Tegenungan, Gianyar, Bali.
Beruntung saya boleh berada di sini. Pada Senin siang, 24 Oktober 2022. Menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Menginjak dengan tapak kaki sendiri. Meraba dengan tapak tangan sendiri. Serta menyaksikan dengan mata kepala sendiri: Mahakarya –yang pertama– “Kaishi Glass Bridge Bali”.
Pertama di Indonesia. Sebuah jembatan kaca waterfall. Berada di desa asri, khas Bali. Sawah yang terhampar sejauh mata memandang, dikuningkan padi. Sementara air mengalir lewat paritnya, yang bersih.
Pandan dengan daun lebar sengaja dipiara di sekitar. Luas. Untuk konsumsi, jadi air minum sehat rupanya!
“Masih dalam proses penyelesaian. Maaf, belum rampung. Tamu belum dipersilakan masuk, tapi bisa menyaksikan dari batas ini,” kata Nyoman, project manager di situ.
Tak mengapa. Dengan penjelasan yang santun, lagi simpatik itu, alasan Nyoman bisa diterima.
Bali. Selamat! Tanah dan pendudukmu sungguh luar biasa. Siap menerima segala yang baik. Dan bisa menyaring apa yang kurang pas untukmu!
Maka saya memuaskan seluruh indera menyaksikan mahakarya itu. Tak pelak. Ia bisa disetarakan dengan Candi Borobudur pada masanya!
Saya bayangkan. Bali memang serba-beruntung. Hal itu karena pulau dewata dewasa dibentuk budaya antar-bangsa. Namun, lihatlah! Bali tetap Bali. Saya sungguh bangga, sekaligus “iri”. Bali bisa tetap punya jati-diri, meski berjumpa dengan kebudayaan dunia!
Jika di tempat lain, Jakarta misalnya atau kota lain yang kurang toleran. Pasti keberadaan bangunan ini didemo. Mengapa?
Sebab tegas disebutkan modal pembangunananya dari asing. Meniru jembatan di China, rupanya.
Bali. Selamat! Tanah dan pendudukmu sungguh luar biasa. Siap menerima segala yang baik. Dan bisa menyaring apa yang kurang pas untukmu!
Kami perlu lebih banyak belajar!