Thambun Anyang (1996) dari disertasinya menulis Daya Taman di Kalimantan Barat. Ia menarasikan Dayak yang bermukim di derah Kapuas Hulu bagian hulu kota Putissibau berbatasan dengan wilayah Sarawak, Malaysia dari sisi etnografis organisasi sosial dan kekerabatan dengan pendekatan antropologi hukum.
Ditengarai masyarakat Taman berjumlah kurang lebih 5.000 jiwa.
Penulis yang kemudian Profesor di Universitas Tanjungpura, Pontianak ini boleh dikatakan “meluruskan” sekaligus melangkapi narasi-narasi yang sebelumnya ditulis oleh para kontroleur, misionaris, serta antropolog luar. Buku setebal 268 halaman ini, antara lain mencatat hikmat mengenai filosofi rumah panjang yang cenderung negatif dinarasikan orang luar.
“… bagi orang Taman tidak dapat diabaikan keebradaan rumah panjang, dipandang sebagai ajaran nenek moyang agar orang-orang tidak terpencar (inju tambor-ambor jo biring ujungan), dan merupakan wadah kesatuan sosial yang penting dalam kehidupan bersama mereka yang pada umumnya berkerabat satu dengan yang lain, bahkan warganya dapat disebut sebagai ‘corporate groups’.
Sebagai pemimpin di rumah panjang tidak lebih daripada bertindak sebagai ketua. Orang-orang di rumah panjang merasa sebagai satu kesatuan sosial oleh karena mereka serumah panjang dan bertalian kerabat satu dengan yang lain, bukan oleh karena segolongan atau atas kuasa dari seseorang atau suatu golongan.
Ajaran nenek moyang yang sekaligus pula merupakan pandangan hidup orang Taman yaitu setiap orang diharapkan dan harus berusaha agar hidup menjadi orang yang berperilaku baik, pandai bicara, bijak, rajin, terampil, perantau, banyak keturunan dan banyak harta dan dengan begitu akan bernama (tio’ tadongo), memungkinkan orang Taman dengan kesempatan yang sama apa pun penggolongannya untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. “ (Anyang, 1996: 237).
Penulis dari dalam ini setidaknya membongkar stigma para penulis luar yang menggambarkan bahwa rumah orang Dayak tidak sehat, mudah terbakar, gampang kena penyakit menular, hidup komunal berpotensi untuk pelanggaran moral dan seks bebas, serta gambaran serba minor yang lain (Jenkins, 1978).
Dari internal etnis Dayak sendiri, terutama melalui tokoh politik, penggiat LSM maupun kalangan intelektual, ada upaya –meskipun belum sistematis—untuk coba mengoreksi dan menghapus stigma dan pencitraan Dayak sebagai suku bangsa primitif.
Tampilnya tokoh Dayak, dimulai dari tokoh Pergerakan Borneo dan diteruskan tokoh masa kini ke panggung regional, lokal, bahkan internasional, pencitraan Dayak perlahan-lahan mulai positif.
Mereka gencar memaklumkan bahwa etnis Dayak berubah total, tidak seperti dahulu lagi, koevolusi dan koeksistensi dengan perkembangan teknologi dan dinamika mayarakat global.
Lewat publikasi, misi kesenian dan kebudayaan, seminar, dan diskusi; para tokoh Dayak berupaya mematahkan argumen penulis dan antropolog asing yang cenderung miring.
Sekaligus mengubah stereotipe yang selama ini terlanjur tertanam bahwa etnis Dayak suku bangsa pengayau yang kurang dipahami makna terdalamnya. Yaitu mempertahankan martabat dan harga diri, keberlangsungan klan, serta menjaga marwah adat dan kehormatan.