Frans Seda, Simfoni Tanpa Henti, Jakarta, Grasindo, 588 halaman. Tahun terbit buku: 1992.
Frans Seda. Generasi pra-1990-an tentu mengenalnya. Dia Menteri dua periode. Era Bung Karno dan Pak Harto.
Seda-lah yang turut dari awal membesarkan Kompas. Sejarah mencatat hal yang demikian: Seda mengumpulkan 6.000 tanda tangan, terutama orang Flores yang dikenal Katolik taat. Lalu menggandeng Gereja (Katolik) menjadi basis pembaca utamanya.
Tapi fokus kita ke buku ini.
Antologi esai Frans Seda dari 1960-1991 ini, diberi judul Simponi Tanpa Henti. Nama yang sangat tepat. Sebab di sana sudah tercakup segenap pikiran dan tindak tanduknya untuk memajukan dan membangun ekonomi Indonesia.
Agaknya, memang tidak ada kata lain yang lebih pas untuk melukiskan perjalanan panjang Seda sebagai tokoh politik nasional, maupun kiprahnya di panggung ekonomi Indonesia, kecuali dengan kata “Simponi”.
Kalau direntang ke belakang, tampak bahwa hidup dan kehidupan pribadinya mengalir bagai orkes simponi yang harmonis, indah, menarik hati; walaupun untuk itu dituntut kecermatan dan keahlian.
Maka sangat tepat kalau kemudian kumpulan karangan Seda diberi judul Simponi Tanpa Henti. Analogi yang diambil dari dunia musik itu, sungguh tepat dialamatkan untuknya.
Perjalanan karier Seda misalnya, tidak terlepas dari metafora musik. Musik, yang menjadi hobinya, dulu lebih menekankan unsur konsonansi. Dan Seda dalam arti tertentu adalah salah satu pemusik yang berusaha menciptakan adanya disonansi ekonomi, politik Indonesia di tengah-tengah konsonansi, meski pun mungkin tidak begitu radikal dan revolusioner.
Buku ini, salah satu dari sekian koleksi buku saya di perpustakaan pribadi. Yang ditandai: Hanya boleh baca di tempat.
Titik permulaan karier Seda, barangkali dimulai ketika dia aktif dalam kepengurusan partai. Di tahun 1950-an, dia tidak saja menjadi ketua partai, melainkan juga terpilih sebagai menteri dalam beberapa kementerian. Dan bersamaan dengan masuknya Seda dalam Kabinet Dwikora, sekaligus dimulai perubahan dalam tubuh partai hirarki Gereja sendiri terhadap politik Soekarno.
Amat sedikit pejabat dan cendekia yang di usia senja tetap produktif mengembangkan karier entah dalam jalur maupun di luar jalur profesinya semula. Umumnya mereka terkena wabah post-power syndrome.
Seda adalah satu dari sedikit (mantan) pejabat yang di usia senja dan tidak lagi memangku kekuasaan, masih ingin menyumbangkan ide dan menyampaikan kritik-kritik konstruktifnya untuk membangun dan meningkatkan kualitas masyarakat.
Satu dari sekian cara yang ditempuhnya untuk tetap mengkomunikasikan ide dan menyampaikan pandangan dan kritik-kritiknya adalah menulis. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media cetak di Indonesia, seperti Harian Kompas, Suara Pembaharuan, Prisma, danPenabur.
Buku ini diterbitkan untuk memperingati ulang tahun Frans Seda ke-65 dan 70 tahun berdirinya Partai Katolik Indonesia bulan Oktober 1991.
Meskipun sebagian besar merupakan tulisan yang pernah dipublikasikan, namun bobot ilmiah buku ini tetap dipertahankan. Dan masyarakat pun maklum, bahwa ekonom yang satu ini tidak sama dengan yang lain.
Tulisan-tulisan Frans Seda selalu berisi penjelasan mengenai kecenderungan statistik yang segar, namun tidak bersifat sesaat. Tulisannya aktual, non temporal, dan menjelaskan latar belakang sehingga mudah ditangkap isi dan jalan pikirannya. Dan yang menarik, Seda selalu memberi pertanyaan yang lebih bersifat renungan pada bagian akhir setiap karangannya.
Putra Terbaik Flores dan juga Bangsa
Menurut Seda, setiap persoalan dalam kehidupan di dunia ini (apalagi persoalan ekonomi-politik) bagaikan simfoni: tidak pernah mencapai titik omega dan terus saja selalu bergulir.
Maka membaca buku ini kita akan bertemu dengan pribadi Seda. Siapakah dia? Frans Seda dilahirkan di Maumere, Flores, tanggal 4 Oktober 1926.
Sebagai putra Flores, Seda dibesarkan di lingkungan sosial – yang katakanlah demikian – masih cukup terbelakang ditinjau dari segi ekonomi. Namun latar belakang itu yang menyebabkan dia dikirim oleh misi untuk memperdalam ilmu ekonomi di Universitas Katolik Tilburg, Nederland.
Latar belakang pendidikan itu pula yang kemudian melambungkan nama Seda ke jajaran Nasional maupun Internasional. Ia dikenal sebagai pengamat dan ekonom yang andal.
Bahkan, tidak hanya itu. Seda pun sukses di bidang politik. Setelah Indonesia merdeka, beberapa jabatan tertinggi pernah dipangkunya. Antara lain sebagai Menteri Perkebunan RI (1964-1966), Menteri Pertanian (1966), Menteri Keuangan (1966-1968), Menteri Perhubungan/Pengangkutan, Komunikasi, Pariwisata (1968-1973).
Seda juga pernah menjabat sebagai Ketua Umum Partai Katolik (1961-1968), anggota Dewan Penasehat Partai Demokrasi Indonesia (1977-1992), dan pada tahun 1960-1964 sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong dan MPRS mewakili golongan Katolik.
Sebagai diplomat, ia pernah menjadi duta besar Indonesia untuk Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) di Brussels, Kerajaan Belgia, dan Luxemburg, serta Dewan Pertimbangan Agung RI (1976-1978).
Seda pula yang diminta dan dipercayakan Presiden menegoisasi dana bantuan dari luar negeri, terutama dari Eropa, justru ketika Indonesia mengalami masa kritis di bidang ekonomi.
Seda juga dikenal sebagai pencetus ide dibentuknya IGGI sehubungan dengan IGGI, dikemukakannya, bahwa utang lama dan bantuan keuangan yang baru harus bisa berjalan seiring.
Dialah yang punya gagasan supaya penjadwalan kembali utang luar negeri lebih diperhatikan. Itu sebabnya, tanpa mengabaikan dimensi lain, barangkali yang jauh lebih menarik adalah melihat Seda dari sudut pembangunan ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? Karena sesungguhnya di sinilah dia secara maksimal mengaktualisasikan pribadinya.
Sebagai putra Flores, Seda banyak mengalami pelbagai macam penderitaan karena proses kemiskinandan pemiskinan. Sebagai putra Gereja, ia merasa terpanggil untuk membela dan memperjuangkan kaum lemah. Dan sebagai warga negara Indonesia, ia prihatin akan nasib bangsanya yang masih terbelakang.
Semua itu memotivasi Seda untuk terus berjuang dan membela bangsanya. Perjuangannya timbul dari dalam disertai dengan inner will yang tidak semua orang memilikinya. Dan perjuangan yang dilakukannya adalah perjuangan tanpa pamrih.
***
Saya merasa amat sangat beruntung. Kenal dan pernah berjumpa dengan sosok Seda. Yang pikiran dan perbuatannya besar, tapi tetap ugahari, dan seturut ilmu padi.
Tim Editor PT Grasindo yang mengetik kembali naskah-naskah Seda ini. Saya masih ingat. Ketika kantor kami di lantai dasar sekali, semacam base camp, dengan lantainya masih dengan tegel warna abu-abu. Kemudian launhing bukunya di Bentara Budaya.
Ada pesta dan makan bersama mengiringi terbit buku. Saya sungguh menikmati. Dan tak terlalu peduli. Apakah Seda pribadi, atau Pak Jakob yang membiayai? Sama saja. Itu pertama-tama adalah pesta intelektual. Sebab kata Ignas Kleden, salah dua putra terbaik Flores pula, “Untuk membangun moral, diperlukan modal.”
Semua kenangan itu, kembali bersliweran. Tapi sosok Seda yang cerdas dan bernas bagai bulir padi, tak pernah lekang dari ingatan.
Ketika tadi ambil gambar buku ini untuk ilustrasi narasi. Dalam hati, saya berkata. “Seda, oh… Seda. Putra terbaik Pulau Bunga yang belum ada duanya.”
Nulli secundus!