Kahlil “The Broken Wings” Gibran telah 91 tahun lalu menutup mata untuk selamanya. Meski demikian, karya-karya sang legenda hingga kini tetap digandrungi banyak orang. Bahkan, di Indonesia karya-karya Gibran bukan hanya disukai, melainkan juga laku sebagai komoditas.
Mengenang kembali penulis besar yang wafat pada 10 April 1931, sekaligus me-review sejumlah karyanya dalam edisi Indonesia, amatlah menarik mengamati fenomena Gibran dan karyanya di negeri kita.
Meski terjemahan-terjemahannya terbilang “payah”, toh karya-karya Gibran laku keras. Hal ini terbukti dari cetak ulang yang sudah berulang kali.
Jumat, 10 April 1931 di St. Vincent’s Hospital, New York merupakan hari “pembebasan” bagi Kahlil Gibran. Pembebasan, karena ia telah lama ditawan oleh rasa sakit berkepanjangan. Lalu menutup mata. Untuk selamanya.
Tim medis yang merawatnya dalam sebuah autopsy mencatat, “cirrhosis of the liver with incipient tuberculosis in one of the lungs”. Itulah rupanya biang dari penyakit yang kemudian mengantar Gibran beristirahat selama-lamanya. Ia pergi ke alam baka, sebuah tempat yang ia siapkan untuk kelak bertemu dan bersatu selamanya dengan May Ziadah, wanita pujaan hatinya sebagaimana sering diucapkannya dalam korespondensi.
Siapa di antara kita tak mengenal Gibran?
Tak pelak, dialah salah satu sastrawan terhebat dari dunia Timur yang lahir pada 6 Januari 1883 dekat Holy Cedar Grove, tepi Wadi Qadisha di kota Bisharri, Lebanon itu. Ibunya bernama Kamileh, seorang janda, ketika ia menikah dengan pria bernama Kahlil Gibran. Suami Kamileh yang pertama adalah Hanna Abd-es-Salaam Rahmeh –dengan siapa Kamileh mendapat anak bernama Boutros —yang berusia enam tahun tatkala Gibran lahir. Pada usia 12 tahun, Gibran beremigrasi bersama ibu, kakak tiri, dan dua adik perempuannya ke Amerika Serikat. Mula-mula mereka menetap di Boston, selanjutnya di New York.
Meksi demikian, sebagaimana halnya orang Lebanon, Gibran tetap memelihara kecintaan pada daerah bergunung-gunung tempat kelahirannya. Gibran tetap mengambil makanan intelektual dan emosional dari pedesaan dan tradisi kebudayaan tanah kelahirannya. Oleh karena itu, meski orang-orang terpelajar telah menemukan pengaruh filsuf Jerman Nietzche, pengaruh para simbolis Prancis, serta pengaruh pelukis-penyair Inggris William Blake dalam tulisannya, alam Lebanon dan pengaruh mistik Timur tak bisa lekang dari karyanya.
Secara garis besar, karier sastra Gibran dapat dibagi dalam tiga tahap.
Tahap pertama, dimulai pada 1905, tahun terbit karya perdananya dalam bahasa Arab, hingga tahun 1918. Pada tahap pertama ini, Gibran hanya menulis dalam bahasa Arab. Tahun-tahun awal, Gibran menerbitkan al-Musiqah (Music), ‘Ara’is al-Muruj (Nymphs of the Valley), al-Arwah al Mutamarriadah (Spirit Rebellious), al-Ajnihah ‘l-Mutakassirah (The Broken Wings), Dam’ah wa’Ibtisamah (A Tear and A Smile).
Pada tahap kedua karyanya, antara tahun 1918-1931, Gibran menghasilkan buku al-Mawakib (The Procession), al-‘Asawif (The Tempest) dan al-Badayi’wa’l-Tarayif (Beautiful and Rare Sayings). Tetapi, karyanya yang menonjol agaknya yang terbit tahun 1923 berjudul The Prophet dan Jesus the Son of Man (1928). Dalam karya inilah tampak kenangan Gibran akan Nyanyian Salomo dan Mazmur, dengan gaung kuat pengaruh Kitab Nabi Yesaya dan Kitab Daniel serta perumpamaan-perumpamaan Yesus.
Sedangkan tahap ketiga, setelah kematiannya 1931. Gibran meninggalkan dua karya yang boleh dikatakan belum rampung sepenuhnya, yakni Wanderer (1932) dan Garden of Prophet (1933). Namun, oleh para pengamat, dua karya ini disebut-sebut bukan murni karya Gibran. Sebab keduanya ternyata telah dilengkapi dan dipublikasi oleh Barbara Young, seorang penyair wanita Amerika, yang mengklaim “to have been Gibran’s companion during the last seven years of his life.”
