Malam itu saya meninggalkan pondok, bukan karena belum mengantuk, tetapi karena di batin terdengar lagi suara Pak Yansen Tipa Padan: “Jangan sampai menyesal!”
Nasehat semacam itu sering sekali saya dengar dari siapa pun, tapi karena Pak YTP yang katakan, rasanya itu amat istimewa, sebagai perintah untuk mengingat waktu.
Waktu bukan tentang uang, tetapi tentang jangan sia-siakan kesempatan untuk Tahu. Melangkah mencari Tahu adalah perintah Pak YTP sebelum Lakukan. Kalau saya bisa Jadikan apa yang saya inginkan, misalnya menulis hasil riset, maka tibalah saya di tahap terakhir ilmu beliau: Jadikan!
Waktu itu, saya belum membaca satu pun buku Pak YTP, tapi konsep Tahu-Lakukan-Jadikan sudah sering beliau selipkan dalam beberapa diskusi kami di Batu Ruyud Writing Camp I 2022.
Apa yang saya cari tahu?
Semua serba entah saja pada mulanya. Tapi dengan meninggalkan pondok dan bergabung bersama bapak-bapak di luar pondok lainnya, saya bisa dengarkan apa saja yang mereka percakapkan. Cerita-cerita baru tentu semua itu buat saya. Baik itu legenda, dunia hutan, binatang, perjuangan hidup, apa saja seputar dunia Dayak.
Di antara bapak-bapak itu ada bapak paling galak, tegas bicaranya, berani meluruskan pendapat orang, berani menyanggah, juga siap disalahkan oleh pihak lainnya. Namanya Gat Khaleb.
Gara-gara namanya juga saya mencari tahu arti “Gat Khaleb” itu, karena bagi saya itu nama yang tidak umum untuk orang-orang Jawa dan beberapa wilayah lain. Mungkin di Kalimantan ada beberapa, pikir saya, paling tidak ayahnya sendiri dan saudara-saudara sekandungnya sendiri bernama akhir “Khaleb”.
Pulang dari BWRC-lah saya baru tuliskan arti nama tersebut di Facebook. Hanya tulisan singkat. Itu pun ada sebabnya, yakni karena salah satu dari kami —entah Pepih Nugraha entah Masri Sareb Putra— memposting kover buku Gat Khaleb Catatan Seorang Wakil Rakyat.
Tak lama berselang, saya mendapatkan kiriman fail buku tersebut dari Gat langsung dan meminta tolong untuk mengeditnya.
Membaca sekira 450 halaman B5 saat itu, saya merasa mendapatkan sejumlah Tahu lagi dari catatan-catatan Gat tentang kehidupan kemasyarakatan dan kewarganegaraan di tanah Dayak khususnya dan Indonesia serta dunia internasional dalam subjektivitas Gat.
Subjektivitas adalah pengalaman subjek,
dan pengalaman adalah guru terbaik setiap subjek.
Lama sekali saya mengerjakan buku tersebut, setiap tahapnya serasa saya sedang me-Lakukan sesuatu bersama Gat, serasa ikut bertindak kritis terhadap berbagai keadaan yang ia alami sebagai wakil rakyat. Saya jadi pembaca-terlibat pertama buku tersebut. Itulah kelebihan seorang editor.
Pengalaman panjang saya mengedit berbagai buku atau artikel, tidak selalu melibatkan unsur emosi seperti mengedit buku Gat tersebut. Saya jadi ikut kesal dengan berbagai lembaga dan kepemimpinan di tanah Kalimantan khususnya yang agak lemah nalar dan terlalu takut mengubah keadaan dari konvensi-konvensi adat dan birokrasi yang kurang menguntungkan. Saya kira sangat mungkin kasus-kasus yang Gat komentari itu sebenarnya ada di berbagai tempat di Indonesia, dan mungkin saja lebih parah. Namun sedikit sekali wakil rakyat yang menulis buku! Gat menginginginkan semua menjadi lebih baik dalam nalar sehingga kehidupan berjalan dengan logika yang sehat.
Buku, dengan kata lain, tidak sekadar tempat Tahu, tapi juga tempat penulis dan pembaca ikut bertindak: Lakukan.
Akhirnya buku tersebut terbit juga, ditangani cetaknya dengan baik oleh Masri Sareb Putra, penulis dan pelaku perbukuan Indonesia yang amat berpengalaman, dengan penerbit Sinar Bagawan Khatulistiwa. Buku tersebut juga mendapatkan respons kreatif dari seorang seniman mural Bandung Arman Jamparing (nama dagangnya “ActMove”) berupa sejumlah drawing bertemakan lingkungan, manusia, kerusakan pikir, climate change, dll., dan ditataletak oleh Desma Yuliandi Saputra, dulu mahasiswa saya di Untirta, dan kini Ketua Jurusan di UNIBA, serta editor tersertifikasi BNSP. Buku yang baik memang akan bertemu tangan-tangan terbaik.
Pada dasarnya buku memang jembatan untuk melakukan berbagai perubahan di dunia ini, baik itu dunia material maupun dunia nonmaterial. Oleh karena itu, ilmu YTP yang paling sulit adalah men-Jadikan apa yang sudah kita pikirkan dalam beragam penalaran seperti penulisan buku. Buku itu sendiri sudah merupakan “Jadikan” —penjadian pikiran. Tapi ada yang tetap harus kita jadikan, yakni menjadikan bangsa dan negara ini membaca dan mengubah keadaan dari kurang baik menjadi baik (Lakukan itu), dan sudah baik menjadi berprestasi (Jadikan itu).
Sepanjang saya mengedit buku Gat Khaleb, kami berkomunikasi sebagai adik dan kakak saja, saya memanggilnya “Kak”, dan beliau memanggil saya “Ade”. Buku bisa jadi jembatan pertalian saudara juga.
Bapak Yansen Tipa Padan, Kak Gat, dan semua yang saya kenang dari orang-orang Dayak Lundayeh khususnya, dan teman-teman di BWRC, juga murid-murid kami yang masih sekolah menengah saat itu, warga Krayan Tengah yang baik-baik dalam memuliakan tamun mereka, adalah bagian dari cinta saya terhadap “Tahu-Lakukan dan Jadikan”, sebuah epistemologi-etis untuk tetap bergerak menjadi Indonesia. Dan itu pula menurut saya yang sudah seharusnya menjadi landasan etis gerakan literasi di Indonesia. Bidang-bidang literasi yang diregulasi pemerintah saya kira belum ada landasan etisnya, terlalu memilah-milah.
Saya sendiri selalu terpikir untuk menyematkan “Bapak Literasi” kepada Dr. Yansen Tipa Padan, M.Si., atas buku-buku dan segala pemikirannya yang belum dituliskan, dan gerakan-gerakannya di keliterasian Indonesia. Bermula dari Kaltara, ia menginspirasi kami semua yang datang ke BWRC dari berbagai penjuru Indonesia. Bersama beliau pula kami menerbitkan buku bersama Menjelajahi Misteri Perbatasan (2024) dan diluncurkan 01 Maret 2024 di Sekolah Alam Cikeas Bogor (sekolah ini dipimpin penulis ternama Dodi Mawardi). Tak henti-hentinya pula beliau merangsang kami yang orang-orang Sunda untuk mengembangkan keliterasian Sunda.
Semoga Anda dapat bertemu juga dengan beliau –langsung atau melalui buku-bukunya– dan mengambil banyak sekali inspirasi berharga untuk kebangsaan dan keindonesiaan. Buku Gat Khaleb yang 450-an halaman itu pun merupakan salah satu produk dari persentuhan penulisnya dengan Bapak Literasi. Gat Khaleb menaruh komentar YTP di paling atas buku tersebut sebagai rasa hormatnya terhadap Sang Inspirator Literasi. []
Arip Senjaya, alumni BWRC, dosen filsafat Untirta, kepala Lab. Pemikiran Ki Hadjar Dewantara FKIP Untirta, anggota Komite Buku Nonteks Pusbuk Kemdikbud.