Gubug Istimewa

“Silahkan masuk.”

“Ya beginilah gubuk kami, maklum di kampung.” Sambut ibuku kepada ke-3 tamu istimewa ini.

Setelah memberi mereka kesempatan duduk, tanpa membuang waktu, aku langsung membicarakan soal agenda selama di kampungku. Maklum mereka hanya punya waktu yang terbatas. Besok mereka harus melanjutkan perjalanan ke Wonosobo. Tempat-tempat wisata terdekat atau setidaknya ikon kota kami dapat dikunjungi.

Tawaran pertama saya, “gimana kalau sekarang kita menikmati pemandagan sawah kami? Pas! Cuacanya bagus. Paling tidak untuk melepas penat, dengan pemandangan sejuk ala pedesaan.

“Boleh!” jawab Mam.

“Ayo!” seru penuh antusias kedua anak muda itu.

Dengan penuh semangat, canda tawa, sesekali aku memberi penjelasan soal tanaman di sawah kami dan tentang keadaan kampung.  Nampak dari wajah mereka guratan sukacita dan kepuasan, rasanya ingin berlama-lama. Namun, apa daya mentari senja sudah memberi tanda, kami harus kembali.

Sesampai kami di rumah. Sambil melepas lelah. Kami duduk di kursi teras. Tiga kursi antik jika disebut pada masa ini. Kursi dari kayu Jati. Warnanya menggambarkan kekokohan dan usianya. Ya, sudah tiga generasi menghiasi rumah kami. Serasi dengan meja budar klasik dengan ukiran pada tiang peyangga dan ditopang dengan tiga kaki.

Tak habis-habis mereka membahas pengalaman ini. Ya! bisa dipahami dua anak muda itu berasal dari luar pulau Jawa.

Eh..boleh saya bertanya? Kataku memotong keseruan mereka.

Aku ingin tahu apa respon mereka setelah melihat pemandangan di sawah kami dan suasana kampung.

“Bagaimana kesan-kesannya setelah melihat pemandangan di sawah kami?” Tanyaku.

Sesaat kemudian….

“Kalau aku mas” lelaki muda itu.

“Aku senang sekali, bisa langsung menikmati sawah di pulau Jawa. Tak pernah terbayang sedikit pun dalam benakku, aku akan sampai ditempat ini. Sungguh tak mampu aku berkata-kata.”

“Nah, itu kamu berkata-kata” jawabku, disambut dengan gelak tawa.

Jawaban tak jauh berbeda dari si perempuan muda.

“Aku senang banget mas, apalagi tadi aku keliling kampung bersih dan tertata rapi. Sungguh suasana yang mendamaikan hati.”

Tak dapat kupungkiri aku juga sangat senang, memang kampung halamanku rasanya layak dikunjungi dengan segala keunikan yang sangat menarik.

Tiba giliran Mam. Sejenak beliau menghela nafasnya.

“Aku sih sudah biasa dengan pemandangan seperti ini. Maklum saya ini kan juga orang daerah Jawa, hee…”

Tapi justru kami serius ingin mendengar. Kayaknya lain nih!

“Ada yang membuatku terkesan.” Lanjut mam.

 “Kitab Suci!.”

“Kitab Suci itu ada di Gubuk[1].”

“Modelnya udah lusuh. Kertasnya menjorok ke depan, tidak lagi rata. Itu luar biasa.” Keadaan itu menjelaskan bahwa Alkitab itu sering di baca.” Jelasnya.

“Siapa gerangan yang menaruh dan membawanya?”

“Adik saya mam” jawabku.

Perhatian kemudian tertuju ke arahku. Dengan sedikit serius aku menjelaskan.

“Dia memahami bahwa seorang petani itu harus dekat sang pencipta, menjadi petani memang pekerjaan yang tidak mudah. Kenapa? Ada banyak hal bisa tak terduga sehingga panen bisa gagal. Cuaca, hama, dan lain sebagainya. Belum lagi, kita tahu bahwa yang memberi pertumbuhan sampai kita bisa menikmati buahnya hanyalah Tuhan. Wajarkan! Tegasku. 

Bukankah dalam Kitab Suci kita, dituliskan mengenai pengajaran dengan ilustrasi dari bidang pertanian. Seperti pohon, buah, ranting, menabur, menanam, dan masih banyak lagi.

Semua mengangguk, tanda setuju dengan itu.

Bukankah ini cara kita menggali makna dari kitab suci? Contoh diatas, tak ubahnya, tindakan yang pernah kita lakukan. Kita menempatkan kesusakaan kita yang lain untuk menggali maknanya. Saat membaca kubu-buku yang memberi makna dalam pikiran. Tidak puas dengan itu, kita menonton film-film yang memperjelas makna karena tampak gambar dengan tayangan yang nyata.

Itulah tindakan di atas, membaca Kitab Suci dan memperjelas makna dengan tindakan nyata yang menyangkut bidang pekerjaan kita. Sungguh Kitab Suci membuka maknanya ketika kita tempatkan pada posisi yang tepat dalam setiap langkah hidup kita.

Tergantung kita menempatkan Kitab Suci itu pada posisi dimana dan sebagai apa?

Kitab suci merupakan pedoman yang harus berada bersama-sama dengan “produknya”-nya dan produk itu adalah kita (manusia). Sejak mulanya memang sudah direncanakan bahwa Kitab Suci itu harus berada bersama-sama dengan saudara, tidak boleh dipisah-pisahkan.

Baik Kitab Suci maupun diri saudara, kedua-duanya diciptakan oleh nafas Tuhan yang sama. Kitab Suci itu diberikan untuk saudara dan harus berada bersama-sama saudara. Hal ini sudah jelas merupakan rencana Tuhan.

Ketika Tuhan menempatkan manusia, ciptaan-Nya yang paling utama, di dunia ini, Tuhan tidak membiarkan manusia begitu saja tanpa suatu petunjuk dari Penciptanya. Di Taman Eden pentunjuk itu diberikan secara lisan, dengan kata-kata yang dapat didengar. Kemudian selama berabad-abad, petunjuk itu diberikan melalui persekutuan dari roh ke roh.

Dengan cara yang lain, Tuhan memberi petunjuk kepada manusia tentang bagaimana harus hidup atau bagaimana harus mati! Ialah melalui bahasa manusia yang tertulis. Dan demikianlah dalam jangka waktu lebih daripada seribu lima ratus tahun Tuhan menyebabkan sebuah buku berbentuk, buku yang ditulis oleh manusia dan diilhamkan oleh Roh Kudus — dan maksudya ialah agar Buku ini berada “bersama-sama dengan”manusia.[2] Kita mengenalnya dengan istilah Kitab Suci.

Begitulah Kitab Suci musti kita ditempatkan “bersama-sama” dalam perjalanan kehidupan ini. Kitab Suci penuntun hidup yang sejati. Terlebih! Di tengah-tengah segala ketidakpastian kondisi dunia saat ini. Inilah cara terbaik. Kita perlu mencari petunjuk-Nya dalam Kitab Suci.

Ingatlah Kitab Suci di Gubuk!

[1] Gubuk : rumah kecil (biasanya yang kurang baik dan bersifat sementara) 

2] (Memahami Alkitab. Irving L. Jensen. Kalam Hidup. Bandung. Copyright 1969, The Moody Bible Institute of Chicago) buku asli Enjoy Your Bible. Seri buku Kompas. Diterjemahkan oleh: Ny. Pauline Tiendas-Iskandar

Share your love
Avatar photo
Matius Mardani
Articles: 16

Newsletter Updates

Enter your email address below and subscribe to our newsletter

Leave a Reply