Karya Gibran edisi Indonesia
Pengalaman hidup yang dijalaninya, membuat Gibran memandang kehidupan ini tampak suram. Gambaran semacam inilah yang kita tangkap dari sebagian besar karyanya yang berbentuk prosa.
Hal ini nyata dalam bentuk cacophony, bunyi yang menuansakan kesedihan, sebagaimana juga tampak dalam puisi-puisi Chairil Anwar. Kebalikan dari euphony yang menuansakan kegembiraan di mana vokal lebih dominan. Kita tidak menemukan sebaliknya, cacophony sebagai lawan kata euphony dalam karya Gibran. Yaitu bunyi yang menuansakan keterpurukan, kesedihan, keterasingan dalam hidup dan alienasi.
Bunyi dimaksud kerap muncul dalam konsonan yang berada pada akhir kata. Dapat berupa bunyi bilabial, seperti kerap dijumpai pada puisi-pusi Chairil Anwar dan pada beberapa puisi Joko Pinurbo. Misalnya, seru-menderu, angin lalu, malam buta, mengental pada puisi “Selamat Tinggal” Chairil Anwar (Derai-derai Cemara, 1999: 28).
Gambaran suram juga tampak dalam lukisan-lukisannya, salah satu yang paling mencolok adalah Sorrow (Dukacita) dan Let me go (Biarkan Kupergi).
Boleh dikatakan, hampir semua karya tersebut kental dengan nuansa mistik dan mencerminkan penghayatan yang dalam tentang dunia spritual. Sang Nabi adalah karya prosa yang dinilai banyak pengamat sebagai master-piece Gibran. Prosa yang diterbitkan tahun 1923 itu kini telah diterjemahkan lebih dari 20 bahasa, termasuk bahasa Indonesia tentunya.
Sang Nabi terdiri atas 28 prosa lirik yang saling berkaitan. Tema yang diusung buku tersebut adalah cinta, kebebasan, doa, dan kematian. Keabadian cinta tanpa harus memiliki merupakan ekspresi diri pribadinya dengan May Ziadah. Cinta Hubungan dan Yesus kepada para wanita, di antaranya Maria Magdalena, menjadi inspirasi bagi Gibran di dalam melahirkan Jesus, the Son of Man. Inilah, antara lain penggalan karyanya:
To Mary Magdalene, Jesus had beauty, strength, gentleness:
His mouth was like the heart of pomegranate, and the shadows in His eyes weee deep
And He was gentle, like a man mindful of his own strength.
In my dreams I beheld the Kings of earth standing in awe in His presence.
Gibran begitu mendambakan kebebasan dan cinta. Ironisnya, yang ia dambakan justru tak pernah kesampaian. Di balik pencariannya, sebenarnya Gibran tak dapat menyembunyikan diri sebagai sosok yang putus asa. Lihatlah misalnya, The Broken Wings yang sangat terkenal. The Broken Wings adalah kembaran Romeo-Juliet dalam tutur gaya dan karakteristik Gibran yang berdimensi ketimuran.
Penting mengetahui pengalaman dan suasana hati ketika The Broken Wings ditulis. Tahun 1899, selama liburan musim panas di Bisharri, Gibran merasa galau lantaran sedang jatuh cinta pada seorang gadis. Karena tak kesampaian, ia frustrasi dan kecewa. Pada musim gugur, ia kembali ke Boston melewati Paris. Pengalaman itulah yang kemudian ia tulis dalam The Broken Wings.
Dalam novel tersebut, Gibran bercerita tentang eksistensi manusia di tengah dunia yang sangat penuh dengan keindahan dan cinta, lantas ternoda sebongkah ketamakan dan kepedihan yang menyakitkan. Banyak orang yakin, lewat novel tadi, Gibran tengah mengisahkan tentang kegagalan cintanya sendiri-dengan Salma, puteri Faris Karama-yang mengakibatkan dirinya tetap membujang sampai akhir hayatnya.
Memerlukan daya imajinasi kuat untuk menangkap “pesan” yang dinuansakan Gibran dalam karyanya. Dalam setiap karyanya, Gibran menyodorkan sebuah realita yang dilihatnya lewat bahasa batin. Dan lewat bahasa ini juga, tentunya, karya agungnya hanya bisa dinikmati oleh pembaca.
Tema-tema yang disajikan Gibran dalam setiap bukunya sangat universal. Universalitas tema ini merupakan pengaruh pribadinya sendiri yang universal. Sepanjang hidupnya, Gibran tinggal dalam komunitas yang berbeda.
