pelibatan kaum perempuan tidak pernah dipandang sebagai sebuah bentuk pemaksaan. Apalagi penindasan ataupun pengeksploitasian.

Dari Kitab Kejadian kita diingatkan bahwa manusia, laki-laki dan perempuan, diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Hal ini hendak menunjukkan kesetaraan sekaligus kesatuan laki-laki dan perempuan. Keduanya adalah setara sebab yang satu tidak lebih mulia atau lebih jahat dari yang lain.

Keduanya sekaligus membentuk satu kesatuan dan hanya dalam kesatuan itu menjadi gambar dan citra Allah. Kesetaraan merujuk pada kesamaan derajat, sementara kesatuan menunjukkan kesalingbergantungan yang hakiki (T. Krispurwana Cahyadi, 2007, hlm. 152).

Mengakui bahwa perempuan itu setara dengan laki-laki memang sangat penting. Tapi hanya sampai pada pengakuan belumlah cukup. Bagi St. Paus Yohanes Paulus II, pengakuan yang terbuka akan martabat perempuan ini merupakan langkah awal untuk mendorong partisipasi penuh dari kaum perempuan dalam kehidupan Gereja, juga dalam kehidupan sosial dan publik.

Hal ini Bapa Suci tegaskan dalam Anjuran Apostolik Cristifideles Laici (Tentang Panggilan dan Tugas Kaum Awam di dalam Gereja dan Dunia, no. 49).

Pengakuan akan martabat luhur kaum perempuan dan dorongan untuk melibatkan mereka dalam tugas kerasulan Gereja tak pernah luput dari perhatian para Uskup se-Asia. Hal ini berangkat dari keprihatinan para Uskup terhadap nasib kaum perempuan yang masih sering mengalami kekerasan dan diskriminasi.

Hal senada juga diserukan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostoliknya Ecclesia in Asia (Gereja di Asia). Bapa Suci mengatakan, “Gereja di Asia hendaklah lebih nyata dan efektif menegakkan martabat dan kebebasan kaum wanita dengan mendorong peran mereka dalam perihidup Gereja, termasuk hidup intelektual mereka, dan dengan membuka bagi mereka peluang-peluang yang makin besar, agar hadir dan aktif dalam misi cintakasih dan pelayanan Gereja” (no. 34; bdk. Apostolicam Actuositatem, 9).

Dalam Sidang Paripurna IV di Tokyo, Jepang, yang mengambil tema “Panggilan dan Misi Kaum Awam dalam Gereja dan dalam Dunia”, masalah tentang kaum perempuan menjadi salah satu perhatian para uskup se-Asia. Di satu sisi, para uskup se-Asia mengakui kontribusi yang signifikan dari kaum perempuan dalam bentuk beragam pelayanan seperti mengajar, menyembuhkan, memberi katekese, pengorganisasian, dan sebagainya.

Namun, di sisi lain, para uskup juga tidak menutup mata terhadap tragedi kemanusiaan yang menimpa kaum perempuan. Martabat mereka seringkali direndahkan dan diinjak-injak dan didominasi dalam banyak cara (FABC Papers No.47).

Oleh karena itu, para uskup melanjutkan dengan menegaskan bahwa seorang perempuan adalah pribadi manusia yang integral, tidak peduli apa ras, golongan, suku atau agama yang dimilikinya. Ia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Baginya juga diberikan panggilan ilahi untuk bertanggung jawab atas dunia yang telah diciptakan (bdk. Kej. 1:27; Idem.).

Tradisi beduruk menarik untuk diangkat karena sekali lagi nilai dan semangat yang ada di dalamnya selaras dengan cita-cita Konsili Vatikan II yang menekankan pentingnya partisipasi umat dalam hidup menggereja; solidaritas terhadap mereka yang kecil, lemah dan tak berdaya sebagai jalan membangun dan mewujudkan Gereja sebagai communio umat Allah.

Dalam konteks Gereja Keuskupan Sintang, tempat di mana saya mengabdikan diri, pembahasan tentang tradisi beduruk yang begitu akrab dengan kehidupan umat, rasanya sungguh dapat menjadi sarana untuk menyadarkan umat Allah akan pentingnya communio serta pentingnya peran mereka masing-masing dalam hidup menggereja. 

Apalagi mengingat Gereja sebagai komunitas umat beriman (communio) merupakan model Gereja yang hendak dihidupi sekaligus juga dicita-citakan oleh Gereja Keuskupan Sintang. Dengan Gereja sebagai communio mau ditegaskan bahwa Gereja bukanlah sekedar perkumpulan atau kerumunan orang, melainkan sebuah communio yang hidup, yang terbentuk oleh baptisan dan iman yang sama (Arah Dasar Keuskupan Sintang 2012-2016; 2017-2021).

Agar Gereja sungguh menjadi communio yang hidup, maka sebagai jemaat beriman semua dipanggil untuk ambil bagian dalam membangun dan bekerja di ladang Tuhan. Tentu sesuai dengan kemampuan masing-masing sebagaimana telah dianugerhkan kepada mereka oleh Allah Yang Mahakasih.

 

Share your love
Avatar photo
Gregorius Nyaming
Articles: 33

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply