Saya seorang ibu rumah tangga yang harus berhenti dari pekerjaan, demi mengurus buah hati. Menjalani peran sebagai seorang ibu itu tidak mudah. Banyak tangung jawab yang harus diemban. Terutama dalam pola mengasuh anak.
“Mohon maaf ya bu guru, sebenarnya saya minta bu guru datang ke rumah untuk mengajari anak saya belajar berbicara. Sebab, anak saya sudah usia 4 tahun, tetapi masih sulit berbicara.”
Kali ini saya mau berbagi cerita tentang pengaruh smartphone atau gadget. Pada masa tidak dapat dipungkiri gadget memberi pengaruh pada psikologis anak.
Teringat pada peristiwa belasan tahun yang lalu. Ketika saya diminta oleh orang tua murid baru, untuk mengajar anaknya les private. Saya pun datang ke rumahnya dengan membawa berbagai perlengkapan alat tulis dan buku. Namun, ketika saya hendak mulai mengajar, orang tua murid berkata:
“Mohon maaf ya bu guru, sebenarnya saya minta bu guru datang ke rumah untuk mengajari anak saya belajar berbicara. Sebab, anak saya sudah usia 4 tahun, tetapi masih sulit berbicara.”
Saya diam sejenak. Sempat kaget dan bingung. Terlebih saya bukan jurusan komunikasi dan belum punya anak. Metode apa yang harus saya ajarkan jika muridnya saja belum bisa bicara. Apa yang terjadi saat itu sungguh di luar dugaan dan kesepakatan. Baru pertama kali saya menghadapi kasus seperti itu. Akhirnya saya pun bertanya:
“Maaf ibu, apakah anak ibu sudah pernah diperiksa ke dokter atau diterapi?” tanyaku.
“Oh, ia tentu saja bu. Kami sudah beberapa kali terapi dan bawa ke dokter untuk diperiksa. Tapi kesimpulan dari dokter, anak kami normal dan tidak ada masalah apa-apa bu,” jawab orang tua murid itu.
Singkat cerita, beberapa hari saya datang. Mengajak anak tersebut untuk bermain berinteraksi dengannya. Sembari mengobservasi. Apa gerangan yang menjadi faktor kendala. Hingga anak usia 4 tahun masih sulit untuk berbicara. Padahal, di rumah ada kakek, nenek dan suster. Sedangkan kedua orang tua sibuk bekerja. Berangkat pagi dan pulang malam.
Setelah saya mengamati, ternyata sehari-harinya anak tersebut hanya bergaul dengan iPad dan smartphone. Hingga tingkah-lakunya pun meniru game online yang ada di iPad nya.
Ternyata, penggunaan gadget yang terlalu sering dan tanpa pengawasan dapat berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak. Terutama dalam kehidupan sosial. Kerap kali penggunaan gadget yang berlebihan menjadikan anak pemalas. Malas mikir, malas belajar, malas makan, malas tidur hingga malas ngomong.
Beberapa kasus lain juga sering ditemui. Misalnya, keterlambatan bicara pada anak usia balita. Hingga sulit konsentrasi dalam belajar.
Jika anak menangis hingga marah-marah ketika gadget-nya diambil, sudah jadi indikator anak mengalami kecanduan gadget. Kondisi ini tentu tidak boleh dianggap sepele.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran media sosial dan gadget membuat segalanya jadi mudah. Namun hal ini kemudian mempengaruhi sikap seseorang. Termasuk ketika mengerjakan sesuatu. Maunya serba cepat dan instan. Tidak sabar dan tidak mau mengikuti proses yang seharusnya ia jalani.
Di masa pandemi seperti sekarang. Suka atau tidak, sistem belajar mengajar harus serba online. Hal ini menjadi salah satu penyebab anak ketergantungan dengan handphone. Namun ada juga sebagian orang tua yang sibuk bekerja. Sehingga terpaksa memberikan handphone sebagai mainan anaknya.
Jika anak menangis hingga marah-marah ketika gadget-nya diambil, sudah jadi indikator anak mengalami kecanduan gadget. Kondisi ini tentu tidak boleh dianggap sepele.
Ketika anak saya masih bayi, saya senang memutarkan musik dan video untuknya. Bahagia rasanya ketika melihat sang anak riang gembira. Tertawa mendengar dan melihat video yang ada di handphone (HP). Namun, ketika anak berusia dua tahun, handphone yang awalnya membawa rasa sukacita justru menjadi malapetaka.
Kerap kali HP menjadi sumber perdebatan dan keributan diantara kami.
Bagaimana tidak. Ketika mau makan, berpergian, bermain dan bahkan ketika tidur pun HP harus senantiasa menyala. Jika tidak, maka anak menangis, teriak dan melemparkan benda apa saja. Seiring pertumbuhannya, sang anak sudah berani membantah. Mengancam, hingga mogok makan. Terkadang, ia membanding-bandingkan dirinya dengan anak lainnya.
“Teman-temanku aja main hp terus dari pagi sampai malam. Tapi mereka tidak pernah dilarang sama papa mamanya”. Mengapa aku tidak boleh?” kata anak saya dengan nada marah, geram dan kesal.
Lanjut… dibanting juga remote TV, mainannya, hingga pintu rumah harus menjadi sasaran pelampiasan emosinya. Saya hanya diam. Tak sepatah kata pun aku menjawab. Apalagi mencaci dan memarahinya. Saya biarkan saja ia menumpahkan segala kekesalan dan emosinya. Saya fokus mengetik dan mencatat kejadian itu. Sebagai pembelajaran yang berharga dan juga pekerjaan rumah buat saya.
Dua jam berlalu. Anak datang menghampiri dan bertanya. “Mama kenapa diam saja? ” Tanyanya dengan nada kesal.
“Mama capek” jawab ku singkat.
“Kenapa mama capek?” tanyanya balik.
“Ia…..mama capek hadapin kamu. Sebab apa yang mama katakan tidak kamu ikuti. Makanya lebih baik mama diam saja,” Jawab ku.
Tak ku sangka, beberapa saat kemudian anakku panik dan berkata:
“Mama jangan diam saja. Ayo….sekarang mama harus ngomong…!”
Yah… terkadang, diam itu lebih baik. Daripada harus bicara panjang lebar. Tetapi tidak dimengerti. Apalagi peduli. Hari itu, saya harus duduk bersama dan berdiskusi yang serius sama anak.
“Apakah mama boleh bertanya sesuatu” tanyaku.
“Boleh aja ma” jawab nya tersenyum. Ya begitulah anak-anak. Kadang cepat marah, tapi cepat juga amarahnya reda.
Aku mulai bertanya: “kamu tahu gak… kenapa mama melarang kamu main hp…?”
“Ya, biar paket YouTube di hp mama gak cepat habis. Biar baterai HP-nya gak cepat habis,” Jawabnya.
“Betul juga. Tapi masih ada lagi. Karena handphone itu bukan mainan anak dan anak-anak mainnya bukan handphone!” lanjutku.
Saya menjelaskan pada anak. Bahwa handphone telah membuatnya jadi pemalas, pemarah, susah diatur, dan tidak disiplin. Main handphone juga merusak kesehatan mata.
“Tapi ma, teman-temanku aja mainnya handphone dan game online!” Katanya.
“Tidak usah ngurusin temanmu. Tidak semua orang yang harus kamu ikuti. Tetapi, pilihlah yang benar dan yang bermanfaat untuk masa depanmu,” Jawabku.
Sepertinya anakku berpikir kritis dan logis. Jika saya salah-salah kata atau salah memberi jawaban bisa jadi bumerang.
Hari demi hari ia masih merayu, merengek dan menangis meminta handphone. Namun saya tidak akan terpengaruh lagi dengan akting dan bujuk-rayunya. Suatu hari ia marah-marah, berteriak, dan menangis meminta handphone.
Kepada anak saya, dengan tegas saya berkata:
“Silahkan saja kamu marah, teriak dan nangislah sepuasnya. Tapi ingat, jangan pernah berharap mama akan memberimu handphone sebagai mainan!”.
Pada akhirnya, anakku lelah dan menyerah. Sebab semua usahanya sia-sia. Harus ku akui. Bukan perkara yang mudah bagi anakku untuk melupakan handphone. Tapi aku harus berusaha. Harus sabar membimbing dan mendampinginya. Sebagai ibunya, saya punya tanggung jawab membantunya. Terutama mengatasi kesulitannya yang ia hadapi. Agar tidak terus-menerus ketergantungan dengan handphone.
Salah satu cara yang saya lakukan pada anak adalah mengajaknya untuk berbaur dengan anak lainnya. Sebab, tidak semua anak mudah bergaul. Terutama anak saya. Saya harus mendampingi dan memotivasinya. Ketika anak sudah akrab dan asyik bermain dengan teman-temannya. Biasanya anak akan lupa untuk main handphone.
Mungkin saya adalah seorang ibu yang paling ribet atau rempong. Karena saya harus membawa beberapa mainan kesukaan anak ketika pergi keluar rumah. Semua ini saya lakukan untuk kebaikan anak. Saya membantu anak agar tidak ketergantungan dengan main handphone. Terkadang saya membawa mainannya secara diam-diam. Ketika sudah sampai di tempat tujuan, saya mengeluarkan mainannya.
Sang anak pun bersorak kegirangan melihat mainannya dibawa.
“Wah…. mama kok tahu apa yang aku mau… terima kasih ma, sayang mama!” Katanya dengan penuh kegembiraan.
Salah satu cara yang saya lakukan pada anak adalah mengajaknya untuk berbaur dengan anak lainnya. Sebab, tidak semua anak mudah bergaul. Terutama anak saya. Saya harus mendampingi dan memotivasinya. Ketika anak sudah akrab dan asyik bermain dengan teman-temannya. Biasanya anak akan lupa untuk main handphone.
Sederhana, namun itu sungguh istimewa bagi anak. Tak perlu yang mahal. Tunjukan saja perhatian yang tulus, dan meluangkan waktu bermain dengan anak.
Kini usia anakku sudah hampir 5 tahun. Tak terasa, sudah 2 tahun ia tidak pernah lagi meminta handphone sebagai mainan. Meski demikian, saya masih memberi kesempatan kepada anak menggunakan handphone sebagai media untuk belajar. Misalnya belajar bahasa asing, matematika dan edukasi pembelajaran lainnya. Tentunya dalam pengawasan dan batas waktu yang telah saya tentukan.
Di masa pandemi seperti ini sekolah tutup. Tapi saya dan suami tak perlu khawatir anak kami tidak bisa membaca, menulis dan berhitung. Saya bersyukur. Sebab, di usianya yang ketiga tahun, anak kami sudah bisa membaca kalimat sederhana, berhitung, menulis dan belajar bahasa asing. Mungkin inilah yang dikatakan “usaha dan ketekunan tidak pernah mengkhianati hasil”.
Kiranya menyemangati dan menginspirasi para orang tua. Sekedar sharing pengalaman dalam menjalankan peran sebagai orang tua.