Editor, Selain Penulis: Tambahkan Sitasi Google Scholar Anda

Penulis, solo lagi. Buku dengan tebal minimal 49 halaman, sesuai standar UNESCO. Bukan merupakan format dari Laporan Penelitian, karena pasti ditampik diberikan International Standard Book Number (ISBN)-nya oleh Perpustakaan Nasional. Jika Anda dosen, dan menerbitkan buku ber-ISBN. Lalu diunggah di jagad digital. Kemudian disitasi orang. Maka niscaya bilangan Google Scholar Anda mereoket.

Baca narasi penting ini Google Scholar|Dikutip Tidak (Lagi) Mengutiphttps://bibliopedia.id/google-scholar-dikutip-tidak-lagi-mengutip/?v=b718adec73e0

Jika S-2, niscaya Anda lekas jadi lektor kepala andaikata sitasi atas karya ilmiahnya tinggi. Jika S-3, profesor di depan mata. Itu jika Anda dosen menempuh jalur karier!

Saya dahulu dosen. Punya home base. Namun, tidak berniat diikat di satu tempat. Seperti layaknya orang kreatif, tidak bisa dikerangkeng. Manteng di kantor 9 to 5, bukan-saya. Kini saja, asal ke kantor. Melihat orang duduk manis, bingung saya: kok bisa ya mereka begitu? 

Tak ada yang salah. Itu soal pilihan! Ternyata, saya bukan manusia yang punya stabilitas loci. Namun, seorang adventure, dinamis, yang senantiasa punya curiosity. Suka tantangan. 

Baca Karya Tulis|Dikutip, Tidak (Lagi) Mengutip https://bibliopedia.id/karya-tulis-dikutip-tidak-lagi-mengutip/?v=b718adec73e0

Poin saya sebenarnya seperti judul di atas. Banyak dosen mengira menaikkan Google Scholar (hanya) dari sitasi artikel jurnal ilmiah atau buku. Demikian pula, mereka menyangka bahwa dari editor tidak bisa mendapatkan kum (angka, poin) kredit. Pengalaman saya, menjadi editor buku ber-ISBN, kum-nya: 10. Asalkan buku yang kita edit itu konek, atau relevan, topik kajiannya dengan apa yang menjadi vak atau keahian/ keterampilan kita.

Asalkan kreatif, sebenarnya, banyak cara. Silakan Googling. Saya menjadi editor buku sang profesor (Doktor dokter) ini, sangat tinggi sitasinya. Sedemikian rupa, sehingga Google Scholar  mendekati angka: 3.000.

Saya kenal seorang lektor kepala. Ia salah seorang Rektor di salah satu perguruan tinggi di Kalimantan. Ia ini yang tidaktahu di tidak-tahunya, mengira sudah paling top Google Scholar: 600. Saya lihat di Fb-nya, dia membanggakan hal itu.

Iseng, saya capture Google Scholar saya. Lalu saya tag dia. Tak lama setelah itu, saya lihat lagi statusnya. Ternyata telah di-trash olehnya jejak digital itu.

“Percuma di-delete. Sudah dicatat malaikat!” kan ada meme seperti itu. 

Saya memang kadang sering iseng!

Kembali ke laptop. Bagi dosen yang belum terbiasa menulis buku, bisa menjadi editor. Asalkan paham bahwa editor ada: 7 jenjang/ jenis. 

Manakala ahli di vak yang menjadi topik buku itu: Anda jadi editor susbstansi.

Andaikata menguasai bidang bahasa: Anda jadi editor bahasa.

Jika paham caranya. Semua akan jadi mudah.

Meminjam sistem berpikir dan bekerja kawan-rapat saya, Dr. Yansen TP, M.Si. Ada 3 tahap untuk bisa menghasilkan produk berkualitas sempurna: Tahu. Lakukan. Jadikan!

Banyak orang tahu tapi tidak bisa melakukan.

Sedikit saja orang bisa melakukan tapi tidak bisa menjadikan.

Hanya segelinir orang yang tahu, bisa melakukan, dan bisa menjadikan.

Untuk bisa tahu: banyak belajar. Belajar banyak.

Selain, tentu saja, rajin berlatih. Sebab, sebagaimana aksioma mbah, pemangku filsafat-ilmu yang kita akui semua, Aristoteles. Kita adalah apa yang kita lakukan berulang-kali melalui latihan. Oleh sebab itu, tidak ada yang luar-biasa. Yang ada : habitus. Kebiasan yang dilakukan berulang-ulang.

Itu sebabnya, di sekolah ada, dan perlu, ulangan. Di kuliah, perlu UTS dan UAS. Mengapa? Karena “Repetitio mater studiorum est” (pengulangan adalah ibunda dari pelajaran).

Nah lo!

Share your love
Avatar photo
Masri Sareb Putra
Articles: 735

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply