Agama-agama besar yang resmi diakui oleh negara Indonesia sebagai agama sah memiliki ciri penting yakni adanya kitab suci. Kaharingan mempunyai Kitab Suci sendiri. Hal yang tidak setiap orang mafhum adanya.
Kaharingan berasal dari kata haring yang mengandung arti ‘hidup’. Haring diberi awalan ‘ka’ dan akhiran ‘an’ yang membentuk Kaharingan, bermakna kehidupan abadi atau langgeng. Ini adalah agama lokal, tumbuh sejak lama di wilayah ini tanpa pengaruh dari luar, secara ilmiah disebut “autakton,” berkebalikan dengan alokton.
Agama asli suku Dayak, disebut “Kaharingan”. Penyatuan lembaga agama Kaharingan dengan lembaga agama Hindu memiliki interpretasi yang beragam. Pemahaman ini melibatkan penganut Kaharingan, masyarakat Dayak, dan peneliti asing. Meski penganut Kaharingan gigih dalam menjaga keyakinan mereka, agama ini tidak diakui oleh negara yang dahulu mengakui Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha pada tahun 1980-an. Oleh karena itu, tokoh-tokoh Kaharingan bersatu untuk berinteraksi dengan agama Hindu demi kelangsungan eksistensi.
Kebijakan ini menuai beragam tanggapan, memunculkan pertanyaan seperti alasan di balik integrasi Kaharingan ke agama Hindu. Bagaimana proses integrasinya? Apakah dampaknya positif atau sebaliknya? Bagaimana perasaan penganut Kaharingan setelah berinteraksi dengan agama Hindu? Apa nasib Kaharingan setelah proses integrasi ini?
Kaharingan suku Dayak di Kalimantan Tengah memiliki pula buku suci sebagai pegangan di dalam melakukan ajaran agama Hindu. Buku suci penuntunnya, mereka sebut Kitab Suci Panaturan. Di dalam kitab suci ini disebutkan bahwa ajaran ketuhanan mereka menganut paham theisme adwaita. Artinya percaya kepada Tuhan Yang Maha Tunggal, tetapi menampakkan Diri dalam berbagai wujud. Tafsir ini sesuai dengan bunyi Pasal 1 Kitab Suci Panaturan tentang Tamparan taluh handini (Awal segala kejadian). Pa Se 3 dan 6 tertulis sebagai berikut:
Aku tuh Ran ying Hatalla je paling kuasa, tamparan taluh handiai tuntang kahapus.
Kalawa jetuh iye te kalawa pambelum ije inanggareku kangguranan ara hintan kaharingan (Seloka/Ayat 3).
Aku inilah Ranying Hatalla Yang Maha Kuasa, Awal dan Akhir segala kejadian dan cahaya kemuliaanKu yang terang bersih dan suci adalah Cahaya yang kekal abadi dan Aku Sebut Ia Hintan Kaharingan.
Ranying Hatalla nuntun pahaliai tingang nureng Nyababeneng tanduk. Handung kalawa jet te puna pahalingei biti, ha yak iye mananggare gangguranan arae bagare “Jata Balawang Bulau Kanaruhan Bapager Hintan Mijen Papan Malambang Bulau Marung Laut Bapantan Hintan” (Seloka/Ayat 6).
Ranying Hatalla memperlihatkan wujud itu dengan sungguh-sungguh bahwa itu adalah bayanganNya sendiri dan Beliau memberikan nama kepada bayangan tersebut “Jata Balawang Bulu Kanaruhan Bapager Hintan Mijen Papan Malambung Bulau Marung Laut Bapantan Hintan”.
Buku karya tiga akademisi Dayak ini menjelaskan “dari dalam”secara akademik ihwal Kaharingan. *)