Telah lama terbetik niat menerbitkan buku Philosophy for Beginners (Filsafat untuk Pemula).Banyak sahabat mendesak.
Termasuk kawan-rapat, lawan latih-tanding diskusi saya yang sungguh luas wawasannya, Pepih Nugrada dan Dodi Mawardi. Selain Dr. Yansen TP, seorang cendekiawan yang piawai memancing dan menggali potensi orang.
Sementara ini, saya hanya menjadi editor buku filsafat: Budaya Ilmiah dan Filsafat Ilmu = the culture of science and the philosophy of science/ Djohansyah Marzuki (Grasindo, 2000).
Kemudian, memberi Pengantar buku Filsafat Ilmu karya Surajiyo, Filsafat ilmu & Perkembagannya di Indonesia (Bumi Aksara, 2008). Saya tidak terlalu yakin Kata Pengantar yang membuat buku ini memenangkan hibah buku teks perguruan tinggi tahun 2009. Bukan! Tapi kandungan isinyalah. Namun, bukankah yang dibaca terlebih dahulu biasanya adalah Pengantar suatu buku?
Bolehlah dibilang begini, baranghali: Pengantar ini meyakinkan Tim Penilai bahwa buku ini memang pas untuk dijadikan buku teks di pustaka perguruan tinggi yang masih langka.
Oke, rasa-rasanya memang patut saya menulis dan menerbitkan buku seperti itu. Materinya telah pun terserak, tersebar di mana-mana. Tinggal mengumpulkan. Dan menyelianya saja.
Tunggulah ada waktu sela. Niscaya saya jadikan buku itu. Tahun ini (2022) juga.
“Orang bijaksana” terlalu luhur untuk memanggil seorang manusia dan lebih cocok untuk seorang dewa. Lebih baik ia dipanggil philosophos, pencinta kebijaksanaan. Nama ini lebih berpatutan dengan makhluk insani. –dialog Plato berjudul Phaidros.
Mengapa filsafat membuat beberapa orang sakit kepala? Sementara yang lain benar-benar mendebarkan? Sedangkan yang lain lagi merasa itu subversif dan berbahaya? Mengapa banyak orang berpikir filsafat sama sekali tidak relevan? Sebenarnya apa itu filsafat?
Olah pikir secara filsafati, sebenarnya telah kita mulai. Dari bertanya, seperti itu.
Bermula dari keheranan (thaumasia). Mengapa semakin hari, minat olah pikir radikal (hingga akar-akarnya) membuncah? Dari kata “radix” (Latin) = akar. Dulu, kami para mahasiswa biasa menggunakan berpikir-radikal. Sebelum kata ini turun dan menjadi buruk ke kiri.
Sebenarnya, tiap orang berfilsafat. Tidak peduli siapa?
Filsafat secara leksikal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dapat didefinisikan sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya (KBBI daring).
Adapun filsafat yang sesungguhnya dalam konteks asal mula, kelahiran, dan esensinya sebagaimana yang dikemukakan dalam Bertens (1999;17-18) yaitu, “Nama ‘filsafat’ dan “filsuf dari kata Yunani philosohia dan philosophos.
Menurut bentuk kata, seorang philo-sophos adalah seorang ‘pencinta kebijaksanaan’. Ada tradisi kuno yang mengatakan bahwa nama ‘filsuf’ (philosophos) untuk pertama kalinya dalam sejarah digunakan oleh Phythagoras (abad ke-6 SM). … Yang pasti ialah bahwa dalam kalangan Sokrates dan Plato (abad ke-5 SM) nama ‘filsafat’ dan ‘filsuf’ sudah lazim dipakai.
Dalam dialog Plato yang berjudul Phaidros misalnya kita membaca: “Nama orang bijaksana terlalu luhur untuk memanggil seorang manusia dan lebih cocok untuk seorang dewa. Lebih baik ia dipanggil philosophos, pencinta kebijaksanaan. Nama ini lebih berpatutan dengan makhluk insani.”
Telah pasti, filsafat bagi orang kebanyakan dan bagi ilmuwan (cendekiawan); sesuatu yang berbeda.
Nanti saya ulas, pada serial tulisan yang berikutnya, di mana letak perbedaan. Juga kesamaannya.