Setelah tinggal di Boston selama tiga tahun, dia kembali ke Lebanon untuk belajar bahasa Arab (1897-1898). Selanjutnya, Gibran memperdalam masalah seni di Prancis (1908-1910), tepatnya di Paris, bersama dengan August Rodin. Bakat Gibran belum terasah betul sampai dia ditemukan oleh F Holland Day,seorang fotograper yang kemudian menjadi tutor dalam art dan literatur. Di kota seni itu juga-konon-Gibran jatuh cinta dan kandas, seperti digambarkannya dalam novel The Broken Wings.
Untuk mengubur kepedihannya, tahun 1912 Gibran kembali ke Amerika, dan menetap di New York City. Di kota inilah kemampuan dirinya di bidang seni terelaborasi. Gibran menetap di New York City, menghabiskan hari-hari muramnya, sambil berkarya, sampai sang maut menjemputnya.
Karena tema yang universal, maka penikmat sastra, di mana pun ia berada, dapat memahami nilai yang terkandung dalam karya Gibran. Maka, di Indonesia tak heran jika puluhan buku alih bahasa karya Gibran kini masih gampang ditemui di toko buku. Buku-buku itu terjejer di rak-rak, atau bagian depan kaunter toko buku sebagai buku terbitan baru.
Dengan mudah kita menemukan buku Lagu Gelombang, Taman Sang Nabi, Orang-Orang Tercinta, Surat-Surat Cinta pada May Zaidah, Sang Kekasih, Sang Musafir, Sang Nabi, Sang Pralambang, Air Mata dan Senyuman, Panggung Fana, Saya-SayapPatah, Cinta Keindahan Kesunyian, Kelopak-Kelopak Jiwa, Lazarus dan Kekasihnya, Pasir dan Buih, Lebanon: Legenda dan Air Mata, serta buku-buku lainnya.
Bahkan, beberapa judul buku terbitan Fajar Pustaka Baru, Yayasan Bentang Budaya, Dunia Pustaka Jaya, dan sebagian lagi ditebitkan PT Grasindo, tampil dengan desain menawan, dilengkapi cover cukup mewah.Yang agak istimewa ialah biografi lengkap dan terbaru Gibran, Kahlil Gibran: Man and Poet karya Suheil Bushrui dan Joe Jenkins. Ini merupakan studi terlengkap dan terdalam oleh pakar yang dilakukan dua tokoh terkemuka Kahlil Gibran Research and Studies Project. Sementara yang lain ialah Love Letters, berisi surat-surat cinta antara Gibran dan May Ziadah yang mengalami cetak ulang lebih dari dua kali.
Kecuali terbitan PT Grasindo, jangan ditanya hasil alih bahasanya. Rata-rata, karena penerjemah kurang paham benar latar, suasana, serta konteks lahirnya karya-karya Gibran; hasilnya boleh dikatakan parah. Dalam Yesus Sang Anak Manusia misalnya, banyak ditemukan kesalahan mendasar –dan kesalahan itu tidak dapat dimaafkan. Sebagai contoh, pantheon yang dalam bahasa Yunani yang berarti: banyak allah (pan = banyak, theon= allah) diterjemahkan sebagai” dewa pan” (hal 238). Kekonyolan lainnya terletak pada alih bahasa nama-nama tokoh dalam Injil, seperti Yakob Anak Zabadi (maksudnya, Jakobus putra Zebedeus). Atau pada halaman 82 “Saul dari Tarsus” yang maksudnya pasti bukan Raja Saul dalam Perjanjian Lama, tetapi Saulus, nama Paulus sebelum bertobat.
Meski tergolong parah, alih bahasa itu boleh disebut “buruk-buruk papan jati”. Banyaknya buku karya Gibran yang diterbitkan di Indonesia menunjukkan animo masyarakat terhadap karya-karya Gibran cukup tinggi. Sebagai bukti kecil atas asumsi tadi dapat dilihat pada data komputer yang tersedia di toko buku Gramedia di Jakarta. Di sana, tercatat stok buku Cinta Keindahan dan Kesunyian telah habis terjual. Sementara buku Yesus Sang Anak Manusia, mengalami cetak ulang kedua.
Gibran memang telah tiada. Tapi namanya tetap abadi. Karyanya, yang tepatri dalam buku, mengabadikannya.
The Broken Wings akan terus mengepakkan sayapnya. Tidak saja di Amerika dan dunia Timur Tengah, tapi juga di bumi Pancasila. ***